Mohon tunggu...
Dony Dahana Wirawan
Dony Dahana Wirawan Mohon Tunggu... -

Beraktifitas sebagai peneliti dan dosen. Berdomisili di Osaka, Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Money

Catatan Subyektif Kasus Bank Century

22 Januari 2010   02:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:20 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramainya isu penyelidikan kasus bailout Bank Century oleh Pansus DPR akhir-akhir ini menarik perhatian saya. Sebagai orang awam di bidang perbankan dan moneter, cukup sulit bagi saya untuk memahami pokok permasalahannya secara utuh. Untuk bisa memahaminya, saya mencari informasi dari beberapa sumber seperti surat kabar, situs internet terkait, dan Youtube. Tentu saja informasinya sangat terbatas dan mungkin tidak banyak membantu ketidaktahuan saya akan kasus ini. Tapi saya rasa tidak salah kalau saya membagi kesimpulan saya tentang kasus ini di sini supaya ada orang yang bisa mengoreksi kebodohan saya ini.

Oh ya, saya lupa memberi tahu alasan sampai saya begitu tertarik dengan kasus ini. Jawabannya simpel saja dan mungkin sama dengan kebanyakan orang. Alasannya karena dana sebesar Rp 6.7 triliun yang digunakan untuk membailout Bank Century. Jumlah yang sangat besar (sekitar 0.13% dari GDP kita tahun lalu).Tapi saya sendiri tidak terlalu yakin seberapa banyak kah Rp 6.7 triliun itu karena belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri uang sebanyak itu. Apalagi menggunakannya. Tapi mari kita coba hitung sama-sama. Kalau uang itu kita pecah dalam uang satu ribuan dan kita susun berdasarkan sisi panjangnya, maka total panjang yang dihasilkan adalah sekitar 944.700 km. Panjang ini sama dengan 87 kali panjang lingkaran planet bumi atau lebih dari 2 kali jarak antara bumi dengan bulan. Dengan asumsi ada 3 juta guru di Indonesia, setiap guru bisa menerima Rp 2.2 juta apabila uang itu dibagikan secara rata. Bila untuk mambangun sebuah SD diperlukan Rp 2 milyar, kita bisa membangun 3350 sekolah-sekolah dasar baru. Uang sebesar ini juga bisa dipakai untuk menyekolahkan lebih dari 7500 orang mahasiswa S3 Indonesia ke Jepang. Apabila uang ini kita pakai untuk membeli secangkir kopi starbuck dengan harga Rp30 ribu setiap hari, coba hitung berapa tahun yang dibutuhkan untuk menghabiskannya.
Apakah keputusan pemerintah untuk membailout BC telah menyelamatkan rakyat Indonesia dari keterpurukan ekonomi ?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling kita harapkan jawabannya. Terutama pansus DPR. Pertanyaan yang sama adalah apakah akan terjadi dampak sistemik apabila pemerintah tidak membailout BC. Saya yakin tidak ada seorang pun yang bisa menjawab pertanyaan ini dengan sempurna. Tidak terkecuali Boediono dan Sri Mulyani. Mengapa, karena tidak ada cara untuk membuktikannya. Setiap ekonom mungkin bisa mencoba memberikan jawaban. Tapi semua jawaban itu tidak bisa dibuktikan secara empiris.
Lalu, kalau terjadinya dampak sistemik tidak bisa dibuktikan, apakah kita masih bisa mengatakan bahwa keputusan bailout telah menyelamatkan rakyat Indonesia. Jawabannya sedikit sulit. Ini tergantung dari besarnya kemungkinan terjadinya dampak itu dan besarnya kerugian yang akan ditanggung apabila dampak itu benar-benar terjadi. Mari kita mencoba memikirkan jawabannya. Asumsikan pemerintah hanya bisa memilih satu dari dua keputusan, membailout BC atau tidak. Kita tuliskan keputusan untuk membailout dengan D1 dan keputusan untuk tidak membailout dengan D2. Ekspektasi atau rata-rata kerugian dari kedua keputusan ini bisa kita tulis dengan E(D1) dan E(D2). Apabila dana untuk membailout adalah X dan kerugian akibat dampak sistemik adalah Y, dan kemungkinan terjadinya dampak sistemik adalah β, maka kita bisa mendapatkan ekspektasi kerugian dari kedua keputusan di atas sebagai berikut.

E(D1) = (1 - β)X.....................(1)

E(D2) = βY...........................(2)

Kita sudah tahu bahwa X=Rp 6.7 triliun. Tapi kita tidak tahu berapa kerugian dari dampak sistemik Y. Saya kira para pakar di Depkeu dan BI sendiri pun hanya bisa membuat estimasi yang tingkat kesalahannya mungkin besar. Untuk memudahkan masalah, kita asumsikan Y=Rp 100 triliun seperti yang pernah keluar dari mulut Sri Mulyani pada sidang Pansus. Syarat keputusan bailout untuk bisa dijustifikasi adalah ekspektasi kerugian ketika membailout harus lebih kecil daripada ketika tidak ada bailout, atau E(D1) < E(D2). Syarat ini equivalent dengan

β > X/(X+Y).........................(3)

Kita substitusi nilai X dan Y ke dalam pertidaksamaan di atas dan kita dapatkan

β > 0.063...........................(4)

Artinya, apabila kemungkinan terjadinya dampak sistemik lebih dari 6.3%, maka kita bisa menjustifikasi keputusan bailout. Dengan kata lain, kita bisa yakin 93.7% (100%-6.3%) bahwa keputusan Sri Mulyani dkk adalah keputusan yang tepat (asalkan terjadinya dampak sistemik adalah random). Dari hasil ini sepertinya kita harus mendukung keputusan bailout. Benarkah demikian?, sayang jawabannya tidak semudah itu. Kita belum tahu besarnya kemungkinan dampak sistemik β. Apabila nilai β < 0.063, atau kemungkinan dampak sistemik tidak lebih dari 6.3 % kita harus mengatakan keputusan pemerintah adalah keliru.

Saya yakin para pejabat di KSSK sudah menguras otaknya untuk mengukur nilai si β ini. Untuk mencari tahu nilai β, kita perlu tahu faktor-faktor apa yang mempengaruhinya. Sebagai orang awam, saya kurang tahu faktor-faktor apa saja itu. Mungkin kondisi IHSG, nilai valuta asing, jumlah Bank yang bermasalah, dan lain-lain. Atau mungkin rata-rata panjang rambut wanita selama 3 bulan terakhir atau jumlah kupu-kupu yang terbang di hutan Amazon ?*. Yang pasti data-data yang dianggap relevan dari BI digunakan oleh anggota KSSK untuk membuat estimasi ini. Seberapa baguskah akurasi dari estimasi yang dibuat oleh KSSK? ini yang ingin seluruh rakyat Indonesia ketahui. Sayang anggota pansus tidak berkompeten untuk mengorek jawaban ini.

Secara pribadi saya ingin tahu apakah informasi kondisi psikologis di pasar riil (bukan hanya di pasar uang) dijadikan bahan pertimbangan oleh KSSK. Misalnya indeks difusi (DI). DI adalah indikator tentang persepsi psikologis pelaku bisnis berkaitan dengan kondisi ekonomi di masa depan. DI didapatkan dengan menghitung persentasi pelaku bisnis yang menganggap keadaan akan membaik dikurangi dengan persentasi yang menggangap akan memburuk. Jika nilainya minus, kemungkinan terjadinya dampak sistemik β bisa membesar. Yang saya tahu Bank of Japan mengumpulkan data DI secara berkala, tapi saya kurang yakin apakah BI melakukan hal yang sama. Satu lagi adalah persepsi masyarakat Indonesia secara umum. Kalau sebagian besar masyarakat beranggapan "BC mau bangkrut kek, emang gue pikirin", kemungkinan terjadinya dampak sistemik akan berkurang. Dengan kata lain, kemungkinan keputusan bailout adalah keliru menjadi besar.
Apakah dana untuk bailout memang membutuhkan Rp 6.7 triliun?
Saya sendiri tidak tahu karena bukan pakar perbankan dan tidak tahu kondisi asset BC pada saat itu. Tapi mungkin kita bisa memikirkan apakah jumlah itu layak (dari sudut pandang orang awam). Kita kembali lagi ke persamaan (1) dan (2). Kali ini kita asumsikan kemungkinan terjadinya dampak sistemik β = 0,1, dan kerugian akibat dampak sistemik Y = Rp 100 triliun, Y= Rp 50 triliun, dan Y = Rp 10 triliun. Supaya syarat untuk menjustifikasi keputusan bailout terpenuhi (E(D1) < E(D2) ), dana maksimal bailout yang boleh dikeluarkan adalah
X < Rp 11.1 triliun jika Y = Rp 100 triliun.
X < Rp 5.6 triliun jika Y = Rp 50 triliun.
X < Rp 1.1 triliun jika Y = Rp 10 triliun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun