Om tani pe cerita (edisi-31)
Pilkada 2020 Ditengah Keterpurukan Ekonomi dan Cengkeraman Oligarki
Kamis 24 September 2020 lalu, bertepatan dengan peringatan hari tani nasional, ratusan petani Kelelondey melakukan aksi massa untuk yang kedua kalinya. Kali ini sasaran aksi massa adalah  menyampaikan langsung aspirasi pada Gubernur Olly Dondokambey, untuk meminta kepastian hukum, bahwa lahan seluas 350 hektar adalah milik petani bukan TNI, tapi aspirasi ini dihadang oleh ratusan aparat gabungan dari Polri, TNI dan Pol PP.Â
Sebelumnya pada tanggal 18 Agustus lalu, ratusan massa aksi juga telah melakukan aksi di kantor Dewan kabupaten Minahasa dan rumah dinas Bupati. Namun sampai hari ini, jeritan petani kelelondey seakan-akan tidak di gubris. Begitu juga dengan para petani kopra dan cengkih yang terus menjerit dengan anjloknya harga sampai titik nadir, tak direspon para penguasa baik yang ada di Gedung parlemen maupun yang ada di Gedung putih hasil pilihan rakyat pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2015.
Lantas, apa gunanya klaim Indonesia sebagai negara demokrasi sejak berlangsung Pemilu 1999 sebagai amanat reformasi dan Pilkada secara langsung pertama kali tahun 2005, kalau rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang telah memilih para wakil rakyat dan pemimpin daerah tidak berpihak pada nasib rakyat?Â
catatan Om tani saat bertugas sebagai jurnalis yang meliput pelaksanaan Pemilihan langsung Walikota Manado 2005, Pemilihan Bupati Minahasa 2007 dan 2012, Pemilihan Bupati Minahasa Tenggara 2008 dan Pemilihan Bupati Minahasa selatan 2010 plus pemantau Pemilihan Gubernur Sulut 2015 serta sebagai penyelenggara mengawasi langsung Pilkada Minahasa 2018 dan Pemilu 2019, proses demokrasi prosedural di daerah nyiur melambai berlangsung cukup sukses dan menunjukan perbaikan kearah yang lebih baik. Â
Namun saat ini, Pilgub Sulut yang keempat kali diselenggarakan sejak tahun 2005, praktek prosedural demokrasi mulai dipersoalkan banyak kalangan, suara-suara kritis dan tajam bergaung baik di akun media social maupun diruang-ruang diskusi online. Beberapa catatan kritis persoalan Pilkada langsung yaitu,Â
pertama, memicu emosi di tengah massa pendukung fanatic yang memunculkan bentrokan antar pendukung dan anarkisme massa, kedua Pilkada langsung ini tidak memberikan pengaruh perbaikan kehidupan rakyat sebagai pemilih, justru tambah menderita dengan anjloknya berbagai komoditas pertanian dan penggusuran tanah petani dan tanah negara dieksploitasi oleh kapitalis, ketiga Pilkada hanya menghamburkan uang alias pemborosan.Â
Berdasarkan data yang dipublish berbagai media untuk Pemilu 2019 total anggaran 25,59 Triliun belum termasuk biaya kampanye kandidat mulai dari pasangan calon presiden dan caleg. Untuk Pilkada di 270 daerah diperkirakan total anggarannya 15 Triliun belum termasuk biaya para kandidat.
Pilkada dan oligarki Demokrasi
Pilkada di 270 daerah yang ada di Indonesia tahapannya dilanjutkan, pemungutan suaranya tetap berlangsung pada 9 Desember 2020 nanti, meskipun berbagai protes dari berbagai kalangan untuk ditunda terus digaungkan. Tantangan hari ini, pelaksanaan Pilkada serentak lanjutan bukan hanya masalah virus corona, tapi praktek kejahatan demokrasi yang dimainkan oleh para oligarki kekuasaan.Â
Meminjam kategorisasi dari Jefrey A Winters lewat bukunya oligarcy yang dikutip dalam bukunya pemilu dalam cengkeram oligarki yang di tulis irvan Mawardi, menjelaskan praktek demokrasi berlaku secara procedural namun dijalankan dengan prinsip-prinsip oligarki, para oligarki menggunakan pengaruhnya untuk melakukan pemaksaan terhadap pemilik otoritas resmi yaitu rakyat sebagai pemilih demi keuntungan kaum oligarki yaitu mempertahakan dan mengakumulasi kekayaan.Â