Mohon tunggu...
Donny Wijaya
Donny Wijaya Mohon Tunggu... Dosen - Yang melapangkan

Pembelajar Seumur Hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

SPMB 2025 : Sebuah Inovasi atau Sekedar Ganti Baju Sistem Lama ?

1 Februari 2025   11:25 Diperbarui: 1 Februari 2025   10:27 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemerintah Indonesia kembali melakukan reformasi dalam sistem penerimaan siswa baru. Mulai tahun 2025, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) akan diubah menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Meskipun disebut sebagai langkah transformatif, Menteri Pendidikan Abdul Mu'ti menyatakan bahwa konsep dasar SPMB sebenarnya tidak jauh berbeda dari PPDB. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah perubahan ini benar-benar membawa perbaikan atau hanya sebatas pergantian nama tanpa dampak signifikan bagi pemerataan pendidikan?

Perubahan istilah dari "peserta didik" menjadi "murid" bukan sekadar perbedaan semantik, tetapi memiliki makna simbolis yang mencerminkan visi pendidikan yang lebih manusiawi dan berorientasi pada kebutuhan siswa. Kemendikdasmen menyatakan bahwa perubahan ini bertujuan untuk mendekatkan sistem pendidikan dengan esensi pembelajaran yang lebih inklusif dan berpihak kepada anak. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah perubahan istilah ini akan berdampak nyata pada praktik pendidikan di sekolah? Selama ini, sistem pendidikan Indonesia cenderung berfokus pada aspek administratif dan birokratis yang sering kali mengabaikan peran siswa sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran. Jika perubahan ini tidak disertai dengan upaya mengurangi beban administrasi guru, meningkatkan kualitas pengajaran, serta menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif, maka pergantian istilah ini hanya akan menjadi retorika tanpa implementasi nyata.

Salah satu perubahan teknis yang diusung dalam SPMB adalah penggantian sistem zonasi menjadi jalur domisili. Sistem zonasi dalam PPDB selama ini menuai kritik karena dianggap kaku dan sering memicu manipulasi alamat demi mendapatkan akses ke sekolah favorit. Dengan adanya sistem domisili, pemerintah berharap data kependudukan dapat diverifikasi lebih akurat melalui kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri. Namun, secara prinsip, mekanisme ini tetap mengutamakan kedekatan tempat tinggal dengan sekolah. Jika aturan teknisnya masih sama, seperti radius jarak dan prioritas wilayah tertentu, maka permasalahan klasik seperti ketimpangan antara sekolah unggulan dan sekolah pinggiran akan terus berulang. Keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada integrasi data kependudukan yang lebih akurat dan fleksibilitas kuota yang mempertimbangkan kondisi demografis masing-masing daerah.

Perubahan lain yang cukup signifikan adalah perluasan jalur afirmasi bagi penyandang disabilitas dan siswa dari keluarga kurang mampu. Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk upaya memperluas akses pendidikan inklusif, mengingat data menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil penyandang disabilitas yang memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan menengah. Namun, kebijakan ini juga memiliki tantangan tersendiri. Verifikasi kriteria "kurang mampu" yang masih bergantung pada Kartu Indonesia Pintar (KIP) rentan terhadap ketidakakuratan data. Selain itu, kesiapan sekolah dalam menerima siswa disabilitas juga menjadi isu penting, mengingat masih banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas ramah disabilitas ataupun guru pendamping khusus. Jika pemerintah tidak memperbarui data penerima afirmasi dan mengalokasikan anggaran untuk peningkatan aksesibilitas sekolah, kebijakan ini berisiko menjadi sekadar pencitraan tanpa perubahan substansial.

Dalam SPMB 2025, jalur prestasi juga mengalami modifikasi dengan menambahkan unsur kepemimpinan sebagai kriteria seleksi. Siswa yang aktif di OSIS, Pramuka, atau organisasi intra-sekolah lainnya akan mendapatkan nilai tambah dalam seleksi masuk sekolah. Perubahan ini sejalan dengan tren global yang semakin menekankan pentingnya keterampilan kepemimpinan dan kolaborasi dalam dunia pendidikan. Namun, kebijakan ini menghadapi beberapa tantangan, seperti subjektivitas dalam menilai kepemimpinan siswa serta kesenjangan akses antara sekolah di perkotaan dan di daerah terpencil. Jika mekanisme penilaiannya tidak jelas, bukan tidak mungkin akan muncul praktik manipulasi dalam pembuatan portofolio kepemimpinan demi mendapatkan keuntungan dari jalur ini. Oleh karena itu, perlu ada pedoman penilaian yang ketat dan transparan agar kebijakan ini benar-benar memberikan kesempatan yang adil bagi semua siswa.

Jalur mutasi juga menjadi salah satu aspek yang mengalami perubahan dalam SPMB 2025. Kuota sebesar 15% dialokasikan bagi siswa yang pindah domisili karena tugas orang tua atau alasan tertentu. Kebijakan ini bertujuan untuk memudahkan siswa yang keluarganya sering berpindah, seperti anak pekerja migran atau pegawai yang ditugaskan ke daerah lain. Namun, jalur ini juga berpotensi disalahgunakan oleh orang tua yang ingin memindahkan anak mereka ke sekolah favorit tanpa melalui seleksi yang ketat. Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah harus menerapkan persyaratan mutasi yang lebih ketat, seperti surat tugas resmi dari instansi terkait, serta membangun sistem pemantauan yang transparan agar perpindahan siswa tidak disalahgunakan sebagai jalur pintas untuk masuk ke sekolah unggulan.

Di balik semua perubahan yang ditawarkan, pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah SPMB mampu mengatasi ketimpangan kualitas pendidikan yang masih menjadi permasalahan mendasar di Indonesia. Selama sekolah unggulan masih mendapatkan fasilitas dan anggaran yang lebih besar dibandingkan sekolah di daerah terpencil, sistem penerimaan siswa secanggih apa pun tidak akan mengubah realitas ketimpangan yang ada. Untuk memastikan bahwa SPMB benar-benar memberikan dampak positif, pemerintah perlu memperhatikan pemerataan anggaran pendidikan, program rotasi guru berkualitas ke daerah terpencil, serta pembangunan infrastruktur dasar seperti perpustakaan dan laboratorium di sekolah-sekolah marjinal.

SPMB 2025 merupakan langkah yang patut diapresiasi, tetapi perubahan sistem pendidikan tidak bisa hanya berhenti pada pergantian nama atau perbaikan prosedural. Sejarah kebijakan pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa perubahan sering kali hanya terjadi di permukaan tanpa menyentuh inti permasalahan. Agar SPMB tidak menjadi sekadar proyek simbolis, pemerintah harus membuka ruang partisipasi masyarakat dalam penyusunan regulasi, memastikan transparansi dalam verifikasi data, serta berkomitmen untuk memangkas kesenjangan pendidikan di seluruh Indonesia. Pendidikan bukanlah sekadar ajang pergantian sistem, tetapi medan perjuangan untuk menciptakan generasi yang setara, kompeten, dan berdaya saing.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun