Keluarga identik dengan kebersamaan orang tua dan anak-anak. Namun pemahaman ini mulai bergeser. Ada beberapa pergeseran yang tengah terjadi di dalam kehidupan keluarga dewasa ini. Secara ragawi, kebersamaan itu ada. Orang tua dan anak-anak berada di bawah satu atap. Namun kebersamaan ini jauh dari kebersamaan yang sebenarnya. Tidak ada komunikasi dari hati ke hati. Semua anggota keluarga sibuk dengan urusannya masing-masing.
Bahkan yang cukup menggelikan saat berhadapan dengan kesukaan yang sama. Sebut saja kesukaan menonton sinetron atau film yang sama. Semua anggota keluarga sungguh-sungguh terlibat di dalam alur cerita di film atau sinetron itu. Komunikasi tercipta. Namun komunikasi ini hanya berhubungan dengan apa yang ada di TV. Selebihnya, tidak ada komunikasi laiknya sebagai keluarga. Akibatnya, saat film atau sinetron selesai, setiap anggota keluarga kembali ke kamar, bermain ponsel atau juga mendengarkan musik di kamar. Namun situasi ini terjadi bila sebuah keluarga mempunyai hanya satu TV di rumah. Coba bayangkan kalau di setiap kamar ada TV. Situasi rumah pasti situasi sebuah hotel. Para penghuni berada di rumah hanya untuk tidur.
Satu hal yang mungkin kerap diabaikan di kehidupan keluarga masa kini adalah kebersamaan dari hati ke hati. Saya coba mengambil dari situasi makan bersama. Kadang kita berpikir makan bersama hanyalah soal mengonsumsi makanan tertentu alias mengisi perut yang kosong. Namun makan bersama bisa melampaui apa yang kita kira. Makan bersama adalah kesempatan untuk bersosialisasi. Selain kita menikmati makanan yang disiapkan, kita juga berkesempatan untuk membagi cerita. Dalam situasi makan bersama, kita juga berbicara dari hati ke hati. Orang tua berperan menasihati dan mendengarkan keluh kesah anak-anak. Anak-anak bertanya, bercerita tentang kehidupan mereka dan mendengarkan nasihat orang tua. Jadinya, makanan itu hanya bagian lain dari sebuah keluarga, yang terpenting adalah komunikasi hati.
Mungkin situasi seperti ini sudah lenyap dari lingkungan keluarga. Yang ada sekarang adalah individualisme. Setiap anggota keluarga bergerak seturut kemauan pribadi. Setiap anggota keluarga tidak mau dikontrol dan mengontrol orang lain. Orang tua begitu cepat pasrah saat menemukan salah satu anak mereka terjebak kesalahan. Padahal mereka berperan untuk menasihati dan menuntun anak-anak ke jalan yang benar. Selain itu, anak-anak cenderung “tutup telinga” saat orang tua menasihati dan menuntun mereka.
Individualisme ini tercipta saat di keluarga sudah terbangun kotak-kotak di antara mereka. Orang tua menciptakan kotaknya sendiri. Urusan orang tua tidak boleh dicampuri oleh anak-anak. Untuk menciptkan keadaan damai dan nyaman di rumah, orang tua begitu gampang mencari solusi yang dianggap tepat sasar. Misalnya, daripada anak-anak terjebak pada pergaulan bebas di luar rumah, orang tua berusaha menciptakan situasi rumah full fasilitias yang menunjang. TV, saluran internet, pelbagai jenis permainan diadakan di rumah.
Namun solusi ini menciptakan suatu lain bagai anak-anak. Mereka tidak hanya terasing dari dunia luar, tetapi mereka juga terasing dari kasih sayang orang tua yang sesungguhnya. Betapa tidak, mereka akan menganggap fasilitas di rumah lebih berharga daripada kasih sayang orang tua. Hingga tiba pada suatu situasi di mana anak-anak lebih memilih fasilitas di rumah daripada mendengarkan nasihat orang tua. Lebih suka berpetualang di dunia maya dibandingkan berkumpul dengan orang tua.
Selain itu, pada pihak anak-anak, ada kecenderungan untuk berpatokan pada pendapat sendiri. Pelbagai masalah hanya dipandang dari sudut pandang mereka sendiri. Saat orang tua berusaha mengintervensi persoalan mereka, ada penolakan dengan dalil bahwa urusan anak muda bukanlah urusan orangtua. Hanyak anak-anak muda yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Pengkotak-kotakan seperti ini tercipta dari dunia keluarga itu sendiri. Ini berawal dari tidak adanya komunikasi. Sewaktu makan bersama hanya dihabiskan untuk mengurus perut. Di depan TV hanya membicarakan kehidupan artis dan plot dari sinetron tertentu. Di dunia maya hanya berkutat dengan persoalan orang lain. Hasil akhirnya, hidup bersama di bawah satu atap tetapi pada kenyataannya ada pengkotak-kotakan di antara kehidupan anggota keluarga.
Lalu, dari mana kita mulai agar bisa menghancurkan kotak-kotak ini? Dari dalam keluarga sendiri. Orangtua mestinya menjadi garda terdepan untuk menghancurkan kotak-kotak ini. Mulailah berkomunikasi sebagai sebuah keluarga. Jam makan bersama di rumah atau di restauran tidak hanya dilihat sebagai kesempatan berkumpul sebagai keluarga tetapi juga sebagai kesempatan untuk berbagi cerita. Kita tidak hanyak isi perut, tetapi kita isi hati dan pikiran kita dengan perasaan dan pengalaman sebagai sebuah keluarga.
Tanamkanlah itu sejak dini. Fasilitas untuk anak dan orang tua serta yang ada di rumah bukan satu-satunya instrumen untuk menghibur dan menemani kesendirian. Mereka hanya pendukung sesaat. Yang lebih penting dan bernilai adalah perjumpaan antara anggota keluarga. Anggota yang berbicara bukan karena topik sinetron atau gosip artis tertentu, tetapi anggota keluarga yang berbicara karena adanya perasaan hati yang mengikat di antara satu sama lain. Kita menghancurkan kotak-kotak di keluarga dengan berkumpul bersama sebagai sebuah keluarga. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H