Mohon tunggu...
Donny Wijaya
Donny Wijaya Mohon Tunggu... Dosen - Yang melapangkan

Pembelajar Seumur Hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

IKN dan Dilema Anggaran Triliunan : Antara ambisi dan Realita Dampak Ekonomi

2 Februari 2025   13:19 Diperbarui: 2 Februari 2025   11:31 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) kembali mencuri perhatian publik seiring dengan keputusan pemerintah yang mengalokasikan anggaran sebesar Rp48,8 triliun untuk tahap kedua proyek strategis tersebut pada periode 2025--2029. Anggaran yang sangat besar ini menimbulkan berbagai pertanyaan kritis mengenai efektivitas dan rasionalitas penyaluran dana, terutama mengingat tahap pertama proyek yang telah menelan biaya mencapai Rp75,8 triliun pada periode 2022--2024 ternyata belum mampu menghadirkan dampak ekonomi yang signifikan. Di tengah klaim pemerintah yang menyebut IKN sebagai lokomotif pertumbuhan baru bagi perekonomian nasional, data empiris justru mengindikasikan bahwa kontribusinya masih sangat minim dan belum mampu menggerakkan roda perekonomian secara menyeluruh.

Dari sudut pandang narasi, proyek IKN sejak awal dipromosikan sebagai solusi atas permasalahan ketimpangan pembangunan yang selama ini melanda Indonesia. Pemerintah berargumen bahwa dengan memindahkan ibu kota dari Jakarta ke wilayah Kalimantan Timur, beban yang selama ini ditanggung oleh Jakarta dapat berkurang, dan sebaliknya, akan tercipta pusat pertumbuhan baru yang mampu mendorong pemerataan pembangunan di seluruh negeri. Namun, realitas lapangan menunjukkan bahwa harapan tersebut belum terealisasi. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Timur pasca dimulainya proyek IKN hanya meningkat tipis sekitar 0,2--0,3%, jauh dari proyeksi optimis yang diperkirakan mencapai 1,5--2%. Angka kontribusi IKN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pun hanya mencapai 0,01%, sebuah angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan besarnya investasi yang telah dan akan disalurkan.

Lebih jauh, penciptaan lapangan pekerjaan yang diharapkan dapat meredam angka pengangguran nasional, yang saat ini tercatat mencapai 5,3% menurut data BPS per Februari 2025, juga belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Selama tiga tahun pertama pelaksanaan proyek, hanya sekitar 20.000 tenaga kerja yang terserap, angka yang dianggap tidak sebanding dengan investasi infrastruktur sebesar itu. Hal ini mengungkapkan adanya permasalahan struktural dalam model pembangunan IKN, di mana lebih banyak mengandalkan kontraktor besar dan teknologi konstruksi modern yang cenderung mengabaikan potensi tenaga kerja lokal. Akibatnya, keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari proyek ini dinikmati oleh segelintir pemodal dan perusahaan besar, sehingga tidak memberikan dampak yang merata bagi masyarakat luas.

Dalam konteks perbandingan alokasi dana, keputusan untuk menggelontorkan Rp48,8 triliun pada tahap kedua IKN kian dipertanyakan ketika dilihat dari sudut pandang opportunity cost. Dana sebesar itu, jika dialokasikan untuk sektor lain, misalnya kesehatan atau pendidikan, bisa memberikan manfaat yang jauh lebih langsung bagi masyarakat. Sebagai ilustrasi, jumlah tersebut setara dengan sekitar 60% anggaran kesehatan nasional tahun 2025 atau hampir dua kali lipat anggaran pendidikan tinggi. Dengan demikian, jika dana tersebut dialihkan untuk pembangunan sekolah di daerah tertinggal, peningkatan layanan kesehatan, atau program pengentasan kemiskinan yang masih menyentuh jutaan jiwa, dampak positifnya bagi kehidupan rakyat mungkin akan jauh lebih terasa.

Kekhawatiran lain yang mencuat adalah total investasi yang harus disiapkan hingga tahun 2045, yang diperkirakan mencapai Rp466 triliun, dengan sekitar 20% berasal dari APBN. Di tengah situasi defisit anggaran yang membengkak, mencapai 2,8% PDB pada tahun 2024, komitmen untuk terus menambah investasi di IKN menimbulkan risiko beban keuangan negara di masa depan. Apalagi, partisipasi swasta dan investor asing yang selama ini diharapkan turut meramaikan pendanaan proyek strategis ini masih menunjukkan tanda-tanda minim, sehingga ketergantungan pada APBN semakin memperbesar potensi beban fiskal jangka panjang.

Para pendukung IKN kerap mengutip keberhasilan pemindahan ibu kota di negara lain, seperti Braslia di Brasil atau Putrajaya di Malaysia, sebagai argumen bahwa pemindahan ibu kota dapat membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Namun, contoh-contoh tersebut juga mengajarkan bahwa keberhasilan tidak datang secara instan. Misalnya, Braslia baru mulai memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Brasil setelah melalui proses industrialisasi dan pengembangan ekosistem ekonomi yang masif di sekitarnya, yang memakan waktu puluhan tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemindahan ibu kota saja tidak cukup; diperlukan strategi komprehensif yang mencakup pengembangan infrastruktur penunjang, kebijakan fiskal yang bijaksana, dan insentif untuk menarik investasi produktif di luar sektor konstruksi.

Salah satu aspek yang sering diabaikan adalah faktor geografis dan demografis. Kalimantan Timur memiliki kepadatan penduduk yang jauh lebih rendah, sekitar 34 jiwa per kilometer persegi, bila dibandingkan dengan Jawa yang mencapai 1.171 jiwa per kilometer persegi. Membangun sebuah kota baru di wilayah dengan basis populasi yang kecil dan infrastruktur yang masih minim memang membutuhkan biaya yang jauh lebih tinggi dan waktu yang lebih lama untuk mencapai skala ekonomi yang memadai. Tanpa adanya strategi dan insentif konkret untuk mendorong migrasi industri dan penduduk ke IKN, terdapat kekhawatiran bahwa kota baru tersebut hanya akan menjadi "kota hantu" yang dipenuhi gedung pemerintahan namun minim aktivitas ekonomi riil.

Selain permasalahan ekonomi dan efisiensi anggaran, terdapat pula isu terkait dampak lingkungan. Pemerintah hingga saat ini belum transparan dalam mempublikasikan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) serta rencana mitigasi terhadap risiko ekologis yang mungkin ditimbulkan oleh proyek ini. Pembangunan IKN mensyaratkan pembukaan lahan secara besar-besaran di wilayah Kalimantan yang dikenal sebagai salah satu "paru-paru dunia". Aktivitas tersebut berpotensi mempercepat laju deforestasi dan mengancam keanekaragaman hayati yang sangat penting bagi keseimbangan ekosistem global. Di tengah tekanan internasional untuk menekan emisi karbon dan menjaga kelestarian lingkungan, pembangunan IKN yang tidak disertai dengan langkah-langkah mitigasi yang jelas dapat mencederai citra Indonesia sebagai negara yang peduli terhadap isu lingkungan, bahkan bisa menjadi bumerang bagi diplomasi hijau Indonesia di kancah global.

Menyikapi berbagai permasalahan dan dilema yang muncul, tidaklah tepat jika proyek IKN dianggap sepenuhnya tidak layak. Namun, ada kebutuhan mendesak untuk melakukan evaluasi mendalam dan koreksi fundamental dalam pendekatan pembangunan ini. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meninjau kembali prioritas alokasi anggaran. Adalah bijaksana jika tahap kedua pembangunan IKN ditunda hingga evaluasi independen atas dampak dari tahap pertama dapat dilakukan secara transparan dan menyeluruh. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap investasi yang dilakukan benar-benar menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, perlu ada reorientasi tujuan dari proyek IKN. IKN seharusnya tidak hanya dipandang sebagai simbol pemindahan pusat pemerintahan, melainkan harus dirancang sebagai sebuah ekosistem ekonomi yang mendorong inovasi dan pertumbuhan di berbagai sektor, terutama di bidang teknologi hijau, industri kreatif, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dengan memberikan insentif nyata bagi pengembangan sektor-sektor tersebut, IKN berpotensi menjadi katalisator yang lebih efektif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi regional dan nasional.

Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran juga menjadi kunci utama untuk membangun kepercayaan publik. Pemerintah harus membuka akses informasi mengenai detail penggunaan anggaran, kemajuan fisik proyek, serta rencana pembiayaan jangka panjang yang realistis. Di samping itu, keterlibatan akademisi dan masyarakat sipil dalam proses evaluasi dan perumusan kebijakan sangat diperlukan untuk menghindari kesan bahwa proyek strategis ini dikelola secara tertutup dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Dialog terbuka berbasis bukti dan analisis yang mendalam harus menjadi landasan setiap keputusan kebijakan, sehingga setiap rupiah yang dihabiskan dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun