Junel 803
Dia adik saya di Stapala, nomornya tepat di bawah saya, 803. Saya dan seragam Stapalanya dilantik bareng di Alun-alun Mandalawangi, Gunung Pangrango, tempat di mana remah-remah abu Soe Hok Gie ditaburkan.
“Loh, kok seragam Stapalanya doang yang dilantik?”
He he, dia beruntung, tetep dilantik meskipun tidak hadir di acara pelantikan. Namun dia juga sedang tidak beruntung. Pada saat yang sama dirinya tengah menjalani terapi (kemoterapi lebih tepatnya), di negeri jiran Malaysia (bukan Malingshit).
Nama diklatnya Junel, singkatan dari “Juniornya Eel”. Eel adalah salah seorang senior, mukanya mirip katanya. Kebetulan juga keduanya sama-sama dari Medan. Memang sih wajah anak Medan rata-rata mirip, dengan garis rahang yang tegas dan tulang pipi yang menonjol.
Kami pernah bareng naik gunung Raung dan Argopuro di bulan Agustus-September 2006, bersama dengan empat anggota muda-AM Stapala (belom punya nomor anggota) lainnya, didampingi oleh dua anggota Stapala. Pendakian ini merupakan sarat wajib bagi AM sebelum dilantik. Istilah lainnya “ngambil Nomor”.
Gunung tinggi pertama bagi Junel, kelihatan dari takjubnya dia saat berhasil menggapai igir-igir utara kawah raksasa Raung yang super luas itu (saya juga takjub ding, :p). Juga pengalaman pertama baginya nonton musik hidup dhangdhuth. Ceritanya, saat itu dia termasuk tim II. Sambil menunggu tim I yang lebih dulu mendaki, mereka menginap di basecamp Rumah Belanda Sumberwringin. Nah malam harinya ada pentas dangdut memperingati hari kemerdekaan17 Agustus. Berbondong-bondonglah tim II menuju kantor kecamatan, tempat digelarnya pentas.
“Sumpah, seumur-umur baru kali ini saya liat yang beginian”, ujarnya kepada Uhe, senior Stapala pendamping tim II.
Wekekek, anak mama rumahan nan alim kok disuguhi pentas dangdut seronok, pasti merah semua mukanya, mirip udang rebus,
Pada pendakian itu pulalah sempat terjadi insiden hidung berdarah. Awalnya sih kami mengira dia menderita sinus biasa, tapi baru kemudian kami tahu ada tumbuh sel kanker di dalam hidungnya.
Setelah dilantik, Junel menghilang dari dunia persilatan. Dia harus menyelesaikan tahapan terapi kankernya. Terpaksa pula dia menunda kelulusan selama satu tahun. Saat masuk kembali ke kampus (sebagai adik kelas teman-teman seangkatannya tentunya), namanya muncul sebagai ketua KMK (organisasi mahasiswa Katolik di STAN), salut ma anak ini.
Meskipun jarang berkunjung ke posko Stapala, dia telah membuat satu perubahan besar di posko. Terapinya berhasil menyembuhkannya dari kanker. Akan tetapi, pengalamannya menjalani kemoterapi yang amat sangat menyakitkan itu tak akan pernah dia lupakan.
Surat Cinta di Diary Stapala
Beberapa lembar kertas putih tertempel di halaman folio diary Stapala (lupa diary no berapa ya?). Sebuah surat ternyata. Surat Cintakah? Mungkin iya. Ooow, ternyata surat cinta dari Junel untuk Papanya. Narsis amat yak, the show off affection, hihihi.
Sorry Nel, ternyata bukan surat biasa. Ini surat yang luar biasa. Sungguh-sunguh-sungguh luar biasa (menurut saya seeh).
“Emang isinya apaan seeh?”
Baca aja sendiri ya di bawah sono. Tapi kita bahas dulu mengapa om Jun (kami biasa memanggilnya) mengumumkan surat cintanya ke anak-anak Stapala. Kira-kira begini analisis saya (gaya komentator bola):
Dia sangat mencintai Papanya, pun begitu juga cintanya kepada Stapala dan orang-orang di dalamnya.
“Hubungannya sob?”
Intinya dia gak mau sodara-sodaranya di Stapala mengalami apa yang dia rasakan.
“Gak ngerti aku sob!”
Begini lho bro, posko Stapala itu surganya kebebasan berekspresi. Termasuk bebas merokok tentunya (dulu).
“Ah itu biasa, di mana-mana perasaan juga bebas merokok kan?”
Ooo tidak bisa (tahu kan ini gaya siapa, wekeke). Yang ini beda. Coba bayangkan, ruangan kecil ukuran 6×3 m, letaknya nyempil di pojokan gedung, agak “mendlep” ke bawah (mirip bunker) dengan satu pintu dan minim sirkulasi udara. Diisi rata-rata 10 orang yang sebagian besar perokok. Belum lagi kalau sedang ada rapat (dan sialnya hampir tiap hari ada rapat), bisa terisi lebih dari 30an manusia tuh -dan gak ada larangan makan-minum-merokok dalam forum rapat. Seakan kabut putih nan tipis menggelayut di udara dalam ruangan kecil itu. Benar-benar siksaan maha dahsyat (lebay) bagi siapa saja yang bukan perokok, apalagi bagi cewek-cewek.
Pagi, siang, malam, dini hari (saat anak posko bermain truf), tak pernah berhenti asap rokok dikepulkan ke udara tipis posko. Belum lagi residu asap yang menempel di bantal kumel, di sarung bau, di baju kotor yang digantung dan telah berakumulasi dari tahun ke tahun. Hitung juga residu abu rokok dari asbak yang pasti sering tumpah di lantai posko. Mesin exhause yang dipasang di jendela posko seakan tak kuasa menyedot asap rokok keluar ruangan pengap itu.
Nahh, sudah ngerti kan hubungannya?
“Belom om?” (gubraKK)
Begini lho, si Junel itu terkena kanker karena paparan asap rokok ayahnya sedari kecil. Itu sudah dipastikan oleh dokternya. Dengan menulis pengalamannya yang sangat-sangat menyakitkan secara fisik dan psikis selama dia menderita kanker, om Jun berharap Papa dan sodara-sodara Stapalanya mau berhenti merokok.
Tak Cuma itu, dia juga melobi ketua Stapala saat itu, mas Yoyon 591 yang asli Wonosari Gunungkidul itu (hehehe satu daerah neeh ma ane
Alhamdulillah, setelah posko kembali ke kampus, kebijakan larangan merokok di posko berlaku kembali untuk 24 jam penuh, full 7 hari seminggu. Harapan kedepannya gak cuma di dalam posko saja larangan merokok itu diterapkan. Mungkin radius 10 km dari posko juga perlu disterilkan dari asap rokok, hehehe (ngajak gelut nek iki, wkwk).
Wis, ra usah kakean abab, mari kita simak saja isi surat dari Junel untuk Papanya. Sumpah deh, merinding baca suratnya. Surat itu murni dari hati, jadi punya energi tersendiri buat pembacanya.
Sudah siap? Ok, siapkan pop corn, siapkan minumnya juga, yang banyak ya, soalnya panjang banget suratnya, hehehe. Putar musik instrumentalia, terus matikan lampu dan nyalakan lilinnya…….(biar syahdu tralala)
“Medan, 8 Oktober 2007
Untuk papa tercinta,
Syalom, pa! Semoga saat membaca surat ini papa nggak sedang merokok. Abang menulis surat ini dengan rasa sayang dan rasa hormat yang sangat besar kepada papa. ☺
Pa, inti dari surat yang abang tulis ini adalah abang memohon agar papa berhenti merokok. Kita harus sama-sama berubah, pa. Abang harus lebih peduli dengan kesehatan pribadi dan abang sangat berharap papa pun berhenti merokok. Sadarkah papa bahwa nggak ada satu hal pun yang menjadi dampak positif dari kegiatan merokok yang udah papa lakukan selama lebih dari 20 tahun itu?
Pa, cukup abang aja lah yang pernah sakit karena asap rokok papa itu. Puji Tuhan, bukan papa, mama, atau adek-adek yang sakit karena asap rokok papa itu, melainkan abang yang merupakan anak papa yang paling besar dan juga anak papa yang kelak akan menggantikan posisi papa sebagai pemimpin keluarga besar kita. Abang udah membaca banyak buku dan sumber data lainnya tentang kanker, pa. Seseorang bisa terkena penyakit kanker karena 5% faktor genetik dan selebihnya adalah karena lingkungan, makanan, minuman, dan pola hidup. Sejak kecil, abang dan adek-adek selalu hidup di rumah dan lingkungan yang bersih. Makanan dan minuman kami termasuk jajan di sekolah dulu selalu diperhatikan oleh papa dan mama. Kami juga terbiasa dengan pola hidup yang sehat dan teratur karena sifat papa yang disiplin dan keras dan mama yang suka dengan keteraturan. Sesuai dengan pendapat dr. Dewi di Rumah Sakit Kanker ‘Dharmais’ tahun 2005 yang lalu, memang nggak bisa dipungkiri bahwa abang menderita kanker nasofaring karena asap rokok papa yang abang hirup sejak abang masih bayi. Pa, di dunia kedokteran di dunia ini nggak pernah dikenal istilah ‘mantan penderita kanker’ karena para dokter percaya bahwa seseorang yang pernah menderita kanker dan telah selesai menjalani pengobatan tidak akan pernah benar-benar sembuh total dari penyakit kanker itu seumur hidupnya. Selalu ada kemungkinan bahwa suatu saat kanker itu akan muncul lagi dan sang penderita harus menjalani pengobatan lagi. Kalau bisa diibaratkan, mungkin keadaannya seperti cerita di bawah ini.
“Pada suatu siang, seorang manusia secara tiba-tiba terkurung di kandang seekor singa yang sedang tertidur pulas. Singa itu tertidur karena rasa laparnya yang luar biasa hebat sehingga menyebabkannya menjadi sangat lemas dan akhirnya tertidur lelap. Sementara singa tertidur, manusia itu merinding ketakutan dengan apa yang dialaminya sekarang. Dia selalu berpikir tentang apa yang akan dilakukannya agar singa itu tak terganggu tidurnya dan bagaimana kalau nanti singa itu terbangun dari tidurnya dan siap menerkam, merobek-robek dagingnya, dan menjadikan dirinya sebagi santapan. Apakah hidup manusia itu akan berakhir dengan kematiannya di ujung taring sang singa yang sangat tajam dan mematikan itu? Abang berharap nggak, tapi hanya Tuhan lah yang tau akhir dari cerita itu.”
Jadi, setelah papa membaca semua penjelasan abang di atas, sadarkah papa akan betapa beratnya salib yang abang pikul sekarang?
Juli 2002 merupakan bulan yang nggak akan terlupakan dalam hidup abang, pa. Sebuah kebanggaan yang luar biasa bagi keluarga kita terutama bagi abang sendiri bahwa abang diterima menjadi siswa SMA Taruna Nusantara, sekolah terbaik di negeri kita ini, terlebih lagi karena abang mendapatkan beasiswa pendidikan untuk 3 tahun pendidikan di SMA Taruna Nusantara dari Bapak Mayor Jenderal Lisno sebagai Direktur Utama PT ASABRI. Memang, itu merupakan suatu berkat yang luar biasa dari Tuhan. Sejak SD abang memang sudah bermimpi bahwa abang akan melanjutkan pendidikan abang ke SMA Taruna Nusantara dan itu akan menjadi batu loncatan abang untuk menjadi seorang taruna Akademi Militer. Namun, langit terasa runtuh saat duduk di kelas 2 abang tau bahwa abang menderita penyakit itu. Di mana engkau, Tuhan? Saya masih sangat muda, kenapa Engkau membiarkan penyakit itu datang menghampiriku? Sejak saat itu semuanya berubah, pa. Pupus sudah mimpi abang sejak kecil untuk menjadi seorang taruna Akademi Militer. Pa, abang punya satu rahasia kecil. Kuliah di STAN adalah pilihan hidup, bukan panggilan jiwa abang. Puji Tuhan, abang selalu bersyukur atas hidup abang sekarang. Abang juga sangat bersyukur karena Andes menjadi seorang taruna Akademi Militer sekarang. Walaupun abang nggak bisa meraih cita-cita abang, tapi setidaknya salah satu adek abang udah mewujudkannya. Setiap hari abang selalu mendoakan Andes agar dia diberi kesehatan dan bisa mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di sana dengan baik.
Pa, lewat surat ini abang juga mau bercerita kepada papa tentang betapa beratnya perjuangan abang dalam menjalani pengobatan kanker di bawah penanganan dr. Rakesh Raman di Rumah Sakit Kanker ‘Mount Miriam’ tahun 2006 yang lalu.
“Penang, 6 November 2006. Hari ini adalah hari pertama abang menjalani radioterapi. Nggak ada yang istimewa di ruangan radioterapi itu. Abang hanya berbaring di bawah mesin sinar X itu dan disinar sekitar 10 menit. Setelah itu, sekitar jam 2 siang abang menjalani kemoterapi untuk pertama kalinya. Berbagai jenis cairan dimasukkan ke dalam tubuh abang melalui selang infus yang ditusukkan ke pergelangan tangan abang. Kemoterapi ini akan memakan waktu sekitar 5 jam. Setelah berjalan selama 2 jam, badan abang terasa panas seperti hampir terbakar api. Akhirnya, kemoterapi pertama pun selesai. Saat itu tubuh abang terasa sangat lemas sampai berjalan beberapa meter aja pun abang nggak kuat, tapi abang memilih untuk memaksakan diri. Abang harus terlihat tegar terutama karena ada mama yang sedang menemani abang. Semua perasaan abang bercampur aduk saat itu. Abang merasa sedih, heran, marah, dan hampir putus asa dengan keadaan itu, tapi abang diam aja. Abang nggak mau membuat mama lebih sedih dengan apa yang abang rasakan sekarang. Puji Tuhan, akan selalu ada mama yang akan menemani abang menjalani terapi selama 2 bulan ke depan. Abang sangat menghargai perjuangan mama yang rela meninggalkan pekerjaannya selama 2 bulan untuk menemani abang selama terapi. Abang juga sangat menghargai perjuangan papa yang bekerja keras mencari nafkah untuk membiayai terapi abang yang membutuhkan biaya yang sangat besar. Terima kasih untuk papa dan mama! ☺
Sesuai dengan jadwal yang diberikan dokter, abang akan menjalani radioterapi sebanyak 35 kali dan kemoterapi sebanyak 6 kali. Radioterapi dilaksanakan mulai dari hari Senin sampai Jumat setiap jam 9 pagi. Kemoterapi dilaksanakan setiap hari Senin pada jam 1 siang. Hari berganti hari. Pada hari ke-10 abang mulai merasakan sakit saat menelan. Awalnya abang nggak menyangka, tapi setelah diberi penjelasan oleh dokter, ternyata itu adalah efek dari radioterapi yang abang jalani. Itu baru permulaan dan hari-hari berikutnya kondisi abang semakin menyedihkan. Pada hari ke-15 rongga mulut dan kerongkongan abang dipenuhi luka. Lidah abang mati rasa. Semua minuman dan makanan rasanya sama aja bagi abang, sama-sama nggak ada rasa alias tawar. Kelenjar air ludah abang rusak parah sehingga mulut abang kering dan setiap kali makanan masuk ke mulut, setiap kali itu juga abang harus membasahi makanan yang ada di mulut abang itu dengan air putih sebagai pengganti air ludah abang yang sama sekali tidak ada. Kulit muka dan leher abang menghitam karena terbakar akibat radiasi sinar X dari radioterapi tersebut. Memasuki hari ke-20, dimulailah hari-hari puncak penderitaan dan perjuangan abang pun semakin berat.
Keadaan abang amat sangat parah. Betapa hebatnya rasa sakit akibat luka-luka di mulut dan kerongkongan abang sehingga untuk minum air putih aja abang merasa sangat sakit dan air mata pun hampir menetes karena rasa sakit yang abang rasakan amat sangat menyakitkan. Di saat kondisi fisik abang semakin lemah dan rasa sakit yang betapa hebatnya itu mencapai titik klimaksnya, abang malah dituntut untuk menambah asupan gizi jauh lebih banyak dibandingkan yang abang konsumsi sehari-hari supaya abang bisa melanjutkan terapi dengan lancar. Menu makanan abang sehari-hari pun berganti dari nasi menjadi bubur gandum karena hanya itulah makanan yang bisa abang telan. Selain itu, abang juga harus rajin minum susu dan jus buah segar. Saat minum jus buah tertentu seperti jus buah kiwi dan bit yang rutin dibuatkan mama, abang merasakan rasa sakit dan perih sampai ke ubun-ubun karena rasa asam yang terkandung pada buah itu membasahi luka-luka di mulut dan kerongkongan abang. Kalau abang nggak bersemangat makan bubur dan minum susu dan jus buah segar dengan rutin sehingga kondisi abang nggak memungkinkan untuk melanjutkan terapi, dokter nggak akan mengijinkan abang untuk melanjutkan kedua jenis terapi tersebut. Kalau hal itu sampai terjadi, pengeluaran untuk biaya hidup pun akan bertambah dan membengkak.
Keadaan fisik abang bertambah parah di hari-hari selanjutnya. Selain itu, memburuknya keadaan psikis abang juga mencapai puncaknya. Abang merasakan stres yang luar biasa beratnya. Abang merasa frustasi dengan hidup yang sedang abang jalani saat itu, pa. Semuanya terasa hancur. Semua orang di sekitar abang pun terlihat seperti nggak perduli sama abang. Untuk pertama kalinya dalam hidup abang, abang menjadi seorang anak yang sering melawan dan sering marah sama mama. Puji Tuhan, mama selalu sabar menghadapi abang saat itu. Untuk pertama kalinya juga, hidup, harapan, dan mimpi-mimpi abang tentang betapa indahnya hidup ini seakan-akan terasa sebagai sebuah ilusi. Rasanya abang udah nggak pengen lagi hidup di dunia ini. Bagi abang, untuk apa abang hidup kalau abang hanya jadi beban untuk keluarga. Kemungkinan terburuk dari semua keadaan itu adalah mungkin abang akan memilih bunuh diri aja. Namun, apa yang terjadi berikutnya adalah ternyata Tuhan berkehendak lain. Di saat abang dilanda semua beban yang sangat berat itu, abang semakin rajin berdoa dan semakin pasrah kepada Tuhan. Perlahan-lahan tapi pasti, timbul semangat yang lebih besar dalam diri abang untuk melanjutkan dan menyelesaikan perjuangan yang sedang abang hadapi saat itu. Akhirnya, perjuangan abang berakhir dengan indah, pa. Pada tanggal 22 Desember 2006 abang menyelesaikan terapi dengan tuntas. Esoknya, abang dan mama meninggalkan kota Penang dan bergegas pulang ke rumah dengan hati yang sangat lega dan rasa puas yang sangat besar. Terima kasih, Tuhan atas semua yang telah kujalani! Terima kasih, Tuhan karena aku mampu mengalahkan penyakit itu!”
Abang sekarang lagi nangis, pa. Papa harus selalu ingat bahwa abang menulis surat ini dengan air mata dan juga dengan rasa sayang dan harapan yang sangat besar agar papa berhenti merokok. Saat menuliskan cerita di atas tadi, abang kembali teringat dengan apa yang telah abang jalani dulu dan merasa sangat sedih. Pa, Tuhan mungkin nggak pengen melihat abang sedih lagi dengan apa yang abang alami dulu karena setiap kali nangis abang merasakan sakit saat menelan seperti sakit saat menelan akibat radioterapi yang abang rasakan dulu.
Abang merasa sangat bersyukur dengan hidup abang sekarang. Abang menjadi sangat menghargai setiap hal sekarang, walaupun mungkin menurut orang lain hal itu kecil dan sepele. Pa, ternyata hidup ini singkat. Kita nggak pernah tau kapan hari terakhir dalam hidup kita. Bukan nggak mungkin bahwa abang mendahului papa meninggalkan dunia ini. Selalu ada kemungkinan terburuk dalam hidup ini, pa. Abang sekarang sangat menikmati hidup abang dan selalu berusaha untuk hidup dengan melakukan yang terbaik terutama dalam menjaga kesehatan abang. I will do the best and God do the rest. Abang akan melakukan yang terbaik yang bisa abang lakukan dan Tuhan akan melakukan sisanya. Hidup abang sekarang adalah sebuah mukjizat dari Tuhan yang harus abang pertanggungjawabkan dengan sungguh-sungguh. Abang hidup dengan harapan yang sangat besar kepada-Nya. Sabda Tuhan yang menjadi pegangan abang dalam hidup sehari-hari adalah Tuhan memelihara hidup kita, Matius 6:31-32. Abang selalu yakin bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, pa.
“Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita di sebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.”
Pa, sebuah penggalan puisi ‘Tuhan Sembilan Senti’ karya Taufiq Ismail itu secara umum mampu menggambarkan betapa jahatnya cara asap rokok menyebarkan penyakit. Nikotin cuma satu dari sekitar 4.000 jenis zat beracun yang terkandung di dalam rokok. Jadi, kalau hanya untuk mengonsumsi 4.000 jenis zat beracun dan ‘membakar’ uang, untuk apa papa merokok? Untuk apa papa meracuni tubuh papa sendiri dan menyebabkan abang menderita penyakit yang kalau mendengar namanya aja orang akan bergidik ketakutan? Segeralah berhenti merokok, pa sebelum terlambat, sebelum tubuh papa semakin tua dan penyakit-penyakit semakin sering datang menghampiri. Papa sekarang memang sehat-sehat aja, tapi ingatlah bahwa tubuh papa itu perlahan-lahan akan semakin tua, lemah, dan semakin rentan terhadap adanya penyakit. Tuhan memberikan kita tubuh yang sehat saat kita dilahirkan ke dunia ini dan Ia mewajibkan kita untuk menjaganya, bukan meracuninya, pa. Kalau kelak abang udah berkeluarga dan memberikan cucu-cucu untuk papa dan mama, abang pengen melihat papa sebagai sosok seorang kakek yang walaupun udah tua, tapi tetap sehat dan bersemangat. Tidakkah pernah terpikirkan oleh papa untuk menjadi sosok itu? Abang mendorong papa untuk berhenti merokok sekarang karena abang, mama, dan adek-adek sangat sayang sama papa.
Yang abang maksudkan sebagai ‘berhenti merokok’ di sini adalah mengurangi merokok secara perlahan-lahan, bukan secara drastis dan tiba-tiba, pa. Kalau papa sekarang menghabiskan rokok dua bungkus sehari, cobalah perlahan-lahan papa mengurangi satu demi satu batang rokok yang papa isap. Abang tau mungkin sangat berat bagi papa untuk memulainya, tapi percayalah, pa bahwa tiada yang mustahil kalau kalau kita punya niat dan keyakinan yang teguh serta usaha yang keras dan doa yang tulus kepada Tuhan. Mudah-mudahan kalau abang pulang ke rumah tahun depan, papa merokok satu bungkus sehari atau bahkan udah berhenti total alias nggak merokok lagi.
Pernahkah papa menghitung udah berapa banyak uang yang papa habiskan hanya untuk membeli rokok selama lebih dari 20 tahun ini? Kalau aja papa pernah menghitungnya, papa pasti kaget bukan kepalang dan mungkin merasa menyesal. Kalau aja papa nggak merokok selama lebih dari 20 tahun ini, kita bisa punya satu rumah lagi yang lebih besar dan lebih indah dibandingkan rumah yang sekarang hampir selesai dibangun di Sibatu-batu. Bayangkan, pa! Uang yang papa habiskan hanya untuk merokok selama ini lebih banyak daripada biaya yang dihabiskan untuk membangun rumah kita sekarang! Bukankah itu sebuah jumlah yang fantastis, pa? Kalau aja papa nggak merokok selama ini, mungkin abang nggak akan menderita kanker dan nggak terhalang secara finansial untuk melanjutkan kuliah ke Jerman saat lulus SMA kemarin. Namun, yang berlalu biarlah berlalu. Yang lebih penting adalah apa yang akan kita lakukan sekarang untuk menciptakan masa depan kita nanti. Abang yakin kalau papa mulai berhenti merokok, papa akan merasa jauh lebih sehat. Segeralah memulainya, pa sebelum terlambat, sebelum semuanya menjadi lebih buruk, sebelum papa menjadi semakin tua dan tubuh papa semakin lemah, dan tentunya sebelum papa sakit karena papa sendiri nggak berhenti merokok, walaupun udah diperingatkan oleh orang-orang di sekitar papa yang sangat menyayangi papa. Kami masih butuh seorang papa yang sehat, pa. Kami masih butuh seorang papa yang selalu bisa memberikan kami nasihat-nasihat, walaupun kelak kami akan menjadi dewasa, bekerja, dan berkeluarga.
Abang yakin papa bisa berhenti merokok dengan mulai mengurangi batang demi batang rokok yang papa isap secara perlahan-lahan. Abang tantang papa! Tunjukkan bahwa papa bisa menerima dan menyelesaikan tantangan abang! Kami tunggu aksi papa. Semangat, pa!
WE LOVE YOU SO MUCH, SO STOP SMOKING, DADDY!
Teriring doa dan harapan,
Janson Nicholas Samosir
Amazingly- ajaib- tak terduga- sakti tenan (apa lagi ya, hehe), begitu membaca surat ini, sang Ayah berhenti merokok, total, thek sek. Dahsyat kan efek dari surat ini?
Meski agak terlambat, saya sendiri akhirnya juga berhenti merokok, dua tahun setelah membaca surat ini. Dan yang tak kalah dahsyatnya adalah efek berantai dari surat ini yang mulai terlihat. Saat ini, perokok di Stapala adalah minoritas. Sesuatu yang aneh mungkin untuk sebuah komunitas Pecinta Alam -penggiat alam bebas. Aneh, tapi patut disyukuri…
-Sebuah korelasi positif, mencintai alam dimulai dengan mencintai diri sendiri (Junel803)-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H