Berita buruk bagi para penikmat film datang di pertengahan Februari ini. Ditjen Bea Cukai memberlakukan aturan baru terkait dengan peredaran film asing di Indonesia. Aturan “Bea Masuk Atas Hak Distribusi” yang berlaku sejak Januari 2011 ini membuat asosiasi pengimpor film berhenti memasukkan film-film asing, terutama Hollywood. Dan sekarang, kemungkinan besar hanya judul-judul film lokal yang ditayangkan di bioskop. [caption id="" align="aligncenter" width="493" caption="I Don"][/caption] Di bawah ini adalah beberapa akibat langsung dari dicabutnya hak distribusi film impor untuk Indonesia yang saya kutip dari tulisan Noorca Massardi untuk Kompas. Noorca adalah juru bicara 21 Cineplex Grup, jaringan bioskop terbesar di Indonesia.
- Ditjen Bea Cukai/Ditjen Pajak/Pemda/Pemkot/Pemkab AKAN KEHILANGAN RENCANA ANGGARAN PENDAPATAN dari film impor sebesar 23,75% atas bea masuk barang, 15% Pph hasil ekploitasi film impor, dan Pemda/Pemkot/Pemkab akan kehilangan 10-15% pajak tontonan sebagai pendapatan asli daerah!
- Bioskop 21 Cinepleks dengan sekitar 500 layarnya, sebagai pihak yang diberi hak untuk menayangkan film impor akan kehilangan pasokan ratusan judul film setiap tahun, sementara film nasional selama baru mampu berproduksi 50-60 judul/tahun.
- Dengan akan merosotnya jumlah penonton film (impor) ke bioskop, maka eksistensi industri bioskop di indonesia akan terancam.
- Nasib 10 ribu karyawan 21 Cinepleks dan keluarganya, akan terancam
- Penonton film impor di indonesia akan kehilangan hak akan informasi yang dilindungi UUD.
- Industri food & beverage (cafe-resto) akan terkena dampak ikutannya, juga pengunjung ke mall/pusat perbelanjaan, parkir, dll.
- Industri perfilman nasional harus meningkatkan jumlah produksi dan jumlah kopi filmnya bila ingin “memanfaatkan” peluang itu, yang berarti harus meningkatkan permodalannya sementara kecenderungan penonton film indonesia terus merosot.
Hanung Bramantyo, sutradara yang meroket lewat film Ayat-Ayat Cinta punya pendapat lain lagi. “Yang saya harapkan dari kondisi ini adalah membuat pengusaha bioskop, produser, filmmaker bersinergi untuk membuat film nasional jadi lebih baik,” tulis Hanung di akun Twitter-nya. Sedikit muluk, memang. Apalagi mengingat industri perfilman kita masih didominasi para produser oportunis dan sutradara yang hanya mengikuti keinginan produser, seperti kerbau dengan gembalanya. Sejauh ini, film Indonesia yang berkualitas -menurut selera saya- masih bisa dihitung dengan jari. Jangan dulu bicara teknologi CGI atau special effect lainnya yang dipakai oleh film Hollywood. Untuk membuat jalan cerita yang berkualitas pun, industri film kita masih kesulitan. Alasannya klise, yaitu takut filmnya tidak laku lalu mengikuti keinginan pasar. Keinginan pasar yang seperti apa? [caption id="" align="alignleft" width="375" caption="Poster Pocong Ngesot, source:http://4.bp.blogspot.com/"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H