Mohon tunggu...
Donny rumagit
Donny rumagit Mohon Tunggu... Petani - Saya saat ini beraktivitas sebagai petani

Lahir di langowan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Refleksi 75 Tahun Indonesia, Petani (Belum) Merdeka

17 Agustus 2020   08:41 Diperbarui: 17 Agustus 2020   08:32 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Om Tani (Edisi-17)

Refleksi 75 tahun Indonesia

Petani (Belum) Merdeka

"Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?"Bung Karno dalam lahirnya Pancasila 1 Juni 1945.

Hari ini, tepatnya tanggal 17 Agustus 2020 Indonesia merayakan Hari ulang tahun ke-75, bertepatan juga dengan tulisan om tani yang ke-17. Usia 75 tahun kalau disandingkan dengan umur manusia, Indonesia sudah masuk fase menikmati hasil kemerdekaan, tidak perlu lagi bersusah payah. 

Kenyataannya saat ini, apakah seluruh rakyat Indonesia sudah sejahtera seperti cita-cita dari Proklamator Bung Karno bahwa tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka? Edisi kali ini, Om tani akan mengulas nasib kaum tani yang hidup di alam Indonesia yang telah menghirup udara bebas kemerdekaan selama 75 tahun ini.

Kemerdakaan adalah hasil Perjuangan

Kemerdakaan Indonesia merupakan suatu hasil perjuangan dari seluruh rakyat, baik melalui konfrontasi fisik dalam medan pertempuran ataupun konfrontasi ide/ pemikiran lewat jalur diplomasi. Menurut sejarawan Australia Adrian Vickers yang telah meneliti sebagian besar historiografi Indonesia, mencapai 100 ribu korban jiwa dari sipil selama 1945-1949, ini belum termasuk korban jiwa selama masa kolonial Belanda dan Jepang. 

Perlu ditegaskan lewat tulisan om tani ini, kemerdekaan Indonesia bukanlah pemberian atau hasil konspirasi. Kemerdekaan Indonesia direbut dan diperjuangkan sehingga sudah seharusnya kemerdekaan itu dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia termasuk kaum tani, bukan hanya segelintir elit. Belenggu penjajahan membangunkan kesadaran rakyat, membentuk semangat perlawanan yang kuat didasari pada cita-cita luhur untuk hidup bebas merdeka. 

Salah satu cita-cita yang mulia dan agung para founding father telah dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencapai masyarakat yang adil dan Makmur diseberang jembatan emas kemerdekaan. Artinya, kemerdekaan itu merupakan jembatan atau jalan yang menghubungkan bangsa Indonesia mencapai kemakmuran dari jurang penjajahan dan kemelaratan yang ditimbulkan oleh imperialisme sebagai anak kandungnya kapitalisme yang serakah, eksploitatif dan berdarah dingin.

Bung Karno sebagai salah seorang The Founding Father Bangsa Indonesia yang merupakan tokoh idola dari Om Tani,dalam ceritanya dalam berbagai buku mendapat suatu ilham politik yang kuat menerangi pikirannya saat berusia 20 tahun. Saat berjalan-jalan ke sawah di sebelah selatan kota Bandung tepatnya Desa Cigereleng mendapati seorang laki-laki sedang menggarap tanah dan terjadi dialog antara Bung karno dan petani. 

Bung karno bertanya, "Bung ini tanah siapa? Gaduh abdi (artinya saya punya). Pacul ini siapa punya? Gaduh abdi. Gubuk ini siapa punya? Gaduh abdi. Engkau kalau sudah tanam padi ini, hasil padi ini untuk siapa? Buat abdi. Wah engkau kaya? Tidak miskin. Siapa nama bung? Marhaen.Kata Marhaen pertama sekali dikemukakan oleh Bung Karno sang penyambung lidah rakyat ini, untuk melambangkan petani yang mengerjakan sebidang tanah kecil dengan alat produksi tetapi hidup dalam kemelaratan karena menjadi korban penindasan dan penghisapan kaum imperialis dan kapitalis, 

sebutan Marhaen ini kemudian diperluas sebagai yang menggambarkan kondisi seluruh rakyat Indonesia yang hidup miskin dan melarat karena disebabkan oleh system yang menindas dari feodalisme dan kapitalisme.Oleh karena itu marhaen bisa mencakup seorang yang memiliki dan tidak memiliki alat produksi sendiri atau bisa juga melambangkan seseorang yang bekerja untuk seorang majikan yaitu misalnya seorang buruh yang tidak memiliki alat produksi sendiri, artinya kaum marhaen adalah manusia yang hidupnya tertindas, dimiskinkan oleh suatu sistem yang menindas. 

Ketika Indonesia belum mencapai kemerdekaan system yang menindas tersebut dapat terlihat jelas dengan kasat mata yaitu kekuasaan bangsa lain yang menjajah dibumi Indonesia yang melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam dan manusia Indonesia. Namun dalam era kemerdekaan ini saat ini, sebagaimana arti frasa kemerdekaan bahwa bangsa Indonesia telah lepas dari cengkeraman penjajahan maka semestinya bangsa Indonesia benar-benar merdeka secara multidimensional.

Bagaimana nasib petani 75 tahun Indonesia Merdeka

Setelah 75 tahun Indonesia merdeka, nasib petani masih memprihatinkan kita semua. Lihat saja tingkat kesejahteraan petani yang tidak membaik, ketika berbagai komoditi andalan petani seperti Kelapa yang sudah hampir 3 tahun harganya anjlok ditambah tahun ini saat masa panen cengkih harganya justru merosot.

Padahal eksistensi dan kontribusi petani begitu besar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Salah satu bukti nyata, Ketika Indonesia dilanda berbagai krisis akibat pandemi Covid-19, ditengah sector lainnya mengalami pertumbuhan negative,  justru sektor pertanian menjadi penyumbang tertinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional 16,24 persen berdasarkan rilis dari badan pusat statistic baru-baru ini. Namun kenyataan pahit yang harus ditelan petani adalah kesejahteraan petani terlihat perkembangan nilai tukar petani yang terus menurun pada saat ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. 

Om Tani mendesak pada Pemerintah dibawah kendali Presiden Joko Widodo untuk lebih fokus memperhatikan nasib petani dengan melakukan intervensi pasar yaitu menjaga stabilitas harga produk pertanian serta meningkatkan daya beli petani dan pendapatan rumah tangga petani. Pada situasi ancaman krisis, kebijakan ekonomi pertanian yang diterapkan harus menggairahkan kelangsungan usaha tani dan peningkatana produksi pertanian yang bermuara pada terciptanya kesejahteraan petani. 

Politik anggaran harus focus pada peningkatan kesejahteraan petani, salah satu kebijakan untuk meningkatkan penguasaan lahan oleh petani minimal 2 hektar per keluarga petani, bukan justru lahan pertanian dicaplok untuk mendirikan bangunan-bangunan mewah bagi institusi negara seperti yang dialami ratusan petani di Kelelondey Langowan barat Minahasa yang lahan pertanian seluas 350 hektar terancam dialih fungsikan untuk pembangunan Gedung-gedung militer.

Semoga, pemerintah bisa merefleksikan momentum 75 tahun kemerdekaan Indonesia bagi peningkatan kesejahteraan petani sebagai pahlawan ketahanan pangan bangsa. (DVR)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun