Tabungan Perumahan Rakyat atau lebih sering disebut dengan "TAPERA". Tapera menjadi problematik di dalam kalangan pekerja dan pemberi/pelaku usaha. Bagaimana tidak problematik, kebijakan tersebut dinilai sangat membebani pekerja atau pelaku usaha karena banyaknya kebijakan yang menerapkan potongan persenan terhadap gaji karyawan atau pelaku usaha.Â
Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/ atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelaah kepesertaan berakhir. Pengertian tersebut dijelaskan di dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaran Tabungan Perumahan Rakyat.
Di dalam Pasal 15 ayat (1), pada poin ini menyatakan besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Kemudian untuk di ayat (2) menyatakan peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%.Â
Pekerja mandiri artinya pekerja yang tidak bergantung kepada pemberi pekerja untuk mendapat penghasilan, misalnya freelancer atau pekerja informal. Selain cicilan tapera, para Pengusaha juga terbebani dengan jaminan sosial ketenagakerjaan terutama jaminan hari tua 3,7%, jaminan kematian 0,3%, jaminan kecelakaan kerja 0,24% sampai dengan 1,74%, dan jaminan pensiun 2,4%, jaminan sosial kesehatan 4%, dan potongan yang lain.
Mengacu pada konsep "tabungan", sejatinya tidak memerlukan tindakan yang bersifat paksaan atau wajib. Pada Pasal 5 ayat (3) PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Perumahan Rakyat mengatur pekerja yang berpenghasilan paling sedikit upah minimum wajib menjadi peserta atau berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.Â
Selain itu, pemerintah juga memberikan waktu untuk mendaftar para pekerja kepada Badan Pengelola Tapera paling lambat 7 tahun sejak tanggal berlakunya PP Nomor 25 Tahun 2020. Kemudian disusul dengan Pasal 21 mengatur bahwa pekerja mandiri wajib menyetorkan sendiri simpanan ke dalam rekening dana tapera serta wajib membayar simpanan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan. Pada Pasal 21 mengatur pemberi kerja wajib membayar simpanan peserta dan wajib menyetorkan simpanan paling lambat 10 (sepuluh) setiap bulannya.
Secara logika, tabungan bersifat sukarela bukan paksaan apalagi mengandung sanksi bagi yang tidak mendaftar sebagai peserta. Bagi pekerja mandiri yang melanggar ketentuan tersebut, maka akan dikenai sanksi administratif atau peringatan tertulis yang dikenakan oleh BP Tapera (Pasal 55). Sementara untuk pemberi kerja diberikan sanksi adminstratif berupa peringatan tertulis, denda admistratif, memublikasikan ketidakpatuhan pemberi kerja, pembekuan izin usaha, serta pencabutan izin usaha (Pasal 56 ayat 1).Â
Dengan adanya aturan tersebut dikhawatirkan menambah jumlah pengangguran di Indonesia karena pelaku usaha tidak mau rugi. Dengan adanya Jaminan Hari Tua (JHT) mengapa harus ada Tapera? Apalagi dengan adanya drama kasus korupsi yang semakin merajalela di tanah air ini seperti kasus pengelolaan dana ASABRI, Taspen, Jiwasraya dan kasus korupsi yang lain. Sehingga, muncul trauma dan dilema di dalam masyarakat bahwa dengan adanya kasus tersebut membuat masyarakat enggan untuk menjadi peserta tapera.
Dalam tindakan yang bersangkutan dengan dana sebaiknya dilakukan dengan pengelolaan secara transparansi dan penuh dengan tanggungjawab sehingga rakyat juga percaya. Namun, dalam fenomena saat ini apakah setiap pengelolaan dana dilakukan secara transparansi dan penuh dengan tanggungjawab? Apakah klausul "Tabungan" dijadikan bentuk mengelabuhi masyarakat? Apabila pemerintah memikirkan ke jangka panjang dimana rakyat memiliki rumah dimasa tua apakah tidak memikirkan ke penderitaan di masa kini?Â
Apakah dengan adanya tapera maka adanya jaminan rakyat memiliki rumah? Apakah karena ketidakmampuan pemerintah sehingga membutuhkan gotong-royong rakyat? Apabila ingin mencontoh kebijakan dari negara maju yang memiliki rumah dengan meniadakan rumah gubuk, seharusnya pemerintah juga harus memfasilitasi warga negaranya dengan pemenuhan hidup yang layak tanpa menyengsarakan rakyat. Tabungan rakyat dipegang oleh Pemerintah?