Mohon tunggu...
Donyawan Maigoda
Donyawan Maigoda Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer | Novelis| SEO Writer| Owner PT Xinxian Boba Indonesia

Hanya manusia biasa yang hobi menulis saat sedang gabut

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Demokrasi di Ujung Lidah

21 Agustus 2024   20:51 Diperbarui: 21 Agustus 2024   21:02 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi 

Di gedung parlemen, rapat demi rapat digelar, semua seakan berjalan normal di mata publik. Namun, di ruang-ruang tertutup itu, konspirasi untuk menganulir keputusan MK terus berjalan, dengan strategi yang semakin matang. Para politisi itu begitu yakin bahwa mereka berada di atas angin, bahwa rencana mereka akan berhasil tanpa hambatan berarti.

Di luar sana, rakyat menjalani kehidupan sehari-hari tanpa tahu bahwa di balik tembok gedung megah itu, demokrasi sedang dipermainkan. Mereka tidak tahu bahwa para wakil yang seharusnya mewakili mereka, justru sibuk menyusun rencana untuk menutup pintu demokrasi yang seharusnya terbuka lebar untuk semua.

Dan saat malam kembali turun di Neofelix, cahaya lampu-lampu gedung parlemen yang tetap menyala seolah menjadi simbol bahwa permainan ini belum selesai. Di balik pintu tertutup, para politisi itu terus menyusun langkah, yakin bahwa mereka telah berhasil mengendalikan demokrasi sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Namun, bayang-bayang yang mereka ciptakan kini mulai menggelapkan arti sejati dari demokrasi yang seharusnya mereka jaga.

Di luar Gedung Parlemen, angin bertiup kencang membawa kabar tentang rencana busuk yang disusun di balik pintu-pintu tertutup. Publik, yang awalnya tidak menyadari permainan kekuasaan ini, mulai mendengar desas-desus. Berita-berita di media sosial beredar cepat, memperlihatkan kebobrokan moral para anggota dewan yang mencoba membelokkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) demi keuntungan pribadi.

Di dalam gedung, Pak Budi dan rekan-rekannya masih merasa aman. Mereka yakin bahwa strategi mereka telah berjalan dengan baik. Revisi UU Pilkada sudah hampir selesai, tinggal menunggu waktu untuk disahkan. Mereka tak menyangka bahwa rakyat mulai menaruh perhatian serius.

Namun, mereka segera tersadar bahwa rencana mereka tidak akan berjalan semulus yang diperkirakan. Protes-protes kecil yang tadinya dianggap remeh, mulai membesar menjadi gelombang demonstrasi. Rakyat turun ke jalan, menuntut transparansi dan mempertanyakan motif para wakil mereka. Media independen mulai mengekspos permainan kotor yang terjadi di Gedung Parlemen, mengungkap bagaimana demokrasi sedang dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan.

Menyadari situasi semakin memanas, Pak Budi dan kelompoknya memutuskan untuk menggelar konferensi pers guna meredam situasi. Mereka berdiri di depan para jurnalis dengan wajah tenang, berusaha meyakinkan publik bahwa revisi UU Pilkada dilakukan demi "kestabilan politik" dan "kepentingan rakyat." Namun, kali ini, rakyat tidak mudah tertipu.

"Pak Budi, bagaimana Anda bisa mengatakan ini untuk kepentingan rakyat, sementara jelas ini hanya untuk melindungi kekuasaan partai besar?" salah satu jurnalis menanyakan dengan nada tajam, memecah suasana formal yang mereka ciptakan.

Pak Budi terdiam sesaat, mencari kata-kata yang tepat. "Kami... kami hanya ingin menjaga agar proses demokrasi tetap berjalan dengan baik. Tanpa stabilitas, demokrasi tidak bisa berfungsi dengan optimal," jawabnya, namun suaranya terdengar kurang meyakinkan.

Di luar gedung, demonstrasi semakin membesar. Teriakan-teriakan rakyat yang menuntut keadilan dan transparansi terdengar semakin keras. Spanduk-spanduk bertuliskan "Demokrasi untuk Semua!" dan "Hentikan Manipulasi UU!" berkibar di udara. Pak Budi bisa merasakan ketegangan itu menembus dinding-dinding gedung parlemen yang tebal.

Pada hari berikutnya, sebuah sidang terbuka diadakan untuk membahas revisi UU Pilkada. Kali ini, bukan hanya anggota dewan yang hadir, tetapi juga perwakilan masyarakat sipil, aktivis, dan media. Ruang sidang penuh sesak, dan suasana terasa sangat berbeda dari pertemuan-pertemuan tertutup yang biasanya diadakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun