Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengorbanan TKI

20 Maret 2017   07:35 Diperbarui: 20 Maret 2017   18:01 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu yang lalu, stasiun TV asing "Al Jazeera" menayangkan sebuah film dokumentar tentang perjuangan dua perempuan Filipina yang berprofesi sebagai guru di Baltimore, Amerika Serikat. Di balik perjuangan mereka di tanah rantau, mereka mesti rela meninggalkan orang-orang yang mereka cintai. Bahkan salah satu dari kedua perempuan ini masih mempunyai seorang balita. Salah satu pemandangan yang mengharukan saat keduanya kembali ke Filipina untuk berlibur. Tepatnya, ketika mereka bertemu dengan anak-anak mereka. Pertemuan yang jarang terjadi. Akibatnya, anak-anak mereka begitu asing dengan sosok mereka sebagai ibu.

Bahkan salah seorang dari kedua wanita ini harus merasakan kesedihan saat anaknya yang masih balita tidak mau digendong olehnya. Saat dia menggendongnya, anaknya ini hanya menjerit dan menangis. Herannya, meski mereka kerap melakukan Video Call, sang bayi tetap sulit mengakui wajah dan kehadiran ibunya. Di sini, kita diingatkan kalau sentuhan ragawi secara langsung jauh lebih berharga dan bernilai dari segalanya. Video Call tidak bisa memuaskan sepenuhnya keinginan dan kerinduan seorang anak pada kasih sayang seorang ibu. Mereka butuh sentuhan. Namun apa daya, tuntutan ekonomi telah memisahkan mereka. Sang ibu harus pergi ke luar negeri, walau meninggalkan anaknya yang masih bayi.

Pemandangan ini hanyalah salah satu dari sekian nasib para pekerja di luar negeri.Kisah dua wanita Filipina ini juga mungkin juga menjadi kisah kaum Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Secara material, mereka bisa mendapatkan segalanya. Namun, secara rohani (spiritual) mereka kehilangan banya hal. Betapa tidak, banyak TKI rela meninggalkan keluarga, orang-orang tercinta, kampung halaman dan kenyamanan di kampung dan rumah sendiri. Di luar negeri, belum tentu mereka merasa nyaman, menjumpai orang-orang yang dipercayai atau juga mendapatkan apa yang diharapkan. Bahkan beberapa dari antara mereka harus merasakan pedihnya diatur dan dikontrol oleh majikan atau bos mereka. Tak elak juga, ada yang mengalami nasib yang sangat naas. Mereka mempertaruhkan nyawa karena sikap majikan yang melewati batas tertentu.

Kepedihan kaum TKI selalu menjadi cerita pilu anak-anak negeri ini di tanah rantau. Ini hanya mengingatkan kita kalau berada di tanah rantau tidak semuanya berakhir dengan kebahagiaan. Juga, ini mengingatkan kita kalau penderitaan bagi TKI adalah penderitaan bangsa ini. Sebagai warga negara, kita sebenarnya “dijajah” oleh bangsa lain di negara orang.

Pelbagai kisah pilu lain ikut mengiringi kisah para TKI. Contohnya saja, mereka rela meninggalkan istri/suami mereka di kampung halaman. Namun, karena kurangnya relasi laiknya sebagai suami-istri, salah satu satu dari antara keduanya bisa saja melakukan penyelewengan. Terus, nasib anak-anak yang hidup tanpa kasih sayang orang tua. Kelebihan materi dari hasil pekerjaan orang tua di luar negeri tidak serta merta mengisi kerinduan disayangi dan diperhatikan oleh orang tua. Akibatnya, kecenderungan dari sikap anak-anak yang mencari kesenangan di tempat lain.

Mereka bekerja di luar negeri demi mencari kehidupa yang layak di dalam negeri. Secara ekonomis, keluarga mereka mendapat pemenuhan. Keuntungan ekonomis ini juga menguntungkan negara. Pengorbanan TKI memberikan extra pendapatan bagi negeri ini. Namun, secara spiritual mereka belum tentu mereka beruntung seperti orang-orang yang hidup di dalam negeri. Mereka terasing dari hal-hal yang familiar. Mereka rindu pada perhatian dan kasih sayang bersama keluarga mereka. Mereka mesti merelakan perasaan mereka demi kebutuhan ekonomi.

Hidup sebagai seorang TKI mempunyai pelbagai kisah pilu. Berhadapan dengan kisah-kisah pilu, menjadi pertanyaan adalah apa yang dilakukan oleh institusi-institusi sosial di masyarakat? Saya percaya baik itu pemerintah maupun agama tertentu mempunyai caranya sendiri untuk menyikapi situasi keluarga TKI. Ini bertujuan agar tidak menimbulkan kesenjangan dan persoalan moral di masyarakat. Dengan kata lain, mesti adanya pendampingan bagi mereka yang ditinggalkan oleh ayah/ibu agar mereka menyadari tentang makna kehidupan meski tanpa kehadiran seorang ayah/ibu. Meski sebagai orang tua mereka berada di luar negeri, keluarga yang ditinggalkan tetap utuh dan merasakan kasih sayang mereka.*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun