Para penggemar sepakbola seantero dunia pasti tidak akan melupakan babak 16 besar World Cup (WC) 2010 yang mempertemukan dua kekuatan tradisional sepakbola dunia, Jerman dan Ingggris. Seluruh penggemar St. George Cross masih ingat betul betapa insiden "gol" Frank Lampard benar-benar terjadi dan membuat alur pertandingan menjadi milik Jerman. Dari rekaman ulang terlihat jelas bola telah sepenuhnya melewati garis gawang, namun wasit tetap memutuskan untuk melanjutkan pertandingan dan tidak mensahkan gol tersebut. Yang menjadi perhatian adalah drama sesudah pertandingan itu berakhir. Official pertandingan sebagai linesman asal Uruguay, Mauricio Espinosa dan wasit Jorge Larrionda "dipulangkan" dan tidak boleh melanjutkan tugas di pertandingan selanjutnya. Bahkan media Urugay menuntut APF (PSSI-nya Uruguay) untuk meminta maaf kepada Inggris akibat "merampok" kans Inggris melaju ke perempat final. Drama juga berlanjut pada tekanan beberapa pihak kepada FIFA hingga muncul wacana pemanfaatan teknologi, hingga yang paling ekstrem untuk dilakukan rematch (pertandingan ulang). Namun apa yang terjadi? FIFA tetap mensahkan hasil pertandingan, tidak akan ada rematch atau pertandingan ulang, dan menghukum dua  official yang bertugas pada saat itu dengan "memulangkan" mereka. Dan sampai sekarang wacana penggunaan teknologi pada pertandingan masih dalam "pemrosesan" di FIFA, entah sampai kapan.
Beralih dari drama panas yang terjadi  di Afsel, di Indonesia drama panas pun tersaji. Hanya saja kali ini drama berlangsung di luar lapangan dan di luar konteks sepakbola. Drama di World Cup 2010 dilupakan seiring tercapinya esensi dari diselenggarakannya World Cup 2010 yaitu suguhan pesta bola dunia dan permainan bola kelas dunia. Sedangkan drama kisruh PSSI sampai sekarang belum berakhir dan semakin memprihatinkan. Mundurnya Nurdin Halid bukannya menyelesaikan polemik di tubuh PSSI melainkan justru drama berlanjut ke leg berikutnya. Asal mula dari kisruh PSSI adalah ketidakpuasan dari pihak mayoritas pemegang suara dengan tidak diijinkannya Arifin Panigoro dan George Toisutta (AP-GT) untuk maju menjadi ketua umum PSSI oleh Komisi Normalisasai (KN) atas rekomendasi FIFA. Hal tersebut mencederai semangat sportivitas yang diusung FIFA. Mayoritas pemegang suara yang kini lebih dikenal sebagai Kelompok 78 (K78) bersikeras bahwa yang menjadi acuan konggres adalah statuta FIFA bukan surat FIFA yang menganulir pencalonan 4 kandidat sebelumnya. Lebih jauh mereka beranggapan bahwa FIFA sendiri juga melanggar aturan yang mereka buat. FIFA mengeluarkan statuta, tetapi justru menganulir pencalonan AP-GT yang saat itu pencalonannya dianulir oleh Komisi Banding PSSI Nurdin Halid. Ketika FIFA tidak mengakui semua keputusan yang dihasilkan PSSI Nurdin Halid, seharusnya FIFA juga menganulir keputusan Komisi Banding sebelumnya. Puncaknya terjadi di Konggres yang diselenggarakan pada 20 Mei di Hotel Sultan Jakarta. Konggres yang diagendakan untuk memilih Ketua Umum - Wakil Ketua Umum dan angggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI periode 2011 - 2015 berakhir dengan deadlock dan terancam dijatuhkannya sanksi bagi persepakbolaan Indonesia.
Hingga kini, yang sebenarnya terjadi adalah pertarungan kesebelasan KN melawan kesebelasan aliansi pendukung AP-GT (pemegang suara mayoritas) kemudian melawan kesebelasan Calon Ketum/Waketum lain atau mungkin kesebelasan "status quo" melawan kesebelasan "pengusung reformasi". Entah kesebelasan mana nantinya yang akan memenangkan pertarungan, hanya yang sudah dipastikan kekalahannya ialah kesebelasan "persepakbolaan Indonesia" kesebelasan "garuda-garuda muda" semisal S.A.D atau "garuda-garuda muda" yang menuntut ilmu di sekolah sepakbola kelas dunia, dan para pelatih muda yang menuntut ilmu di Project Future Coaches AFC. Apa artinya berlatih sepakbola di negara-negara yang memiliki tradisi hebat kalau "garuda muda" ini ujung-ujungnya hanya bermain di liga (katanya?) profesional Indonesia atau apa artinya para pelatih muda kita punya lisensi AFC kalau ujung-ujungnya hanya melatih liga (katanya?) profesional Indonesia. Perdebatan pemakaian statuta FIFA atau surat FIFA bisa  dianalogikan dengan insiden gol Lampard yang dianulir. Apapun yang terjadi di lapangan, semua keputusan wasit sebagai pemimpin pertandingan adalah sah. Hasilnya jelas, Jerman melaju ke babak selanjutnya. Dan pemakaian statuta atau surat FIFA sebagai dasar Konggres tidak penting mana yang dipilih. Keputusan FIFA adalah jelas dengan melarang keempat calon maju pada Konggres PSSI, dan FIFA adalah "wasit" utama dan membuat aturan main dalam persepakbolaan internasional. Perdebatan pemakaian statuta atau surat FIFA ibaratnya Lampard meminta FIFA agar "gol yang dicetak" disahkan dan FA meminta FIFA agar selanjutnya laga Jerman vs Inggris diulang! Dan tentu saja kedua hal tersebut mustahil untuk dilakukan. Pada pergelaran piala dunia penggemar sepakbola di seluruh dunia dimanjakan dengan aksi dan teknik sepakbola menawan dari pemain-pemain dari masing-masing negara. Pada akhirnya seolah lupa dengan kontroversi persoalan sah atau tidaknya gol Lampard, tercapainya esensi Piala Dunia sebagai "pesta bola" dan seiring dikukuhkannya Spanyol sebagai raja baru merupakan "kemenangan bersama" para pecinta sepakbola sejati. Sepakbola yang jauh dari permasalahan "di luar lapangan" hanya sepakbola yang melahirkan bintang-bintang dan juara baru dan "bicara" di dalam lapangan dengan teknik individu menawan atau kerjasama tim yang solid.
Pecinta bola Indonesia hendaknya melihat esensi dari diselenggarakannya konggres bukan siapa yang nantinya terpilih. Perkembangan persepakbolaan Indonesia pastilah harus melibatkan semua pihak. Pembinaan usia dini, kompetisi, regulasi, pembangunan sarana dan prasarana dan masih banyak hal lainnya yang jauh lebih penting daripada meributkan 1-2 orang yang harus terpilih. Semua pihak yang hadir dan mengikuti konggres seharusnya membawa semangat untuk menyukseskan Konggres, dan semua calon Ketum/Waketum harus bersiap "kalah untuk menang". Karena sesungguhnya esensi yang ingin dicapai adalah merubah persebakbolaan nasional menjadi lebih baik. Amatlah naif jika kita "menantang" agar FIFA menjatuhkan sanksi bagi persepakbolaan nasional, karena Indonesia bukanlah kekuatan utama sepakbola bahkan di Asia Tenggara. Jika Yunani( juara Eropa 2004) dan Nigeria (juara Piala Afrika 2 kali) pernah merasakan sanksi dari FIFA, apalagi hanya Indonesia (ranking 130 FIFA). Pertimbangan teknis apa lagi yang masih diperlukan untuk tidak segera menjatuhkan sanksi? Dan amatlah picik jika kita menghujat FIFA dan mengatakannya "korup" dengan melihat arogansi di dalam PSSI selama ini. Mana yang paling benar? Dasar apa yang digunakan? Siapa yang berhak memimpin? Namun yang paling nyata adalah sepakbola Indonesia masih jalan di tempat kalau tidak mau dikatakan mundur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H