Usai sudah dibacakan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada terdakwa Jessica Kumala Wongso (JKW). Seperti sudah diduga banyak pihak, hasilnya JKW dituntut hukuman 20 tahun penjara. Mengapa ini bukan kejutan? Ketika penyidik kasus ini mencari bukti tentang JKW hingga ke Australia, pernah ada permintaan dari pihak Australia kepada penyidik untuk tidak menuntut JKW dengan hukuman mati. Ternyata kini terbukti, tuntutan di pengadilan 'hanya' pemidanaan walaupun yang diambil adalah tuntutan pidana penjara yang maksimal.
Saya memilih judul 'Kasus Kematian Mirna' memang dengan sengaja. Karena itulah faktanya: Mirna telah mati tak lama setelah meminum Vietnam Ice Coffee di Kafe Olivier tanggal 6 Januari 2016. Perkara apakah matinya karena racun sianida atau tidak, wajib untuk bisa dibuktikan di pengadilan. Jika kita merasa yakin kematiannya karena sianida, barulah sorotan akan tertuju pada pelaku dan motif penggerak yang bisa membuat pelaku bisa melakukan kejahatan berat tersebut. Hal ini lantaran sianida adalah zat yang sangat berbahaya bagi manusia dan pelaku yang tega membubuhkan sianida dalam kopi untuk membunuh seseorang tentu orang yang berhati bengis. Suatu tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Disebutkan dalam tuntutan bahwa terdakwa JKW mengeluarkan 5 gram racun sianida ke dalam Vietnam Ice Coffee. JPU menuntut dakwaannya ini dengan penuh imajinasi dan kreativitas. Sayang sekali, pengadilan adalah ranah fakta, bukan asumsi, opini apalagi imajinasi. Mungkin ini bakat terpendam JPU yang salah tempat. Padahal, selama sidang tak pernah ada saya dengar ini. Tidak dari barang bukti, saksi maupun ahli.
Disebutkan pula bahwa Barang Bukti (BB) IV yang berupa cairan lambung yang diambil 70 menit setelah Mirna wafat dan hasilnya negatif sianida tidak memadai, karena berukuran amat kecil: 0,1 ml. Jadi BB IV tersebut dinyatakan bahwa hanya mampu mendeteksi PH saja, sedangkan lain tidak bisa untuk mendeteksi zat yang lain termasuk sianida. Pernyataan JPU ini bukan fakta ataupun bukti, tapi hanya sekedar asumsi. Di satu sisi JPU mengakui hasil PH dalam BB IV, sedangkan di lain pihak mereka menolak hasil yang lain di dalamnya. Apa kata-kata semacam ini pantas diucapkan dan bisa dipertanggungjawabkan di hadapan pengadilan? Dalam hal ini JPU hanya mengambil hasil BB IV yang sesuai kehendak mereka saja. Sebuah tindakan yang kekanak-kanakan.
Dari paparan yang tadi diucapkan oleh JPU ini, saya jadi teringat dengan istilah bid'ah yang populer dalam literatur keagamaan. Jika misalnya ada orang yang dengan sadar mengimami shalat subuh berjamaah di mesjid dengan tiga rakaat, maka dia telah melakukan bid'ah. Dia  telah melakukan tindakan menambah satu rakaat pada shalat wajib tanpa bisa menunjukkan darimana ia mendapatkan dalilnya. Mungkin saja sang imam tadi bisa beralasan bahwa ia semalam baru menerima wangsit, tapi apakah ini dapat dibenarkan? Orang semacam inilah yang tergolong ahli bid'ah yang disabdakan oleh Nabi dan difatwakan sebagai sesat dan masuk neraka.
Apakah JPU dalam Pengadilan JKW ini juga tergolong ahli bid'ah dalam bidang hukum? Sepertinya tak perlu kita menunggu wangsit dulu untuk dapat menjawabnya.
Â
(bersambung)
Â
Â
Â