"Ordik itu apa sih, Mbak? Sejenis odol rasa Oreo gitu, bukan?" tanya gue dengan polosnya.
"Bukan Mas, Ordik itu Orientasi Pendidikan, kayak pengenalan terhadap kampus, gitu," jawab perempuan manis berambut pendek sebahu di bagian Penerimaan Mahasiswa Baru. Dia memakai kemeja biru muda, mirip seragam sopir Taksi Blue Bird.
"Ohh, di situ kita ngapain aja ya, Mbak?" tanya gue lagi dengan penasaran.
"Untuk kegiatannya sendiri masih rahasia, pokoknya datang saja di hari Senin, ya! Dijamin have fun kok kegiatannya, Mas."
Pagi ini, ceritanya gue sedang mampir ke calon kampus gue di Universitas Budi Luhur, Jakarta, untuk mengurus daftar ulang. Sesampainya di sana, gue langsung menyelesaikan urusan pembayaran dan sekaligus menyerahkan nilai ijazah sebagai persyaratan. Selain menyelesaikan urusan pendaftaran, gue juga mencari tahu, kegiatan apa yang harus gue lakukan setelah diterima menjadi Mahasiswa. Ternyata, ada kegiatan yang sudah menanti gue yakni, Ordik.
Awalnya, gue mengira kalau Ordik itu sama kayak MOS (Masa Orientasi Sekolah) di SMA gitu, ternyata gue salah. Setelah gue searching di Google, banyak muncul tulisan yang mengatakan kalau Ordik atau Ospek itu menyeramkan. Kenapa bisa, gitu? Karena, kegiatan ini selalu identik dengan perploncoan dan kekerasan. Bahkan, gak sedikit yang sampai meninggal dunia, setelah mengikuti kegiatan ini. Mengetahui hal itu, seketika muncul pertanyaan polos di otak gue, "Apa gue harus mati dulu, biar bisa kuliah?"
Dari tulisan yang gue baca, katanya sih, perploncoan di Ospek itu tujuannya bagus, untuk mengenalkan mahasiswa dengan lingkungan kampus. Selain itu, kegiatan yang dilakukan pun dibuat supaya Mahasiswa bisa survive dengan masalah di lingkungan kampus nantinya. Apa masih bisa dibilang, Ospek itu pengenalan kampus, kalau kegiatannya disuruh melakukan hal yang aneh-aneh dan gak ada kaitannya sama kuliah? Ibaratnya, kayak kita mau nembak gebetan kita, tapi sebelum nembak, dia kasih sebuah syarat konyol kaya gini, "Pokoknya, kalau kamu memang beneran mau jadi pacar aku, kamu harus bisa selfie sambil nempelin muka sama Singa di Taman Safari." Edan!
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya waktu yang gue tunggu tiba juga. Hari pertama Ordik di kampus gue pun tiba. Sebelumnya, gue sudah menyiapkan diri dengan matang untuk mengikuti Ordik ini. Dimulai dari penampilan yang rapih. Dulu gue yang biasanya, selalu setia dengan rambut poni ke samping mirip alay Dahsyat, langsung memangkas rambut agak cepak, mirip kayak artis papan atas di Indonesia, Tukul Arwarna. Selain itu, biar gak minder kalau ketemu cewek cantik, maka mulut gue harus tetap kesat, segar, dan wangi. Oleh karena itu, gue memakai mouth wash yang gue temukan di kamar mandi Tante gue, dengan merek: Pembersih Daun Sirih - Mustika Ratu.
Dengan mengenakan kaos berwarna biru, celana jeans, dan name tag dari plastik dengan kalung berwarna kuning, gue duduk di pinggiran lapangan basket sendirian dalam gelap. Ya, gue datang kepagian. Seharusnya, para Maba alias Mahasiswa baru disuruh datang jam 6 pagi, tapi gue sudah nangkring di kampus dari jam 5 pagi. Sejauh mata memandang, gue gak menemukan orang yang mengenakan seragam sama seperti gue. Melainkan, hanya ada beberapa pria dengan mengenakan Jaket Almamater kampus. Tanpa berpikir terlalu lama, gue bisa menyimpulkan, kalau sekumpulan pria itu adalah para senior di kampus ini.
Hah?! Senior?! Mendadak pagi itu, hidup gue merasa terancam. Gue langsung membayangkan, sekumpulan pria itu datang menghampiri gue dan berkata, "Ngapain lo datang jam segini?! Mau jadi jagoan lo?! Sebagai hukuman, karena lo udah dateng kepagian, sekarang ciumin satu per satu jempol kaki kita, tanpa narik napas!"
"Dek! Dek! Jangan ngelamun, nanti kesambet, loh," ujar seorang wanita memakai jaket Almamater dengan rambut panjang terurai, seketika membuyarkan lamunan gue.
"Err~ Gak ngelamun kok, Kak," jawab gue seadanya.
"Ini kan masih pagi, mending kamu duduk di dekat Masjid aja dulu, soalnya kita mau siapin panggung buat nanti sambutan dosen." Ujar kakak senior tersebut, berusaha mengusir gue secara halus dari pinggir lapangan.
Sambil berjalan ke arah Masjid, gue berpikir, sepertinya ada yang aneh dengan perlakuan senior yang menghampiri gue tadi. Sangat jauh berbeda, dengan senior yang ada di benak gue. Dia begitu baik, ramah, dan gak ada ekor di bokongnya. Biarpun dia baik, tapi gue gak boleh percaya begitu saja, mungkin itu bagian dari tipuan mereka. Bisa saja, saat gue sampai di Masjid, gerombolan senior lainnya sudah menanti gue, sambil membawa obor dan tombak.
Sesampainya di Masjid, gue duduk di sebuah bangku taman. Sendirian. Gue hanya duduk sambil bermain Sudoku di Blackberry gue. Hingga akhirnya, langit gelap pun berubah menjadi terang cerah dan satu per satu Mahasiswa baru mulai berdatangan. Kemudian, semua Mahasiswa baru langsung disuruh berkumpul dan duduk di tengah lapangan basket. Gue kemudian langsung duduk sesuai kelompok yang sudah dibagikan yakni, kelompok KA. Acara pembukaan dimulai, dengan sambutan dari Bapak Rektor Universitas Budi Luhur. Rektor itu bukan sejenis Alien dari planet Pluto, tapi itu nama jabatan sekelas kayak kepala sekolah di SMA, gitu.
Acara sambutan dari Rektor, kemudian dilanjutkan dengan pemukulan Gong dan pelepasan balon, sebagai simbolik penerimaan Mahasiswa baru angkatan 2014 telah resmi dilakukan. Seremonial peresmian mahasiswa baru angkatan 2014 pagi itu, juga dimeriahkan dengan gemuruh tepuk tangan dari sekitar 5.000 lebih Mahasiswa baru. Gue memberikan tepukan paling meriah, bukan pake tangan, tapi pake kepala orang yang gue bentur-benturin ke tanah.
Setelah acara peresmian, kemudian para Mahasiswa baru digiring berdasarkan jurusan masing-masing menuju ke ruang kelas yang berbeda-beda. Setiap kelompok digiring oleh 2 orang kakak PK. Bukan, PK itu bukan Pemakan Kancut, melainkan Penjaga Kelas. Jarak dari lapangan menuju kelas lumayan jauh, saking jauhnya, bahkan ada kakak senior yang terbang pake burung Elang.
Sesampainya di kelas, gue memilih untuk duduk paling belakang, bagian pojok sebelah kiri dari pintu masuk. Selang beberapa saat, setelah semua Maba lainnya duduk, tiba-tiba kedua kakak PK gue keluar dan menutup pintu sambil bilang, "Kita mau keluar dulu sebentar. Kalian jangan kemana-mana, ya!" Mendadak, perasaan gue jadi gak enak kembali. Seolah, ketakutan gue di awal soal Ospek dan senioritas kembali muncul. Hingga muncul teriakan dari dalam kepala gue, "Mampus, gue dikunciin di sini! Sebentar lagi, gue pasti bakal dimasukin ke koali raksasa dan direbus hidup-hidup jadi Sop Daging Anak Rantau."
"Heh, lo diem aja dari tadi. Kenalin nama gue, Farah," ujar seorang perempuan berkaca mata dengan kulit agak coklat gelap di sebelah kanan gue, dan seketika membuyarkan lamunan gue. Ia kemudian, menyodorkan tangannya ke arah gue.
"Err~ Iya, kenalin aku Dono," jawab gue dengan logat Jawa Timur yang kental banget, kayak opor ayam kebanyakan santan.
"Lo dari daerah, yak? Logat lo aneh, hahaha," ujar Farah, sambil tertawa ngeledek.
"Iya, aku pindahan dari Surabaya. Emangnya aneh, gimana?" tanya gue penasaran.
"Oalah, pantes. Aneh aja, kayak tukang warteg, gitu, hehe," kata Farah lagi, masih dengan tertawa sedikit ngeledek.
Di awal masuk kuliah, gue memang merasa berbeda dengan yang lainnya, khususnya dari gaya bahasa. Ketika yang lainnya berbicara menggunakan 'gue-lo', sebaliknya gue justru masih memakai bahasa 'aku-kamu', gitu. Alasannya simpel, bukan karena gue gak mau beradaptasi, melainkan gue belum bisa move on dari Surabaya. Bahkan, saking masih terngiang dengan Surabaya, gue memiliki misi terselubung, yakni menyebarkan bahasa aku-kamu di Jakarta. Agar anak muda di Jakarta gak ada lagi yang ngomong pakai gue-lo lagi.
Setelah berbasa-basi mengenai asal sekolah, gue dan Farah pun mengobrol semakin asyik. Ternyata, gue dan dia memiliki hobi yang sama, yakni menulis. Bedanya, kalau gue suka menulis tentang komedi, Farah lebih suka menulis Fanfiction. Sebuah genre yang menceritakan sosok artis idola dan kemudian dijadikan pemeran utama di dalam cerita, gitu. Selain menulis, 1 hal lain yang gue tahu dari Farah adalah dia seorang maniak JKT 48. Ya, bisa dibilang dia itu salah satu fans berat dari JKT 48, gitu.
"Lo gak percaya, Don, kalo gue tuh ngefans banget sama JKT 48? Nih, gue punya buktinya loh," kata Farah, sambil berusaha mengeluarkan sesuatu dari balik dompetnya.
"Wah, keren juga kamu, Far," kata gue tergkagum, melihat Farah memamerkan selembar foto bersama beberapa personil dari JKT 48.
"Keren, kan? Iya lah, siapa sih, yang gak suka sama JKT 48 di dunia ini? Semua orang pasti suka sama JKT 48, bahkan gue yakin, lo juga suka sama JKT 48, kan? Iya, kan? Hayoo, ngaku aja deh," ujar Farah, sambil berusaha menyudutkan gue.
"Err~ Iya, tapi aku suka sama Melody JKT 48 doang sih, dia cantik banget, aku juga follow Twitternya kok," ujar gue berusaha menjelaskan. "Kadang aku juga suka nyanyi sambil nari-nari di kamar, gitu. Tapi gak sampe pake rok kayak Melody juga sih," sambung gue dengan polosnya dan seketika nampak beberapa cowok di sebelah gue melirik, dengan pandangan penuh rasa jijik setelah mendengar kalimat itu.
"Wuiiihh kerenn tuhh, gue juga kalo di JKT 48 paling suka sama Melody, dia itu cantiknya luar biasa banget," ujar Farah dengan penuh semangat, bahkan sampai muncul cincin api dari atas kepalanya.
"Iya dong, calon pacar aku tuh nanti, hehe,"
"Halah, itu mah khayalan lo doang, Don. Gue dong, udah pernah ketemu langsung pas dia lagi Theater. Gue juga pernah handshake sama dia, cuma bayar 100 ribuan doang, hehe." Kata Farah dengan penuh rasa bangga, sambil nunjukin foto-fotonya lagi salaman bareng member JKT 48 dan gue hanya bisa ngangguk-ngangguk kayak bocah SD habis mabok Lem.
Dari percakapan dengan Farah, gue baru tahu, kalau ada minuman jenis baru yang lebih mahal dari milkshake, yakni handshake. Gue gak habis pikir, hanya untuk bersalaman dan foto bareng dengan 1 orang member JKT 48 saja, kita harus membayar ratusan ribu. Gokil! Gue jadi membayangkan, andai Melody JKT 48 beneran menjadi pacar gue kelak dan gue menjadi manajernya, gue pasti akan kaya raya. Gue akan meminta bayaran bagi mereka yang ingin melakukan salaman, lalu mencubit pipi, atau bahkan, hingga meminta bulu hidung Melody buat dijadikan koleksi pribadi.
Di tengah perbincangan gue dengan Farah, tiba-tiba saja, ada seorang perempuan yang masuk ke dalam ruangan dengan wajah bingung. Nampak, dia kebingungan mencari tempat duduk yang kosong. Dengan spontan, gue pun melaimbaikan tangan gue ke arahnya dan mengatakan, "Duduk di sini aja, kosong kok."
Tanpa menjawab, perempuan berkerudung hitam itu pun langsung duduk di depan gue, sambil sekilas melemparkan senyuman tipisnya ke arah gue.
"Heh, lo anak kelompok KA juga, ya? Kenalin nama gue, Farah," ujar Farah kembali sok kenal ke perempuan berkerudung hitam yang baru saja duduk sebelahnya, dengan sambil menyodorkan tangannya.
"Iya nih, gue agak telat, soalnya tadi ke toilet dulu. Gue Icha, salam kenal ya," jawab Icha juga sambil menyodorkan tangannya.
"Oiya, kenalin juga, dia Dono, anak rantau dari luar pulau," ujar Farah, coba memperkenalkan gue dengan Icha.
"Kenalin, nama aku Dono. Salam kenal ya, Icha," kata gue sambil senyum ke arahnya.
"Iya Dono, salam kenal juga, ya." Jawab Icha, sambil membalas dengan senyuman tipis ke arah gue.
Pertama kali melihat wajah Icha, gue merasa adem banget, serasa lagi dimandiin pakai Es batu 1 ember. Dia seorang gadis berkerudung hitam, dengan kaca mata bulat mirip kacamata Bo-Bo-Ho, lengkap dengan senyuman yang manis. Setelah berbincang lebih jauh, gue jadi tahu, kalau nama asli Icha sebenarnya adalah Khoirunisa. Lalu, kenapa dipanggil Icha? Gue gak habis pikir, kenapa orang-orang yang nama belakangnya 'Sa' selalu dipanggil dengan 'Cha', gitu? Misalnya, Khoirunisa jadi Icha, Anisa jadi Icha, dan Melissa jadi Icha juga. Lalu, apa harus kalau gue mau beli micin merek 'Sasa' di warung, gue harus bilang, beli micin merek 'Cha-cha' juga? Gue jadi gak habis pikir, kenapa orang-orang jaman sekarang senang banget ganti nama dengan nama yang aneh-aneh. Biar apa coba? Biar keliatan keren, gitu? Misalnya, Bambang jadi Bams, lalu Ridho jadi Edho, hingga Baim jadi Aim. Tapi gue penasaran, kalau misalkan gue juga ikutan ganti nama biar keren. Kira-kira nama apa yang cocok buat gue, ya? Biasanya nama keren itu, mengambil bagian dari nama kita dan kemudian dipersingkat lagi. Contoh nama lengkap gue adalah, Sudono Salim, maka ada beberapa opsi nama yang bisa gue pakai. Misalnya, Donsal, Dolim, atau bahkan, Susalim. Nama terakhir, meskipun aneh, tapi lumayan menarik juga. Susalim? Ya, susunya anak alim. Gurih!
Beberapa saat mengobrol dengan Icha, gue merasa obrolan kami nyambung satu sama lain. Walaupun, nampak terlihat pemalu, ternyata Icha orangnya gokil dan seru juga. Farah seru juga sih, tapi setidaknya kalau dengan Icha, gue gak melulu ngobrol soal JKT 48 doang. Ketika tengah asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba saja, kakak PK kelas gue masuk dan mereka berdiri di depan kelas. Sambil memegang sebuah spidol, nampak seorang perempuan dengan pipi agak chubby berkerudung abu-abu memperkenalkan diri. Gian Tiara adalah namanya. Namun, ia meminta untuk tidak dipanggil Kak Gian, melainkan Kak Giant alias Jayen. Sedangkan, kakak PK yang satu lagi, entah siapa namanya, dia nampak pendiam dan enggan memperkenalkan diri. Setelah beberapa saat mengobrol dan basa-basi, kemudian Kak Gian menyuruh kita untuk bersiap menuju ke lapangan. Katanya sih, kita disuruh berkeliling mampir ke stand-stand Ormawa dan UKM, gitu.
"Ormawa itu apa? UKM itu apa?" celetuk seorang Maba dari pojok belakang sebelah kanan.
"Jadi, UKM itu Unit Kegiatan Mahasiswa, sejenis kaya ekstrakuliler di SMA, gitu. Kalo Ormawa itu Organisasi Mahasiswa, ya semacam kayak OSIS di SMA, tapi tingkatnya lebih tinggi lagi, gitu," ujar Kak Gian berusaha menjawab pertanyaan dari seorang Maba tersebut.
"Kakak ikut UKM juga?" celetuk seorang Maba lainnya dari pojok sebelah kanan juga.
"Oh, nggak, kalo aku ikutnya Ormawa, bukan UKM, hehe," kata Kak Gian berusaha menjelaskan.
"Kak, kalo ikut kegiatan kayak gitu, aku bisa dapat jodoh gak kira-kira, Kak?" terdengar kembali suara celetukan, kali ini muncul dari sisi bagian tengah.
"......" Seisi kelas mendadak diam dan hening, sambil menyiapkan penggaris besi untuk dilemparkan secara bersamaan ke arah Maba yang menyeletuk itu.
Sesaat sebelum semua akan meninggalkan kelas, tiba-tiba saja, muncul sesosok pria dengan tergesah-gesah masuk ke dalam kelas. Ternyata, dia merupakan Maba di kelas gue juga. Berhubung dia datang terlambat, mau gak mau, dia pun harus menerima hukuman dari kakak PK. Gak kok, dia gak dihukum pancung kayak TKI di Arab Saudi, tapi dia cuma disuruh perkenalan diri di depan kelas. Sesosok pria bertubuh agak kecil, dengan kulit agak gelap dan masih mengenakan masker di mulut, serta rambut merah yang agak lepek, mirip kayak Ninja habis kesiram kuah capcay.
Tak lama kemudian, ia langsung memperkenalkan diri dan namanya ialah, Dino. Mendadak, dunia gue seakan runtuh ketika mendengar namanya. Dono dan Dino? Ya, nama kita mirip kayak pasangan homo, yang sengaja bikin nama samaan biar keliatan so sweet.
Berbekal informasi dan penjelesan mengenai apa itu Ormawa dan UKM, kita pun berangkat menuju ke stand pameran di dekat lapangan basket. Di sana, kita melihat banyak sekali berjajar stand-stand yang diisi oleh kakak-kakak senior dengan jaket Almamater. Beberapa ada yang berusaha menarik Maba ke stand dengan berteriak menggunakan Toa, lalu ada yang hanya membagikan brosur saja, bahkan ada yang stand up comedy sambil nari Jaipong untuk menarik perhatian.
Ketika melintasi beberapa stand, gue melihat sebuah stand yang unik sekali, yakni komunitas pencinta Jepang. Nampak beberapa orang mengenakan pakaian ala tokoh-tokoh khas dari Jepang. Ada yang memakai kostum ala karakter Dragon Ball, lalu One Piece, atau bahkan, hingga ada yang meniru seperti, Miyabi.
Ketika beberapa Maba, asyik berjalan dengan teman maupun gebetan mereka masing-masing, gue hanya berjalan seorang diri. Semua mata seakan tertuju kepada gue yang hanya berjalan seorang diri, jauh dari kerumunan mana pun. Seolah, gue itu spesies Alien berkepala dua dengan kaki mirip gurita yang baru sampai di Bumi dan gak ada yang mau temenan sama gue satupun. Sedih.
Setelah lama berkeliling, gue tertarik dengan salah satu stand organisasi. Sebuah organisasi resmi yang ada di jurusan gue, Ilmu Komunikasi. Merasa tertarik, gue pun mendekat dan meminta untuk dijelaskan oleh kakak-kakak yang berdiri di depan stand.
"Hallooo Dek, gabung di sini, yuk!" Ujar seorang perempuan berkerudung mengenakan jaket Almamater, sambil mendekat ke arah gue.
"Pinginnya sih gitu, tapi masih bingung, Kak. Ini sebenarnya organisasi apa, ya?" tanya gue dengan penuh penasaran.
"Jadi, kami itu organisasi resmi yang ada di FIKOM, dan kami punya 3 organisasi di dalamnya, yakni HIMA (Himpunan Mahasiswa), BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa), gitu," ujarnya berusaha menjelaskan ke gue.
"Oh, gitu toh. Terus, manfaat kalo aku ikut organisasi ini apa, Kak?" tanya gue lagi.
"Kalau kamu ikut organisasi, kamu bisa dapat pengalaman baru yang gak kamu dapat di kelas. Selain itu, kamu juga bisa belajar menjadi pemimpin, loh,"
"Tapi apa organisasi itu gak akan ganggu kuliah, Kak?"
"Gak kok, tenang aja, di sini juga banyak kakak-kakak yang ikut organisasi, tapi nilainya tetap bagus kok, Dek,"
Berhubung hari sudah sore dan gue diwajibkan untuk memperoleh 2 cap stempel dari Organisasi maupun UKM, akhirnya gue memilih HIMA di jurusan gue tersebut. Sebelumnya, gue sudah memilih kegiatan lain yakni, PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen). Setelah pemilihan Organisasi dan UKM selesai, gue pun melanjutkan perjalanan bersama dengan rombongan kelas untuk berkeliling dan mengetahui tempat-tempat yang ada di kampus ini.
Gue pulang dengan perasaan bahagia, karena gue masih bisa pulang ke rumah dengan badan yang utuh dan tanpa ada luka-luka sedikit pun. Ternyata, Ordik di kampus gue benar-benar memperkenalkan kampus dengan selayaknya, tanpa ada perploncoan maupun senioritas. Padahal, gue sudah berpikir, kalau setelah mengikuti Ordik, gue akan masuk berita Patroli di Indosiar dan isinya kayak begini, "Ditemukan seorang pemuda bermata sipit meninggal dunia, dengan posisi kepala menancap di dalam kloset dan badannya dipenuhi dengan kecoa lagi tamasya."
..........
Tidak jauh berbeda dengan hari pertama, pada hari kedua Ordik, ternyata kegiatannya hanya pengenalan kampus dan pemberian materi dari dosen saja. Bahkan, di hari ketiga ada kegiatan namanya hari inagurasi, di mana kegiatannya gue dan Maba yang lainnya hanya jalan-jalan di Dufan doang.
Kini, gue sudah masuk kuliah dan menjadi Mahasiswa sepenuhnya. Bagi sebagian orang, hari pertama masuk kuliah merupakan hal yang spesial, begitu juga untuk gue. Saking spesialnya, gue tidak lupa membagikan momen bahagia ini kepada para teman gue di Facebook, seperti ini, "Nt4R Gi3 aQ KuL14h n1cH. d0@in M0g4 l4nc@r E4aa..." Ya, teman gue di Facebook mayoritas memang para alay yang doyan gadoin micin.
Selain meng-update status di dunia maya, gue juga berusaha meng-update penampilan gue, agar terlihat lebih mirip anak kuliahan. Kalau dulu pas waktu SMA gue diwajibkan memakai seragam putih abu-abu, kini gue bebas memilih gaya berpakaian gue sendiri. Gue pun memutuskan untuk memakai batik berwarna ijo, celana jeans, dan sepatu kets hitam, mirip kayak Mas-Mas tukang Becak di Malioboro.
Di semester awal ini, kuliah gue masih dipaketin dari kampus. Atau lebih simpelnya, gue belum bisa memilih kelas dan waktu kuliah sendiri, melainkan masih harus mengikuti pilihan paket dari kampus. Nama kelompok kelas gue di semester ini adalah, YJ. Sebuah kelas yang berisikan 60 Mahasiswa di dalam 1 kelas.
Hari pertama kuliah, ternyata gak jauh berbeda dengan hari pertama masuk SMA. Hari di mana kita disuruh maju ke depan kelas satu per satu dan memperkenalkan diri.
Perkenalan pun dimulai. Satu per satu Mahasiswa maju dan memperkenalkan diri. Jujur, gue paling benci dengan momen perkenalan diri seperti ini. Seperti biasa, setiap kali gue memperkenalkan diri, selalu saja ada celetukan-celetukan yang 'menyerang' gue. Beberapa celetukan yang sering muncul di saat gue tengah memperkenalan diri, biasanya kayak begini :
"Dono? Kasino sama Indro-nya, ke mana? HAHAHA."
"Dono? Kemane aje lu, Don? GILE LU, DON!"
"Dono? Warkop? Kok sekarang matanya sipit, kayak habis dikencingin Kecoa, gitu. HAHAHA."
Mempunyai nama yang sama dengan tokoh terkenal, memang ada enaknya dan gak enaknya. Enaknya sih, gue bisa dikenal dan diingat oleh banyak orang dengan mudah. Tapi gak enakya, gue selalu dikaitkan dengan kebiasaan sosok asli dari tokoh tersebut. Bahkan, gak sedikit yang menyuruh gue untuk ngelawak di depan kelas, sambil joget Chiken Dance kayak Dono di film Warkop.
Sebenarnya, nama gue bukan hanya sama dengan Dono Warkop saja, melainkan juga dengan pendiri PT. Indofood, yakni Alm. Sudono Salim. Atau yang orang lebih sering kenal dengan nama Tionghoa-nya yakni, Lim Su Liong. Ya, dulu Papa pernah bilang, kalau dia terinspirasi dari Sudono Salim ini, karena dia merupakan pengusaha paling kaya dan sukses di Indonesia, bahkan di Asia pada zaman Presiden Pak Harto. Harapannya sederhana, agar kelak gue juga memiliki kemampuan untuk berbisnis yang handal seperti beliau. Jujur, gue pribadi, merasa terbebani dengan latar belakang yang begitu luar biasa dari sosok beliau. Mengingat, gue sama sekali gak memiliki basic untuk menjadi seorang pengusaha. Gue itu orangnya gampang gak enakan kalau jualan, bahkan kalau ada pembeli yang gak punya uang, gue selalu bayarin belanjaan dia, bahkan sampai gue kasih uang ongkos buat dia pulang.
Setelah selesai sesi perkenalan diri, kegiatan pun dilanjutkan dengan basa-basi dari Dosen, menjelaskan tentang perbedaan cara belajar dan mengajar saat SMA dan kuliah. Sejauh ini, gue memang merasa, bahwa kuliah itu jauh berbeda dengan jaman SMA dulu. Mulai dari penampilan terlebih dulu. Menurut gue, penampilan saat sudah kuliah itu jauh lebih bebas dan mengasyikan. Kalau dulu saat SMA kita diwajibkan menggunakan seragam, kini kita diperbolehkan mengenakan pakaian bebas, asal rapih dan sopan. Selain itu, kalau kita memakai celana pensil atau bagi yang cewek memakai celana legging (dengan motif macan tutul sekalipun), kita gak usah khawatir, celana kita gak bakal disobek-sobek sama Dosen kayak dulu jaman di SMA. Selain itu, kalau dulu kita diwajibkan membawa tas berisikan buku pelajaran seberat 1 bakul nasi, saat kuliah, kita boleh hanya membawa binder dan pulpen saja kok. Kemudian, di kuliah itu, gak ada namanya sidak alias inspeksi mendadak. Sebuah momen di mana, kalau sepatu kita gak berwarna hitam akan disita paksa. Atau bisa juga, bagi para cowok yang berambut agak panjang, akan ditarik keluar lapangan dan rambutnya digunting secara random, pakai cetakan dari baskom bekas gorengan.
Selain penampilan, ketika sudah menjadi Mahasiswa, kita bisa bebas melakukan apa saja. Misalkan kalau saat SMA, mau merokok saja harus main 'kucing-kucingan' dengan guru, saat kuliah, kita bisa merokok dengan nyaman di tempat yang sudah disediakan. Selain itu, kalau kita bolos dan gak masuk kuliah, kita gak usah khawatir, bakal disamperin sama Dosen sampai ke rumah kita. Kata Dosen gue, kuliah itu bebas, tapi harus bertanggung jawab. Maksudnya, kalau mau nakal ya silahkan nakal, tapi harus siap terima resikonya sendiri. Menurut gue, kuliah itu memang sudah menjadi tanggung jawab pribadi Mahasiswa, bukan lagi tanggung jawab dari Dosen, Rektor, maupun tukang Cilor depan kampus.
Bicara soal kebebasan saat kuliah, semua tetap harus ada batasannya dan tidak boleh terlalu ekstrem. Contohnya itu seperti; tidur saat sedang jam kuliah, kemudian makan saat dosen lagi menerangkan, atau bahkan, iseng masukin kepala ke dalam rok dosen, padahal dosennya itu bapak-bapak.
Saat tengah asyik membereskan buku dan alat tulis dari atas meja, tiba-tiba saja, terdengar suara cowok yang sangat lembut dari belakang gue. Ya, lembut mirip gulali genjot di pasar malem.
"Eh, Dono! Gak nyangka, ternyata kita sekelas lagi, yak," ujarnya sambil menepuk pundak gue dengan halus.
"Err~ Iya nih, sekelas lagi kita," jawab gue sambil menengok ke arahnya.
"Masih inget sama gue, kan? Hehe,"
"Iya inget kok, kamu Dino, kan?" ujar gue bertanya balik, "Ngomong-ngomong, itu rambut kenapa?" sambung gue lagi, berusaha mengomentari rambutnya yang kini berubah menjadi berwarna ungu tua, mirip kayak terong yang udah kematengan.
"Kenapa? Keren yak? Gue udah mirip Lee Min Hoo, gak? Hehehee," ujarnya dengan tertawa sok manis, sambil menutup mulut dengan salah satu tangannya.
"....." Gue berusaha mencari tali rafia dan mencoba gantung diri di kelas, setelah mendengarkan kalimat terakhir dari Dino.
Jujur, gue agak sedikit risih melihat penampilan Dino yang agak berbeda dari sebelumnya. Meskipun, sebelumnya dia juga sudah pernah cerita ke gue, kalau dia adalah seorang pencinta Boyband K-Pop, gitu. Mengingat, pertama gue bukanlah orang yang mengerti tentang K-Pop sama sekali. Kedua, karena gue masih merasa geli, melihat seorang cowok suka dengan K-Pop. Sebenarnya sah-sah saja, cowok atau cewek mengidolai suatu grup band musik tertentu, mau dari dalam maupun luar Negeri. Tapi, bagi gue penampilan Dino sudah di luar batas wajar. Mungkin, bagi dia, mengenakan kaos v-neck, kemudian rambut dicat warna-warni, selalu memakai masker penutup mulut, dan memakai bedak tabur sekilo di wajah, merupakan hal yang keren. Tapi bagi gue, justru gue merasa kasihan sama dia. Rasanya kalau ada waktu, gue mau ajak dia untuk nonton Mario Teguh, biar dia bisa secepatnya tobat dan menemukan jati diri. Meskipun, secara penampilan Dino sangat aneh, tapi sejauh ini menurut gue, dia orang yang baik dan ramah.
Ketika tengah bersiap untuk meninggalkan kelas, tiba-tiba saja Dosen kelas gue, kembali menyampaikan sebuah pengumuman di depan kelas.
"Berhubung, kita sekelas nanti akan ada banyak materi yang difotokopi dan dibagikan melalui e-mail, saya minta 1 orang untuk menjadi ketua kelas di kelas ini, ya!" ujar Pak Dosen di depan kelas.
"Dono aja, Pak, soalnya dia pakai Batik sendiri hari ini, paling cocok jadi ketua kelas," celetuk seorang Mahasiswa dari bagian belakang, berusaha mencari cara agar gue menjadi ketua kelas. "Iya Pak, SETUJU!" Beberapa Mahasiswa lainnya, ikut menimpali kalimat tersebut dan mendukung gue untuk menjadi ketua kelas.
"Dono kamu jadi ketua kelas di kelas ini, ya?" tanya Pak Dosen sambil mendekat ke arah tempat duduk gue.
"Saya jadi ketua kelas, Pak? Tapi, saya belum pernah jadi ketua kelas sebelumnya, Pak," tanya gue dengan penuh keraguan.
"Gapapa, kamu cuma bantu kasih informasi ke teman-teman kamu aja, kalau misalkan ada dosen yang gak masuk, dosen mau kirim materi, atau informasi terkait dengan ujian kalian nanti. Cuma gitu saja kok tugasnya."
Menjadi ketua kelas? Seumur-umur, gue belum pernah menjadi ketua kelas sama sekali dari SD hingga SMA. Bagi gue, sejak dulu, menjadi ketua kelas merupakan pekerjaan yang menyeramkan, karena setiap harinya kita harus berani berbicara di depan kelas. Jujur, sejak dulu gue memang merupakan tipe pelajar yang sangat pendiam dan tidak terlalu aktif di kelas. Bahkan, saking diamnya gue, tidak sedikit teman kelas yang mengira kalau gue sedang kerasukan arwah penunggu sekolah yakni, Pocong Bisu.
Berbekal kalimat, bahwa menjadi ketua kelas itu gampang, gue pun memulai tugas pertama sebagai ketua kelas yakni, membentuk grup kelas di BBM. Pada masa ini, BBM alias BlackBerry Messenger memang menjadi sosial media yang paling digandrungi untuk berkomunikasi oleh anak muda. Dengan memberanikan diri, gue pun mencoba berdiri di depan kelas untuk meminta PIN BBM dari teman-teman sekelas gue. Tidak butuh waktu lama, akhirnya gue berhasil mendapatkan selembar kertas berisikan seluruh PIN BBM dari teman sekelas gue. Kini, grup kelas di BBM pun sudah jadi dan siap diramaikan.
Di kelas YJ ini, sebenarnya gue juga sekelas dengan Icha, tapi dia sudah punya teman baru sekarang dan gue gak enak buat mengganggu dia. Merasa kesepian, gue pun berusaha untuk mencari teman baru. Sambil melihat-melihat ke sekeliling, gue menemukan beberapa sosok orang yang menurut gue unik dan menarik kalau dijadikan teman. Pandangan gue tertuju ke arah 4 orang pria yang tengah duduk dalam 1 kelompok, namun mereka sibuk dengan gadget mereka masing-masing.
"Heh, maaf ganggu, kenalin nama aku, Dono." Ujar gue memperkenalkan diri, yang seketika langsung membuyarkan pandangan 4 orang pria sekaligus dari layar Handphone-nya masing-masing.
"Oh iya, Don, salam kenal, nama gue, Adit," ujar seorang pria berkaca mata dengan tubuh agak tinggi dan kumis yang agak lebat, mirip Om Indro Warkop saat muda.
"Kenalin, kalo gue, Gilang," saut seorang pria bekulit cokelat dengan mata agak sipit dengan rambut belah pinggir dan sedikit tipis di bagian sampingnya. Mirip, kayak jalur kutu buat balapan sepatu roda.
"Kalo gue Gabriel, Don," ujar seorang bertubuh kurus dan cukup tinggi, dengan rambut poni ke samping. Wajahnya bersih mirip seperti bule dan terbilang lebih tampan dari gue, kurang lebih sih, kayak Steven William, gitu.
"Nah, kalo nama gue Arief Yunaezra, Don, tapi lo bisa panggil gue, Ezra." Kata seorang pria agak cungkring dengan mengenakan kacamata, lengkap dengan rambutnya yang kribo mirip kayak brokoli berjalan.
Setelah beberapa saat mengobrol, gue merasa menemukan kecocokan dengan 4 orang ini. Menurut gue, mereka tipe Mahasiswa yang baik, punya selera humor tinggi, dan gak suka macem-macem. Bisa dibilang, mereka anak rumahan semua dan gak suka nongkrong di luar, gitu. Kurang lebih sih, sama kayak gue yang memang tipe anak rumahan dan lebih senang habisin waktu buat tiduran di kamar, sambil stalking mantan gebetan di Facebook. Gue bukan cowok gagal move on, tapi gue hanya ingin tau kabarnya saja. Ya, hanya itu saja.
..........
**Follow gue di Instagram, Twitter, & Wattpad juga ->Â @dono_salimzÂ
Mau cerita yang lebih lengkap dan update dari "Mahasiswa 1/2 Abadi" ini? Temukan di sini -> https://www.wattpad.com/story/103934331-mahasiswa-1-2-abadi
Jangan lupa follow, komen, vote, dan masukan tulisan ini ke reading list (subcribe) di akun Wattpad kalian juga (^_^)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H