Mohon tunggu...
Donny Susilo
Donny Susilo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Langgar Nawacita, Jokowi Lebih Neolib dari SBY?

18 Juni 2015   13:00 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:44 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naik turunnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) meyebabkan melambungnya harga bahan pokok di Indonesia. Penentuan harga BBM yang disesuaikan dengan mekanisme pasar membuat ketidakpastian ekonomi yang akhirnya membuat rakyat semakin jauh dari sejahtera.

Seperti dilansir Kompas.com, Senin (15/6/2015) Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri bahkan menyebut Presiden Jokowi tidak becus dalam mengelola negara. Tidak tanggung-tanggung bahkan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) ini juga mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi jauh lebih Neoliberal dibanding pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Perlu diketahui bahwa hampir seluruh kader PDIP saat menjelang Pemilu 2014 gencar menyebut SBY dan kroninya sebagai antek neolib yang berpihak pada asing. Selain itu, masih teringat di ingatan kita bagaimana kader PDIP yang juga anggota DPR RI Rieke Dyah Pitaloka sampai turun ke jalan untuk menolak kenaikan BBM pada masa rezim SBY.

Masih teringat juga bagaimana solusi-solusi PDIP kepada pemerintah SBY soal BBM yang tidak perlu dinaikan sekitar tahun 2012. Ketika BBM naik pada pertengahan tahun 2015 dari 4500 menjadi 6500, PDIP pun mendapat simpati rakyat dengan membela ‘wong cilik’ dengan slogan marhaenisme yang biasa dipakai presiden pertama RI Ir. Soekarno.

Namun pada kenyataannya rakyat harus menelan ‘pil pahit’ setelah Jokowi-JK terpilih menjadi presiden. Nawacita yang berpihak pada rakyat jelata seakan sirna karena kebijakan pertama pemerintah Jokowi-JK adalah menaikan BBM.

Janji manis pemerintah pun berlanjut, baik Jokowi maupun JK menjelaskan kepada rakyat kenaikan BBM ini sebagai langkah penyelamatan ekonomi Indonesia. Namun pada kenyataannya Rupiah melemah hampir tembus Rp 14.000 per Dollar US. Pemerintah pun masih bisa berkata bahwa Indonesia masih aman-aman saja.

Hal ini pun langsung dibantah oleh tokoh nasional Hary Tanoesudibjo. Seperti dilansir Rakyat Merdeka online (Rmol.co) Kamis (11/6/2015) yang dengan tegas mengatakan dengan kondisi Rupiah seperti ini, pemerintah telah melakukan kebohongan publik. Pria yang akrab disapa HT itu menegaskan pasti ada yang salah dengan tata kelola ekonomi di Indonesia yang menyebabkan terpuruknya Rupiah yang paling buruh dalam 17 tahun terakhir pascareformasi.

Dia pun meminta pemerintah agar segera melakukan langkah konkrit untuk menyelesaikan msalah ekonomi ini dan segala ketidakpastian kebijakan seperti sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun