Walaupun problem folosofis yang kita hadapi hari ini masih kabur dan belum kunjung jernihnya mendudukan dua terminologi yang sesungguhnya berbeda, tetapi cenderung kita anggap sama. Dua terminologi tersebut ialah bangsa dan negara. Dua terminologi tersebut sesungguhnya jika direnungkan memiliki makna berbeda. Bangsa adalah sebuah masyarakat yang terikat sebab memiliki rasa kesamaan anatara satu dengan yang lainnya, sementara negara ialah organisasi pada suatu wilayah yang memiliki supremasi tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Jika terma yang pertama merujuk pada rasa, terma kedua lebih kepada nuansa administratif dan legal formal.
Dalam perjalanan “melahirkan” Indonesia, penetapan Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu modal penting, sebab suatu karakter kepribadian yang khas. Karakter itu tercermin dari adanya kekayaan etnisitas, suku, ras, agama, dan golongan yang begitu plural.
Disamping itu, Indonesia juga merupakan negara yang mengikuti dinamika perkembangan modernitas sebagai sebuah tuntutan global. Dengan demikian keunikan dari karakter kepribadian Nusantara yang khas ini dapat menggabungkan tiga pilar penting yakni yang pertama, Islam sebagai sistem nilai dan agama yang dianut oleh mayoritas. Kedua, adanya sistem demokrasi pancasila yang menjamin adanya kedaulatan di tangan rakyat sepenuhnya, dan ketiga tantangan adanya modernitas di sisi yang lain. Sekali lagi, penggabungan tiga aspek penting dalam suatu harmoni kehidupan kebangsaan dan kenegaraan tidaklah mudah.
KH Mahfudz Siddiq (1906-1944) pada 1935 menginisiasi suatu konsep yang sangat menarik terkait karakter kepribadian Nusantara. Konsep itu ia namakan mabadi’ khairi ummah (pilar-pilar masyarakat ideal). Pada awalnya, konsep itu hanya mencakup tiga pilar, kemudian dikembangkan menjadi lima pilar yaitu pilar kejujuran dan kebenaran, pilar kesetiaan dan komitmen, pilar keadilan, pilar solidaritas dan pilar kedisiplinan dan konsistensi. Melalui organisasi Nahdatul Ulama (NU) yang merupakan tempatnya bernaung dan mendarmabaktikan diri, Mahfudz mengkampanyekan pembentukan karakter bangsa yang bersendi pada pilar-pilar tersebut.
Jalan Terjal
Sekali lagi kita patut bersyukur atas ditetapkannya pancasila sebagai dasar negara. Pancasila pada hakikatnya ialah kontrak sosial dan titik temu diantara para pendiri bangsa.
Jauh setelah ditetapkannya pancasila sebagai dasar negara, kita tahu banyak jalan terjal yang harus dilalui. Aneka riak-riak ketidaksetujuan yang disebabkan kekurangdalaman dalam memahami sebuah persoalan, menyebabkan banyak gerakan-gerakan yang berusaha untuk merongrong pancasila. Sebut saja gerakan Sporadis Kartosoewirjo dengan Darul Islamnya atau juga gerakan-gerakan yang berusaha untuk mendirikan sistem khalifah yang masih kita rasakan denyutnya, bahkan sampai hari ini, termasuk didalamnya NIIS (Negara Islam Irak Syiria).
NU sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia didasari pemahaman yang jernih dengan sangat lantang mengatakan bahwa NKRI ialah bentuk final dan pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Dua keputusan tersebut sesungguhnya tidak lepas dari alasan historis bahwa pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari ialah pencetus dan penggerak resolusi jihad, Pada titik ini sesungguhnya nasionalisme NU tidak bisa diragukan lagi. Bahkan pada muktamar ke – 27 1984 di Situbondo, secara tegas NU memutuskan bahwa NKRI dengan pancasila dan UUD 1945 ialah bentuk final perjuangan umat Islam.
Lebih jauh, dalam menjaga nasionalisme tersebut, Kyai Ahmad Shiddiq (1926 - 1991) kemudian merumuskan tiga model Ukhuwwah yang sangat terkenal yaitu, ukhuwah islamiyyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan umat manusia). Ketiga model ukhuwah yang diformulasikan ini patut kita renungkan dan amalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pada itu, Ketua Umum PBNU, Said Aqil Sirij, dalam artikelnya “mendahulukan cinta tanah air” mengatakan ukhuwwah wathaniyyah harus diutamakan di atas ukhuwwah islamiyyah. Hal ini sesungguhnya pernyataan retorik sekaligus penegasan sikap bahwa cinta tanah air dan menjunjung tinggi nasionalisme serta menjaga warisan founding father ialah hal yang tidak bisa ditawar lagi, apalagi di tengah pelbagai isu gerakan yang semakin berusaha untuk menggerogoti nasionalisme kita. NU, berkomitmen mempertahankan, menjaga, sekaligus merawat warisan luhur tersebut.
Walhasil, pada momentum muktamar ke – 33 di Jombang pada 1 – 5 Agustus mendatang yang mengusung tema “meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”, sekali lagi, kita tunggu terobosan serta sikap NU dalam merespon fenomena kebangsaan yang sedang kita alami hari ini.
A Helmy Faishal Zaini (Ketua LPPNU, Anggota Komisi x DPR RI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H