Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kapan Kita Berhenti Diteror?

24 Maret 2017   06:53 Diperbarui: 24 Maret 2017   16:00 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teror kembali mengganggu pikirandan hati kita. Teror di kota London menjadi cerita terbaru dan diharapkan cerita terakhir dari serangan teroris. Ini hanyalah salah satu dari sekian aksi teroris yang terjadi di Eropa dan di dunia pada umumnya. Pertanyaannya, sampai kapan teror berhenti dari kehidupan kita? Kita sulit untuk menerka-nerka. Namanya juga teroris, pasti mereka terus datang untuk mengacaukan keamanan kita.

Berhadapan dengan aksi teroris, beberapa negara sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencegahnya. Amerika Serika dengan kebijakan baru ala Donald Trump yang mengeluarkan larangan travel ke negara AS untuk beberapa negara tertentu. Lalu, di tingkat Eropa, pengamanan dipertingkat dengan memajukan sistem sensor di bandara dan kerja sama lintas intelegen. Di Indonesia, terbentuknya pasukan Densus 88 anti-teror. Namun, semua usaha ini kelihatannya tidak mengakhiri aksi teror. Malah terkesan, kaum teroris lebih cekatan untuk menghindar dan menyusun rencana baru dalam menteror di masyarakat. Aksi teror di kota London adalah salah satu contoh modus baru kaum teroris melakukan aksi.

Kaum teroris rupanya tidak peduli dengan situasi atau kondisi di mana teror itu terjadi. Tempat dan targetnya pun sulit diterka. Bahkan cara kerja mereka juga mulai berada di luar kendali dan kontrol. Dengan memperhatikan situasi ini, kita pun mungkin mulai was-was saat berada di tempat umum. Kita mulai berpikir mungkin kaum teroris berada di sekitar kita. Dampak lanjutnya, kita menjadi terasing di kota sendiri dan akan lebih memilih tinggal di rumah.

Pertanyaan yang paling mendasar mungkin, mengapa mereka tidak berhenti menteror? Pasti ada sebabnya. Kadang kita mengutuk serangan teroris sebagai bentuk kehilangan akal sehat dan hati sebagai manusia. Namun setelah mengecek latar belakang pelaku, kesimpulan kita bisa salah. Kehilangan akal sehat dan hati nurani tidak cukup untuk menyimpulkan alasan di balik tindakan teror  pelaku. Pasti ada alasan yang cukup mendasar yang mendorong mereka melakukan teror.

Serangan teroris di London cukup menghayat hati. Dalam konfrensi persnya, Perdana Menteri Inggris Theresa May menyatakan bahwa pelaku teror adalah kelahiran Inggris sendiri. Dari catatan sejarahnya, pelaku pernah dihubungkan dengan tindakan ekstrimis tertentu. Sejauh ini belum ada bukti kuat yang menghubungkan pelaku berhubungan dengan organisasi tertentu seperti ISIS. Namun sebelum kita sampai pada level pembuktian yang lebih lanjut, kita mesti mencari akar gerakan atau aksi teror seperti yang terjadi di London. Boleh jadi pelaku tidak berhubungan dengan organisasi tertentu, tetapi pelaku bisa dipengaruhi oleh motif dan ajaran tertentu. Motif dan ajaran itu bisa muncul lewat pergaulan, komunikasi dalam grup tertentu atau pengaruh berita dan seruan di media sosial. Bisa juga, tindakan ini muncul sebagai solidaritas bagi sama saudaranya yang tertindas. Karena tidak tahan melihat penindasan yang dialami oleh kelompoknya, makanya ada pemberontakan meski melewati jalan yang salah.

Namun saya lebih melihat pada pengaruh ajaran yang salah.  Masuknya ajaran bisa lewat orang tertentu atau juga media sosial. Media sosial bisa menjadi salah satu wadah yang efektif untuk menyalurkan ajaran tertentu bahkan ajaran yang menyesatkan. Kalau tidak ada sterilisasi yang kuat baik dari pengelolah media sosial, maupun dari pribadi pengguna media sosial, kemungkinan besar pengguna begitu gampang percaya dengan yang diposting. Salah satu contohnya fenomena berita hoax atau video yang diedit. Kalau berita atau video seperti ini tidak dikontrol dan tidak dianalisa dengan pikiran jernih oleh netizens, maka besar kemungkinan hadirnya penafsiran yang salah. Penafsiran yang salah ini bisa berujung pada aksi anarkis, fitnah dan kebencian. Apalagi kalau netizens mempunyai pemahaman yang terbatas atas apa yang ditampilkan. Yah, media sosial hanyalah salah satu bagaimana aksi teror menyebar begitu cepat.

Namun sampai kapan teror itu menyebar? Kita sulit menerkanya secara pasti. Yang pasti bahwa teror itu berhenti saat kita berpikir positif terhadap diri sendiri dan orang lain atau kelompok lain. Di media sosial, kita membangun komunitas persaudaraan daripada kebenciaan. Di kelompok-kelompok kita, kita belajar untuk saling mencintai dan menghargai yang lain. Penghargaan terhadap perbedaan itu hanya bisa terjadi menerima minoritas sebagai sama saudara dan kuasa mayoritas bukanlah kunci kesuksesan. Kita semua sama. Entah apa agama, suku dan latar belakang kita, kita semua sama. Tidak ada yang superior dari yang lain.

Tidak ada gunanya untuk “menteror.” Toh, pada akhirnya hanya menimbulkan rentetan masalah lain seperti terciptanya stereotip terhadap kelompok tertentu atau juga penciptaan gap tertentu di tengah masyarakat. Aksi teror tidak akan pernah menyelesaikan masalah, malah menambah cerita dari masalah baru.. Aksi teror juga tidak akan pernah berujung pada pencapaian idealisme ala terorisme malah menambah korban bagi yang kaum tak bersalah.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun