Tidak pernah #Ada 'Surga Dunia', jika itu 'ada', ia hanyalah "ilusi". Di sisi lain, akan selalu #Ada "Surga Akhirat", sebab ia adalah "kenyataan" (fact). Â Penting untuk memahami kedua pengertiaan ini untuk tidak saling ditukar sehingga tidak timbul gejolak sosial di masyarakat.
Barangkali tidak berlebihan jika aku menyebutnya surga dunia sebagai ilusi dan surga akhirat sebagai kenyataan. Barangkali orang-orang akan membantah pernyataan ini dengan berkata, "Dunia ini juga punya sisi kebahagiaan." Tapi bukankah dunia juga punya sisi penderitaan? Tidaklah pantas suatu tempat disebut 'surga' jika ia mengandung "dinamika" kebahagiaan dan penderitaan yang silih berganti. Sebab, surga adalah tempat dimana kebahagiaan berada, kebahagiaan yang hanya ada kebahagiaan abadi. Itulah esensi surga. Dan itulah mengapa aku menyebut surga dunia sebagai "ilusi".
Suatu realitas bisa disebut sebagai kenyataan jika ia mempunyai esensi (bahan-bahan penyusun dasar) atas realitas itu sendiri. Sebagai contoh, manusia hanya bisa dikatakan manusia selama ia mempunyai jasad, akal, perasaaan, dan kehendak, secara potensial maupun aktus. Jika kita menghilangkan satu esensi dari manusia, misalnya akalnya, maka ia bukan lagi manusia tapi ia hanyalah "hewan berkaki dua". Â Selama esensi itu melekat pada kemanusiaannya maka pada "kenyataannya" ia tetap manusia. Jika potensinya tidak dipakai, pada kenyataannya ia tetap manusia, tapi 'seolah-olah' bukan manusia.
Setidaknya itulah yang terjadi pada 'surga dunia', yakni dunia yang dibuat seakan-akan sebagai tempat yang disebut surga. Pada dasarnya, dunia tetaplah dunia, yakni tempat dimana ujian berlangsung, dimana kebahagiaan dan penderitaan silih berganti mengikuti dinamika ruang dan waktu dalam mengarunggi "ujian". Pada dasarnya, orang-orang yang memandang dunia sebagai surga, hanyalah "memalingkan pandangannya" kepada kebahagiaan dunia tapi mengabaikan penderitaan dunia. Mereka adalah orang-orang yang berusaha 'lari' dari #KenyataanHidup.Â
Tapi bagaimana pun dunia diingkari dan bagaimana pula orang-orang berusaha 'lari' dari #KenyataanHidup, pada akhirnya mereka akan "menyerah-menerima" dunia sebagai #KenyataanHidup, tanpa tawar, tanpa pengecualiaan. Permasalahannya adalah kapan mereka akan cukup "dewasa" untuk menyadari #KenyataanHidup ini, apakah kesadaran itu akan timbul karena periswa tertentu sebagai "titik balik" hidup mereka, atau kesadaran itu akan muncul ketika mereka mengalami "sakratul maut".
Lalu Apa yang terjadi jika kedua istilah ini  (surga dunia dan surga akhirat) ditukar? Yang pasti gejolak sosial yang luar biasa telah terjadi! Itulah yang terjadi hari ini. Kita bisa memahami bahwa ketika manusia memandang dunia sebagai 'surga'. Ia akan menempatkan dunia ini sebagai tujuan hidupnya, sehingga ia tidak akan memperdulikan sesuatu apapun kecuali "kebahagiaannya sendiri" (baca: hedonisme-egoisme).Â
Fenomena foya-foya, hura-hura, pergaulan bebas, dan segala macam kebahagiaan semu yang terjadi di sekitar kita merupakan manifestasi dari pandangan manusia tentang 'surga dunia'. Apakah ini buruk? Tentu saja, tiada yang menyangkalnya, kecuali "orang-orang yang mendengungkan surga dunia". Tidak cukupkah kemiskinan, pembunuhan, kebiadaban, keegoisan, ketidakacuhan, keserakahan, pemerkosaan, aborsi, korupsi, dan segala ketamakan dan kebusukan mengambarkan betapa mengerikannya bahaya 'surga dunia' itu?
Di sisi lain, selalu #Ada "surga akhirat", di 'dekat' kita sejauh lima masa saja (duniawi-kematian-barzah-penghisaban-surga). Surga akhirat adalah kebahagiaan yang sesungguhnya, tempat dimana kita bisa "memuaskan" segala hasrat dan keinginan yang bersemayam dalam diri manusia tanpa takut-cemas diri kita akan binasa karena tak sanggup menahan segala hasrat itu.
Apa yang terjadi jika manusia memandang surga akhirat sebagai kenyataan? Tentu saja keberkahan hidup dan keseimbangan sosial yang menakjubkan! Jika manusia menerima surga akhirat sebagai kenyataan, maka tentu mereka akan menempatkan dunia dan surga sesuai dengan kedudukan, yakni dunia sebagai sarana "ujian" dan surga sebagai "tujuan akhir". Mereka akan lebih "serius" dalam menjalani ujian itu, sehingga mereka akan gemar beramal sholeh baik secara individu maupun sosial.Â
Hidup hanya untuk ibadah semata kepada-Nya. Kalimatullah tentu akan senatisa diucapkan di sepanjang hari bersama rasa syukur dalam hati mereka. Sholat lima waktu menjadi media efektif untuk meningkatkan spiritual kepada Allah SWT. Â Puasa di bulan ramadhan, dan puasa sunnah di hari-hari yang ditentukan tentu terasa ringan dan menyenangkan. Membayarkan zakat dan shodaqoh, menolong sesama, Â saling berkasih sayang dalam kebaikan, saling menasehati dalam kesabaran tentu menjadi jiwa sosial mereka. Dan barangkali jika mereka diberikan kesempatan lebih tentu akan menunaikan haji untuk memenuhi panggilan-Nya di rumah-Nya. Semua itu dirangkum dalam satu kalimat, "Kehidupan dunia hanya untuk beribadah dan surga akhirat sebagai tujuan hidup".
 Pada akhirnya, antara surga dunia dan surga akhirat adalah pilihan dari setiap manusia untuk memilih dimana mereka akan tinggal dan berjuang untuk 'kehidupannya' baik fana maupun abadi.  Tapi sebagaimana orang-orang bijak berkata, "Terimalah kenyataan hidup dan sikapilah kenyataan itu",  maka adakah pilihan yang lebih baik daripada menerima #KenyataanHidup?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H