Mohon tunggu...
Donsianus Rondo
Donsianus Rondo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Filsasfat

Pecinta Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mencintai Lingkungan Hidup dari Antroposentrisme Menuju Bioregionalisme

29 Juni 2021   21:34 Diperbarui: 29 Juni 2021   21:54 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstraksi: 

Manusia adalah makhluk sosial-ekologis. Sebagai makhluk sosial, keberadaanya sangat bergantung pada yang lain, hal yang mendasarinya bahwa manusia tidak dapat lahir dari dirinya sendiri. Ia membutuhkan yang lain. Manusia adalah makhluk ekologis, karena keberadaannya sangat bergantung pada alam. Eksistensinya sebagaimana adanya manusia, karena mendapat afirmasi penuh dari alam. Alam memungkinkan manusia untuk dapat hidup. Alam yang menyediakan air, udara, makanan, agar manusia bisa hidup dan eksistensinya sebagai manusia tetap eksis. Alam lingkungan hidup kita kini sedang dalam krisis, ekologi dihadapkan dengan egologi, alam didegredasi demi pemuasan hidup manusia yang egoistik.

Kata Kunci: Ekologi, Egologi, Antropomorfisme, Bioregionalisme, Masyarakat Berkelanjutan.

Pendahuluan:

Perkembangan kesadaran manusia akan tanggung jawab ekologis pada dasarnya menyiapkan kebenaran bahwa sebuah tuntutan akan suatu sikap bersama hanya akan didengar apabila ada masalah bersama yang dihadapi. Alam kita kini sedang dalam kehancura yang diakibatkan oleh ulah manusia. Persoalan mengenai krisis ekologi secara implisit menunjukan adanya keretakan jejaringan ekosistem.

Kerusakan ekologi pada umumnya selau dihubungkan dengan manusia sebagai pelakunya. Persoalan ekologi menunjukan secara kasat mata bagaimana relasi antara kesadaran, pengalaman manusia akan realitas dan pembentukan sikap. Krisis ekologi atau lingkungan hidup saat ini merupakan dampak praksis dari tindakan manusia yang antropomorfis, manusia gagal mengenal identitasnya secara utuh. Antropomorfis adalah tese dasar sehingga manusia mengidap penyakit amnesia, bahwa ia adalah makhluk ekologis.

Apa itu Lingkungan Hidup?

 Etimologis kata ekologi berasal dari kata Yunani oikos dan logos. Oikos dipahami sebagai sebuah habitat tempat tinggal atau rumah tempat tinggal. Sedangkan logos berarti ilmu atau kajian. 

Dengan demikan lingkungan hidup dapat pula dipahami sebagai sebuah ilmu, yaitu ilmu tentang ekosistem dengan segala hubungan saling pengaruh diantara ekosistem dan isinya serta keseluruhan dinamika dan perkembangan yang berlangsung di dalamnya. Oikos tidak hanya dipahami sebagai lingkungan sekitar sebagai lingkungan sekitar manusia hidup. Oikos bukan sekedar rumah tempat tinggal manusia. Oikos dipahami sebagai keseluruhan alam semesta dan seluruh interaksi saling pengaruh yang terjalin di dalamnya, diantara makhluk hidup lainnya dengan keseluruhan ekosistem atau habita. Oikos adalah rumah. 

Oikos adalah rumah bagi semua makhluk hidup yang sekaligus menggambarkan interaksi dan keadaan keseluruhannya yang berlangsung di dalamnya. Oikos menggambarkan tempat tinggal, rumah, habitat tempat yang memungkinkan kehidupan tumbuh dan berkembang. Secara singkat dapat dikatakan bahwa lingkungan hidup tidak hanya berkaitan dengan lingkungan  fisik tetapi juga dengan segala mekanisme kehidupan yang terjalin di dalamnya. Lingkungan hidup adalah tempat tinggal keseluruhan atmosfir yang menaunginya dan menunjang kehidupan.

Lingkungan hidup adalah sebuah ekosistem, alam semesta. Tetapi lingkungan itu sekaligus punya kaitan yang tak terpisahkan dengan kehidupan yang ada di dalamnya. Lingkungan hidup berkaitan dengan kehidupan dan hidup, karena menunjang kehidupan sekaligus kehidupan. Denis Owen mengatakan bahwa ekologi berurusan dengan hubungan diantara tumbuhan dan hewan dan lingkungan di mana mereka hidup. hubungan diantaranya adalah hubungan yang bersifat kait-mengait.

 Ada hubungan saling mempengaruhi satu sama lain diantara berbagai kehidupan dan dengan ekosistemnya untuk memungkinkannya tumbuh, berkembang dan hidup menjadi dirinya sebagaimana adanya. Dalam proses berinteraksi itu, setiap organisme berubah serta menyesuaikan diri serta memengaruhi perubahan organisme lainnya termasuk ekosistemnya. 

Dalam hal ini, organisme adalah bagian dari ekosistem, tetapi sebagai bagian, setiap organisme selain dipengaruhi juga mempengaruhi perkembangan ekosistemnya. Komponen organisme ini juga dapat dipengaruhi oleh rangkaian faktor seperti iklim, intensitas cahaya, beragam entits organik dan abiotis seperti tanah, air udara yang dalam dirinya mengandung kehidupan atau paling tidak menjadi sumber kehidupan dan  menunjang kehidupan itu sendiri.

Manusia sebagai makhluk ekologis

Manusia adalah ada yang tak terpisahkan dengan alam lingkungan tempat di mana dia hidup. Alam dipandang sebagai bernilai pada dirinya sendiri karena ada kehidupan di dalamnya, memiliki nilai intrinsik dalamnya dan manusia sangat bergantung penuh pada alam. Dengan melihat korelasi diantara keduanya yang begitu intensif, manusia tidak hanya dipahami sebagai makhluk sosial (social animal), melinkan sejatihnya dan hakekatnya yang paling dalam, manusia adalah makhluk ekologis. Sebagai makhluk yang berekologis, manusia tidak bisa hidup dan berkembang menjadi manusia seutuhnya tanpa alam, tanpa lingkungan ekologis. Manusia tidak bisa menjadi mansuia tanpa lingkungan hidup. Manusia tidak bisa hidup tanpa alam semesta, tanpa air, tanpa udara, tanpa hutan, tanpa tanah dan seluruh biota, flora dan fauna yang ada di dalam dunia ini.

Sebagai makhluk ekologis, secara hakiki manusia berada dalam rangkaian jaringan kehidupan yang terkait dan mengait satu sama lain. Ia bergantung pada ekosistem dan seluruh isinya sekaligus menentukan kelangsungan dan kehidupan ekosistem dan seluruh isinya. Sebagai makhluk yang ekologis, manusia membutuhkan kelangsungan ekosistem dengan seluruh isinya demi kelangsungan kehidupan dan eksistensinya sebagai mansuia. Dengan kata lain, eksistensi dan makna kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari eksistensi ekosistem dengan segala isinya, baik pada level biologis yang paling mendasar sampai pada level ekonomis dan kultural.

Pada level biologis, manusia tidak bisa hidup tanpa air, udara, atau makanan yang disediakan oleh alam. Tanpa air, udara, dan makanan yang disediakan oleh alam, manusia akan mati. Demikian juga secara ekonomis, manusia bergantung sepenuhya pada alam, pada ekosistem, pada segala yang disediakan oleh alam disekitarnya. Tidak ada ekonomi yang berkembang di luar alam. Dalam budaya, mansusia tidak bisa hidup sebagai makhluk yang berbudaya yang berada sebagaimana adanya tanpa alam. Secara kultural, manusia sangat bergantung penuh pada alam. Manusia dapat mengembangkan budaya apa saja, hal itu karena dikondisikan oleh alam. Karena itu ketika alam rusak, secara kultural manusia juga terancam. Maka konsekuensi lanjutannya adalah identitas manusia, baik secara biologis, ekonomi dan kultural maupun eksistensial ditentukan oleh relasi manusia dengan alam sekitarnya.

Dengan demikian untuk menjaga eksistensi manusia agar tetap eksis, manusia perlu mengenal secara intens 'identitas' sebagai makhluk ekologis. Mesti ada korelasi harmonis antara 'identitas dan aktivitas'. Laku kehidupan manusia harus diselaraskan secara harmonis dengan alam dan pencipta. Menciptakan kehidupan yang saling merawat, saling memlihara, saling menghargai, dan saling peduli (caring). Memelihara dan melindungi alam dihayati juga sebagai memelihara dan melindungi diri sendiri. Cintailah alam agar ia mencintaimu.

Bumi; Ibu sedang menjerit

St. Fransiskus dari Asisi membahasakan alam semesta dengan begitu lembut dan bersahabat. Alam semesta disebut Fransiskus sebagai seorang saudari dan ibu yang jelita. Alam sebagai saudari dan ibu, dengan penuh cinta dan kasih sayang menggendong, merawat dan memberi hidup bagi manusia, dengan menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan. 

Tetapi sayang sekali, saudari kita sekarang ini 'menjerit'. " Saudari (alam) sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena tampa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalagunakan kekayaan yang telah dileyakan Allah di dalamnya. Kita bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya". Tangisan alam sebagaimana yang diungkapkan oleh St. Fransiskus, nyatanya tidak mendapat respon yang baik dari manusia. 

Alam lingkungan tempat hidup semua makhluk hidup hingga kini masih menjerit, karena perlakuan yang tidak adil. Eksploitasi alam yang begitu masif, pencemaran air, udara, dan tanah terus dilakukan oleh manusia. Manusia lupa atau tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa kerusakan lingkungan hidup merupakan proses degradasi kualitas lingkungan hidup. Kualitas lingkungan hidup yang terdegradasi pada gilirannya akan mendegredasi kualitas kehidupan manusia.

Situasi alam semesta yang semakin hari didegredasi oleh manusia. Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si mengingatkan agar manusia berbenah diri dan menyadari bahwa pentingnya menjaga, merawat lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup pada umumnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu peristiwa alam dan ulah manusia yang tidak bertanggungjawab.  Namun sebagian masalah kerusakan alam lingkungan disebabkan oleh ulah manusia yang tidak ramah lingkungan dan egoistik narsistik. Krisis lingkungan hidup adalah suatu masalah besar yang harus dan segera diatasi.

Ekologi dalam kungkungan egologi

Penyebab kerusakan lingkungan hidup secara umum bisa dikategorikan dalam dua faktor yaitu ulah alam (letusan gunung, banjir angin puting beliung, dll) dan ulah manusia. Namun bila ditelisik lebih dalam bahwa sesungguhnya kerusakan alam disebabkan oleh ulah manusia. Manusia membuang sampa tidak pada tempatnya menyebabkan banjir, penebangan hutan liar mengakibatkan longsor, dll. Kerusakan alam yang terjadi secara sistematis, continue, dan cenderung eksklusif menyebabkan alam mengalami ketidakseimbangan jaringan ekosistem. Kerusakan alam baik secara global maupun nasional sebenarnya terjadi karena ulah manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap alam.

Demi uang, manusia tega merusak, menghancurkan keharmonisan alam. Krisis lingkungan hidup sesungguhnya ada hubungan antara krisis moral dan sikap. Manusia demi memenuhi keinginan yang egoistik alam dikorbankan. Sentralitas 'aku' atau aku itu segalanya tanpa peduli dengan lingkungan hidup, kepenntingan publik, kebaikan bersama dan kebaikan generasi yang akan datang adalah akar terdalam dari pengrusakan alam lingkungan hidup natural dan lingkungan hidup sosial. 

Egologi telah merasuk dan mendominasi prilaku manusia dan menghancurkan keharmonian ekologi. Egologi dengan semboyan ke-'akuan' yaitu setiap orang boleh melakukan sesuatu yang bertujuan memberikan manfaat, keuntungan dan kenikmatan kepada diri sendiri tanpa harus berjerih-lelah untuk mempertimbangkan kebaikan orang lain dan alam sekitar.  Prinsip egologi adalah kenikmatan dan kesejahteraan diri sendiri adalah hal yang harus diutamakan dengan mengabaikan nilai yang lain, dan perbuatan dipandang buruk bila tidak mendatangkan kesejahteraan atau kenikmatan pribadi.

Mengubah paradigma; dari Antropomorfisme menuju Bioregionalisme

Masalah ekologis bukan saja merupakan akibat dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan, tetapi juga disebabkan oleh ketidatahuan arah peradaban manusia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jadran Mimica, bahwa krisis ekologi disebabkan oleh rendahnya pengetahuan manusia tentang dirinya dan alam lingkungan. 

Cara pandang manusia yang bersifat mekanistik-reduksionis dan antropomorfis beserta sistem nilai yang mendasarinya telah turut menciptakan ketidakseimbangan dalam pikiran manusia, dalam nilai dan sikap budaya, dan dalam struktur sosial dan politik. Cara pandang yang menekankan manusia sebagai subjek tunggal dan yang unggul dihadapan ada yang lain telah mengantar manusia untuk bertindak sebagaimana yang 'aku' inginkan. Paradigma antropomorfisme telah melahirkan perilaku eksploitatif eksesif yang mmerusak alam sebagai komoditas ekonomi dan alat pemuas kebutuhan manusia. Penekanan pada cara pandang bahwa alam dilihat sebagai objek dan manusia sebagai subjek telah membuka peluang manusia untuk betindak amoral terhadap lingkungan. 

Sikap manusia yang disebut Jadran Mimica sebagai 'kekerasan ontologis' telah mengantar manusia pada taraf penghakiman atas alam dengan mendominasi sikap hidup yang egoistik. Manusia gagal mengenal identitasnya sebagai makhluk ekologis. Alam lingkungan hanya dilihat sebagai objek pemenuhan kebutuhan ekonomi, yang terus bergairah demi pemuasan nafsu hedonistik, narsistik. 

Manusia lupa bahwa eksistensinya mendapat afirmasi penuh justru karena alam. Alam yang telah menyediakan segala sesuatu (tanah, air, udara, makanan, dll) agar manusia bisa hidup dan tetap eksis. Berhadapan dengan krisis paradigma ini, penulis menganjurkan suatu ajaran atau paradigma baru yaitu menuju masyarakat yang berkelanjutan, masyarakat yang secara ekonomi sejahtera tetapi sekaligus secara ekologis ramah dan harmonis dengan alam sebagai sistem kehidupan.

Bioregionalisme; Masyarakat Berkelanjutan

Secara etimologis, biosentrisme berasal dari kata bahasa Yunani yaitu bios yang berarti kehidupan dan bahasa Latin regio(nal) yang berarti wilayah. Biosentrime mengandung pengertian kehidupan yang berpusat pada wilayah, tanah, habitat tempat tinggal setempat. Atau falsafah hidup tentang hidup sesuai dengan kekhasan wilayah setempat. Singkatnya biosentrisme adalah ajaran tentang bagaimana hidup di tempat asal, tempat setempat di mana kita lahir, yang selaras dengan alam tempat aslinya dan selaras dengan budaya setempat.

Filsafat bioregionalisme pertama kali digunakan oleh Allen Van Newkirk sekitar 1970-an. Newkirk memahami bioregionalisme sebagai sebuah proses teknis dalam mendefenisikan wilayah budaya yang ditafsirkan sebagai biogeografis, di mana aktivitas manusia yang menjaga lingkungan termasuk restorasi ekositem, sambil menggali kembali model-model aktifitas manusia yang selaras deengan kenyataan biologis alam yang ada.

Bioregionalisme mengajak kita untuk memahami tempat, rumah, alam, tempat yang begitu dekat dengan kehidupan manusia. Inti dari filsafat bioregionalisme adalah kesadaran akan tempat. Tempat menjadi keseluruhan kesadaran dan sekaligus membentuk sudut pandang, cara berpikir, dan cara berada. Tempat dalam hal ini adalah oikos, habitat, alam yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari setiap hidup manusia. Dengan demikian bioregion tidak hanya mengacu pada hamparan geografis, tetapi juga hamparan kesadaran, kesadaran ekologis untuk membangun kehidupan yang harmonis. Bioregion mencakup ruang fisik dan juga ruang mental-sebuah kesadaran.

 Dengan mengacu pada dua prinnsip bioregionalime di atas, maka ada dua pola hidup yang perlu dibenah. Pertama; Bagai mereka yang masih mendiami wilayah biotis yang masih asli dan utuh dengan segala pemberian alam yang kaya, bioregionalisme mengajarkan untuk jangan meninggalkan tempat itu dengan tetap memperhatikan keharmonisan ekologis. 

Bioregionalis mengajarkan untuk hidup dalam kondisi yang disediakan alam. Hidup dengan kondisi dan bergantung dari ketersedian bukan berarti hidup dalam kemiskinan, tetapi sebaliknya hidup dalam kelimpahan yang disediankan oleh alam (tanah, air, udara yang bersih,dll). Hidup sesuai dengan kondisi yang disediakan alam merupakan sebuah senih hidup yang indah dan asri, penuh sukacita, sebuah kehidupan dengan kekayaan dan kelimpahan berkat dari alam, dengan terus menjaga dan merawat alam sebagai bentuk aktualisasi identitas sebagai makhluk ekologis. Kedua; Bagi mereka yang sudah terlanjur hidup di perkotaan, bioregionalisme menawarkan gerakan 'menghuni'. Menghuni berarti membangun kehidupan dalam batas-batas dan kondisi-kondisi yang tersedia oleh alam semesta dan bukan melawan alam. Membangun hidup yang selaras dengan alam sambil mewujudkan  kehidupan baru yang berkualits tidak hanya dari segi ekonomi, tetapi juga dalam hal kualitas lingkungan dan kualitas  sosial budaya.

Inti dari kedua pola hidup baru yang didasarkan pada filsafat bioregionalisme diatas adalah dijadikannya sebuah sistem alam sebagai acuan dasar dalam membangun kehidupan manusia. Hal ini didasarkan bahwa ada hubungan yang sangat mendalam dan hakiki antara alam dan manusia. Bioregionalisme memberi kesempatan kepada manusia untuk kembali menghayati kesatuan dirinya dengan alam sekitar, dengannya ia akan mampu mengenal identitasnya sebagai makhluk ekologi yang keberadaannya bergantung penuh pada alam lingkungan. Pertanyaan mendasar bagi manusia modern dengan latar belakang kapitalis-antropomorfis, bagaimana kita mulai merestorasi kepekaan kita akan pentingnya alam sebagai rumah tempat tinggal semua makhluk hidup? Menghadapi situasi ini manusia modern harus berjuang untuk menyelamatkan identitas bersama sebagai makhluk ekologis dan menciptakan masyarakat yang berkelanjutan. Manusia modern harus membangun kembali ekologi, habitat bagi identitas kolektifnya, yaitu menyatukan kembali budaya manusia dengan alam, mengintegrasikan kembali manusia dengan tempat aslinya.

Restorasi bioregional berarti suatu upaya sadar komunitas manusia untuk kembali ke alam, kembali ke tempat asal, keproses ekosistem setempat, untuk membangun kembali relasi komunitas manusia dengan alam. Upaya sadar diri ini mestinya termanifestasi dalam aksi merawat, melindungi, menjaga alam semesta sebagai sebuah bentuk yang lahir dari ekologis tentang hubungan esensial antara alam dengan kehidupan pada umumnya. Restorasi  di sini bermakna bahwa manusia dipanggil kembali oleh alam untuk melayani alam, sebagaimana alam yang telah melayani manusia dan kehhidupan pada umumnya tampa menuntut balik. Usaha bioregionalisme bertujuan membangkitkan kesadaran akan restorasi hubungan hakiki antara manusia dan alam, dalam wujud melayani, merawat, menjaga alam yang telah meelayani manusia dengan tanpa pamrih demi terciptanya masyarakat yang berkelanjutan, harmonis dan sejahtera.

Penutup

 Persoalan krisis ekologi sesungguhnya berakar pada paradigma manusia terhadap alam secara keliru. Dengan penekanan pada antropomorfis, manusia telah mengalami kehilangan daya nalar, dan kesanggupannya untuk mengenal identitasnya sebagai makhluk ekologi. Penekanan pada subjek aku sebagai yang unggul dari yang lain telah membukan peluang bagi manusia untuk 'menjajah' alam. Manusia adalah makhluk ekologis. Eksistensi manusia sebagai manusia mendapat afirmasi penuh dari alam baik pada level biologis yang paling dasar maupun sampai pada level ekonomi dan kultural. Maka kerusakan alam hanya akan diatasi, jika semua manusia mengenal identitasnya sebagai makhluk ekologi, membangun kesadaran moral untuk merawat, melindungi alam.

Sumber-Sumber Bacaan;

Bahan ajar materi Ekologi, Fakultas Filsafat Widya Mandira Kupang, 2020

Baker, Anton, Kosmologi dan Ekologi, Kanisius, 1995

Dewantara, W. Agustinus, Filsafat Moral, Kanisius, 2017

Jurnal Ledalero, Tanggung Jawab Ekologis, Vol.3, No. 2, 2014

Keraf, A. Sony, Filsafat Lingkungan Hidup, Kanisius, 2014

Kristoforus Tara, Yohanes, Ekologi dalam Kristen dan Islam, Yayasan Pustaka Nusantara, 2008

                                                                          

            

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun