Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Anak Sekolah Melakukan Kekerasan?

2 April 2017   12:52 Diperbarui: 4 April 2017   15:13 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia pendidikan tanah air kembali berkabung. Nyawa seorang siswa SMA Taruna Nusantara mesti berakhir di tangan teman sekolahnya. Entah apa sesungguhnya yang ada di balik motif pembunuhan ini, namun satu pertanyaan yang muncul, mengapa hal ini bisa dilakukan oleh seorang yang berpendidikan?

Konteks kasusnya cukup jelas yakni dunia pendidikan Indonesia. Pelaku dan korban sama-sama berasal dari ranah yang sama, yakni sekolah. Keduanya menempuh proses pendidikan yang sama. Namun menilik kasus ini, kita menyadari bahwa proses pendidikan yang sama ditanggapi secara berbeda oleh keduanya. Sampai pada titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa apa pun proses pendidikan, tetapi kalau para peserta didik bukanlah resipien yang pro-aktif, proses pendidikan itu akan mandek.

Karenanya, yang ingin saya garisbawahi adalah mengapa proses pendidikan yang sama sulit dipahami, dicerna dan dipraktikan oleh pelaku dan korban? Sejatinya, proses pendidikan itu mesti memanusiakan semua orang yang terlibat di dalamnya. Bukan sebaliknya, ada ketimpangan di beberapa aspek dan karakter peserta didik. Ada dua hal yang saya coba kedepankan di sini.

Pertama, faktor latar belakang peserta didik dan tanggung jawab sekolah. Pelaku dan korban mungkin mempunyai latar belakang (keluarga) yang bertolak belakang. Pelaku mungkin mempunyai latar belakang keluarga yang sulit dan pernah mengalami luka batin dari keluarga. Pengaruh latar belakang ini bisa turut mempengaruhi perkembangan seorang siswa. Terutama saat mereka berhadapan dengan lingkungan yang lebih luas yakni sekolah dan lingkungan sosial. Apa yang dialami di keluarga bisa diluapkan di tempat lain.

Apabila pihak sekolah tidak peka dalam mengetahui dan mengenal latar belakang setiap peserta didik, bukan tidak mungkin akan menimbulkan kesenjangan. Ada peserta didik yang berkembang dengan baik, sementara ada peserta didik lain yang malah bergerak stagnan atau semakin mundur. Karenanya, cukup disesalkan saat dunia pendidikan hanya berperan sebagai “hakim” berhadapan dengan situasi peserta didik yang tidak berkembang seturut proses pendidikan yang berlangsung.

Apalagi kalau ketidakmampuan para siswa dilatari oleh kondisi keluarga yang sulit. Kesulitan ini berdampak pada aspek psikologis dan emosianal siswa. Kalau sekolah tidak menyikapi ini dengan cermat, konsekuensinya bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah pemberontakan terhadap sistem yang “tidak memihak.” Pemberontakan ini bisa menyata lewat tindakan kekerasan.

Sebenarnya yang paling utama adalah pendampingan setiap peserta didik secara merata. Tidak perlu menciptakan kelas khusus untuk mereka tetapi pihak sekolah mesti tahu apa dan bagaimana mendampingi, menyikapi dan mengarahkan anak-anak didik yang berasal dari latar belakang keluarga yang sulit. Pengetahuan dan pengenalan seperti ini bisa membantu dalam mengarahkan mereka untuk berkembang dan menyikapi persoalan dan pergaulan di lingkungan sosial.

Kedua, transfer nilai-nilai pendidikan masih sapu rata. Sebenarnya poin kedua masih berhubungan dengan poin pertama di atas. Di sini, pihak sekolah cenderung melihat bahwa para peserta didik mempunyai kemampuan yang sama. Atau juga, pihak sekolah berusaha menyamakan kemampuan setiap peserta didik. Akibatnya, proses pendidikan berlangsung lewat cara dan metode yang sama tanpa peduli pada keunikan, perbedaan dan latar belakang setiap peserta didik. Alhasil, ada perbedaan output peserta didi. Yang lain bertumbuh dan berkembang dengan baik sementara yang lain tidak.

Karenanya, proses mentransfer nilai-nilai pendidikan di bangku sekolah mesti diperhatikan. Setiap pribadi itu unik dan berbeda dan ini bisa menjadi acuan untuk mentransfer pengetahuan dan nilai-nilai pendidikan di sekolah.

Kejadian pembunuhan siswa SMA Taruna Nusantara bisa menjadi alarm untuk melihat kembali proses pendidikan kita. Apakah pendidikan kita berhasil mentransfer nilai-nilai pendidikan ke semua peserta didik secara merata? Dan bagaimana metode mentransferkan nilai-nilai pendidikan kepada setiap siswa yang mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda?

Keberhasilannya tidak diukur lewat persentase kelulusan, rangking dan pencapaian di atas kertas. Tetapi yang paling utama adalah karakter setiap siswa. Paling kurang, karakter para siswa bisa teruji tidak hanya di balik ruang kelas, lingkungan sekolah tetapi juga saat mereka berada di rumah dan lingkungan sosial yang lebih luas.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun