Dia sangat mencintai Papanya, pun begitu juga cintanya kepada Stapala dan orang-orang di dalamnya.
“Hubungannya sob?”
Intinya dia gak mau sodara-sodaranya di Stapala mengalami apa yang dia rasakan.
“Gak ngerti aku sob!”
Begini lho bro, posko Stapala itu surganya kebebasan berekspresi. Termasuk bebas merokok tentunya (dulu).
“Ah itu biasa, di mana-mana perasaan juga bebas merokok kan?”
Ooo tidak bisa (tahu kan ini gaya siapa, wekeke). Yang ini beda. Coba bayangkan, ruangan kecil ukuran 6×3 m, letaknya nyempil di pojokan gedung, agak “mendlep” ke bawah (mirip bunker) dengan satu pintu dan minim sirkulasi udara. Diisi rata-rata 10 orang yang sebagian besar perokok. Belum lagi kalau sedang ada rapat (dan sialnya hampir tiap hari ada rapat), bisa terisi lebih dari 30an manusia tuh -dan gak ada larangan makan-minum-merokok dalam forum rapat. Seakan kabut putih nan tipis menggelayut di udara dalam ruangan kecil itu. Benar-benar siksaan maha dahsyat (lebay) bagi siapa saja yang bukan perokok, apalagi bagi cewek-cewek.
Pagi, siang, malam, dini hari (saat anak posko bermain truf), tak pernah berhenti asap rokok dikepulkan ke udara tipis posko. Belum lagi residu asap yang menempel di bantal kumel, di sarung bau, di baju kotor yang digantung dan telah berakumulasi dari tahun ke tahun. Hitung juga residu abu rokok dari asbak yang pasti sering tumpah di lantai posko. Mesin exhause yang dipasang di jendela posko seakan tak kuasa menyedot asap rokok keluar ruangan pengap itu.
Nahh, sudah ngerti kan hubungannya?