Dalam gemerlap cahaya restoran, para politikus ini berbicara tentang demokrasi, namun yang mereka maksud hanyalah demokrasi yang sesuai dengan kepentingan mereka. Di balik senyum dan kata-kata manis, ada permainan kekuasaan yang licik, di mana rakyat hanyalah pion-pion kecil yang bisa dipindahkan sesuai kehendak mereka.Â
Beberapa hari kemudian, di Gedung DPR, suasana tegang tampak jelas di lorong-lorong yang biasanya ramai dengan para staf dan anggota dewan yang lalu-lalang. Pintu ruang rapat tertutup rapat, dan di dalamnya, para anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada tengah duduk mengelilingi meja panjang, saling bertukar pandang dengan ekspresi serius.
Pak Budi, yang kali ini tampil lebih formal dalam setelan jas hitam dan dasi merah, memimpin pertemuan tersebut. Rapat itu hanya dihadiri oleh mereka yang dianggap 'terpercaya'---sebuah lingkaran dalam yang dipilih untuk menjaga rencana besar ini tetap rahasia.
"Dengan segala hormat, kita harus segera bertindak," Pak Budi membuka rapat dengan nada yang lebih tegas daripada saat pertemuan di restoran. "Kita harus memastikan bahwa revisi terhadap UU Pilkada ini segera disahkan sebelum putusan MK mulai berdampak luas. Kita tidak bisa membiarkan partai-partai kecil merusak apa yang sudah kita bangun."
Pak Anton, seorang anggota dewan yang terkenal sebagai 'ahli hukum' di antara mereka, mengangguk setuju. "Saya sudah mempelajari celah-celahnya. Kita bisa mengajukan revisi dengan alasan 'konsistensi hukum' dan 'penjagaan stabilitas politik.' Pasal 40 harus kita kembalikan seperti semula, atau setidaknya, kita tambahkan klausul yang membuat putusan MK sulit diimplementasikan."
Di balik pintu tertutup itu, mereka berdiskusi dengan penuh semangat, seolah-olah mereka sedang menyelamatkan negeri ini dari ancaman besar. Namun, yang sebenarnya mereka lakukan adalah menyusun strategi untuk menganulir putusan MK demi melanggengkan dominasi partai besar di panggung politik daerah.
"Jangan lupa," kata Pak Budi sambil mengetukkan jari telunjuknya ke meja, "kita harus segera mendapat dukungan dari pemerintah dan DPD. Kita butuh sekutu di eksekutif dan parlemen atas untuk meyakinkan mereka bahwa ini adalah langkah yang tepat. Stabilitas politik harus menjadi alasan utama kita."
Pak Yudi, yang kali ini terlihat lebih tenang setelah ditegur di pertemuan sebelumnya, mencoba memberikan masukan. "Bagaimana kalau kita juga libatkan media? Kita bisa menyebarkan narasi bahwa putusan MK ini berpotensi menimbulkan kekacauan politik di daerah-daerah. Dengan begitu, masyarakat akan mendukung revisi yang kita ajukan."
Pak Anton mengangguk sambil tersenyum sinis. "Ide bagus. Kita bisa gunakan media yang dekat dengan kita untuk menyebarkan pesan itu. Lagipula, siapa yang akan membantah kalau kita bicara tentang menjaga stabilitas? Rakyat tidak akan berpikir panjang, mereka hanya ingin situasi tetap tenang."
Rencana itu pun mulai dijalankan dengan kecepatan yang menakutkan. Mereka menghubungi para sekutu di berbagai kementerian, menyusun naskah revisi yang akan diajukan, dan memastikan bahwa semua proses berjalan tanpa hambatan. Semua dilakukan di balik layar, jauh dari sorotan publik.
Setiap kata yang mereka ucapkan di depan publik dipoles dengan hati-hati---"demokrasi," "stabilitas," "keadilan." Namun, di balik itu semua, permainan kekuasaan sedang berlangsung, dengan niat tunggal untuk mempertahankan posisi mereka sebagai penguasa di panggung politik.