“Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita di sebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.”
Pa, sebuah penggalan puisi ‘Tuhan Sembilan Senti’ karya Taufiq Ismail itu secara umum mampu menggambarkan betapa jahatnya cara asap rokok menyebarkan penyakit. Nikotin cuma satu dari sekitar 4.000 jenis zat beracun yang terkandung di dalam rokok. Jadi, kalau hanya untuk mengonsumsi 4.000 jenis zat beracun dan ‘membakar’ uang, untuk apa papa merokok? Untuk apa papa meracuni tubuh papa sendiri dan menyebabkan abang menderita penyakit yang kalau mendengar namanya aja orang akan bergidik ketakutan? Segeralah berhenti merokok, pa sebelum terlambat, sebelum tubuh papa semakin tua dan penyakit-penyakit semakin sering datang menghampiri. Papa sekarang memang sehat-sehat aja, tapi ingatlah bahwa tubuh papa itu perlahan-lahan akan semakin tua, lemah, dan semakin rentan terhadap adanya penyakit. Tuhan memberikan kita tubuh yang sehat saat kita dilahirkan ke dunia ini dan Ia mewajibkan kita untuk menjaganya, bukan meracuninya, pa. Kalau kelak abang udah berkeluarga dan memberikan cucu-cucu untuk papa dan mama, abang pengen melihat papa sebagai sosok seorang kakek yang walaupun udah tua, tapi tetap sehat dan bersemangat. Tidakkah pernah terpikirkan oleh papa untuk menjadi sosok itu? Abang mendorong papa untuk berhenti merokok sekarang karena abang, mama, dan adek-adek sangat sayang sama papa.
Yang abang maksudkan sebagai ‘berhenti merokok’ di sini adalah mengurangi merokok secara perlahan-lahan, bukan secara drastis dan tiba-tiba, pa. Kalau papa sekarang menghabiskan rokok dua bungkus sehari, cobalah perlahan-lahan papa mengurangi satu demi satu batang rokok yang papa isap. Abang tau mungkin sangat berat bagi papa untuk memulainya, tapi percayalah, pa bahwa tiada yang mustahil kalau kalau kita punya niat dan keyakinan yang teguh serta usaha yang keras dan doa yang tulus kepada Tuhan. Mudah-mudahan kalau abang pulang ke rumah tahun depan, papa merokok satu bungkus sehari atau bahkan udah berhenti total alias nggak merokok lagi.
Pernahkah papa menghitung udah berapa banyak uang yang papa habiskan hanya untuk membeli rokok selama lebih dari 20 tahun ini? Kalau aja papa pernah menghitungnya, papa pasti kaget bukan kepalang dan mungkin merasa menyesal. Kalau aja papa nggak merokok selama lebih dari 20 tahun ini, kita bisa punya satu rumah lagi yang lebih besar dan lebih indah dibandingkan rumah yang sekarang hampir selesai dibangun di Sibatu-batu. Bayangkan, pa! Uang yang papa habiskan hanya untuk merokok selama ini lebih banyak daripada biaya yang dihabiskan untuk membangun rumah kita sekarang! Bukankah itu sebuah jumlah yang fantastis, pa? Kalau aja papa nggak merokok selama ini, mungkin abang nggak akan menderita kanker dan nggak terhalang secara finansial untuk melanjutkan kuliah ke Jerman saat lulus SMA kemarin. Namun, yang berlalu biarlah berlalu. Yang lebih penting adalah apa yang akan kita lakukan sekarang untuk menciptakan masa depan kita nanti. Abang yakin kalau papa mulai berhenti merokok, papa akan merasa jauh lebih sehat. Segeralah memulainya, pa sebelum terlambat, sebelum semuanya menjadi lebih buruk, sebelum papa menjadi semakin tua dan tubuh papa semakin lemah, dan tentunya sebelum papa sakit karena papa sendiri nggak berhenti merokok, walaupun udah diperingatkan oleh orang-orang di sekitar papa yang sangat menyayangi papa. Kami masih butuh seorang papa yang sehat, pa. Kami masih butuh seorang papa yang selalu bisa memberikan kami nasihat-nasihat, walaupun kelak kami akan menjadi dewasa, bekerja, dan berkeluarga.
Abang yakin papa bisa berhenti merokok dengan mulai mengurangi batang demi batang rokok yang papa isap secara perlahan-lahan. Abang tantang papa! Tunjukkan bahwa papa bisa menerima dan menyelesaikan tantangan abang! Kami tunggu aksi papa. Semangat, pa!
WE LOVE YOU SO MUCH, SO STOP SMOKING, DADDY!
Teriring doa dan harapan,
Janson Nicholas Samosir