Di sisi lain, sungai-sungai yang dulu pernah bersih kini tampak kusam dan penuh sampah. Aliran air yang dulu menari-nari sekarang terasa seperti kuburan hidup, meratap dalam diam atas perlakuan manusia yang telah mengabaikan kebersihan dan keindahan alam. Tapi, meski alam terluka, ia tetap melanjutkan ceritanya, mengajak manusia untuk menghentikan perjalanan mereka sejenak dan mendengar isi hati yang perlahan-lahan mulai merintih.
Malam terus berlalu, membawa cerita keprihatinan alam yang diperlakukan dengan semena-mena. Namun, di tengah kelamnya malam, masih ada yang tak menyerah, mereka yang merindukan keindahan yang pernah ada.
Seorang pria tua duduk sendirian di atas atap rumahnya, memandangi langit yang kini terhalang oleh kabut hitam. Pria itu seperti tenggelam dalam ingatan masa lalu, saat langit masih cerah dan bintang-bintang bersinar terang. "Dahulu langit begitu cerah, bintang-bintang menyala bagai permata di langit yang biru," bisiknya pada diri sendiri, seolah berbicara kepada waktu yang tak lagi dapat diperbaiki. Dia menghela napas berat, seakan merasakan beban yang dipikul oleh seluruh alam.
Di bawah, seorang anak kecil bermain sendirian, memungut bunga asli yang layu. Dia memandanginya dengan rasa ingin tahu yang khas anak-anak. "Kenapa langit tak pernah indah lagi, Bu?" tanyanya kepada ibunya yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Ibu itu menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap langit yang kini tak lagi memancarkan keindahan. "Sayang, itu karena kita lupa untuk merawat alam dan menjaga kebersihan lingkungan kita," jawab ibunya dengan suara lembut, tetapi sarat dengan rasa penyesalan.
Anak kecil itu lalu menatap bunga layu yang dipegangnya, mencoba memahami kata-kata ibunya. Bunga itu seperti simbol dari keindahan yang telah hilang. Dan meskipun langit Jakarta tak lagi bersinar seperti dulu, ada harapan yang tetap menyala. Harapan bahwa suatu hari nanti, manusia akan bangkit, sadar akan tanggung jawabnya sebagai penjaga bumi. Dan ketika saat itu tiba, alam akan menari lagi dalam keindahan yang telah lama dirindukan, dan langit malam Jakarta akan kembali bersinar dengan gemerlap bintang-bintangnya yang mempesona.
Walaupun malam-malam di Jakarta telah terlumuri oleh polusi dan keserakahan manusia, namun tetap ada harapan yang menjulang tinggi di antara kabut hitam yang menyelimuti langit. Seperti bunga yang tetap tumbuh di tanah yang tandus, harapan itu tidak pernah padam.
Beberapa individu peduli terus berusaha mengajak manusia lainnya untuk menghentikan langkah mereka sejenak dan melihat ke sekitar. Mereka menggelar kampanye, menyuarakan kepedulian tentang dampak buruk polusi udara pada lingkungan dan kesehatan manusia.Â
Di suatu pagi, matahari perlahan merangkak keluar dari balik kabut, menyinari kota Jakarta yang masih tertidur. Udara terasa sedikit lebih segar, dan langit pun mulai terlihat lebih cerah. Banyak orang yang mulai merubah pola pikir dan perilaku mereka. Bersama-sama, mereka berkomitmen untuk merawat bumi, menjaga lingkungan, dan memulihkan keindahan yang telah hilang.
Dan dari atas atap rumahnya, pria tua itu tersenyum. Matanya memandang langit yang semakin cerah, dan dia merasa bahwa usahanya tidaklah sia-sia. Di bawahnya, anak kecil dengan bunga segar di tangan berlari ke arahnya. "Bu, lihat! Bunga ini kembali mekar!" serunya dengan riang.Â
Malam yang gelap itu telah membawa perubahan, membuka mata banyak orang tentang pentingnya menjaga alam dan melindungi bumi. Dan sementara langit Jakarta kembali memancarkan cahaya, harapan pun tumbuh subur di hati mereka, bahwa melalui usaha bersama, langit-langit kota dan bumi ini akan kembali memancarkan keindahan yang selama ini telah mereka rindukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H