Mohon tunggu...
Donny Hermaswangi
Donny Hermaswangi Mohon Tunggu... -

Petualang, Penikmat Sepakbola, Penggila Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Momen Bernama Kesempatan

26 Agustus 2010   20:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:41 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Take every one chance you got every single time in your life, cause you’ll never know when or where it comes again. Begitulah kiranya bunyi kata bijak yang entah siapa yang pertama mengucapkannya, ambillah setiap kesempatan yang datang, manfaatkan dan jadilah seseorang. Terkesan oportunis, namun itulah kesempatan—kita tidak tahu menahu kapan ia datang. Kesempatan kadang muncul hanya sebentar, kadang setiap saat. Kuncinya mampukah kita memanfaatkannya menjadi sesuatu, entah untuk kita maupun untuk keperluan banyak makhluk. Jangan sampai ia terbuang percuma lalu kita menyesalinya. Cara memanfaatkan kesempatan pun terkadang berbeda pada setiap orang yang mendapatkannya. Jika mereka cepat tangap, disadari atau tidak, kesempatan akan menjadi hal manis dan patut dibanggakan. Jika kesempatan datang kepada orang yang tidak terlalu tanggap, antinya mereka Cuma bisa menyesali apa yang telah terlewat. Dalam pertandingan sepakbola, kesempatan adalah sesuatu yang suci dan mengubah hasil akhir namun para pemain tersebut tidak tahu kapan kesempatan tersebut datang. Para pemain Manchester United pada final Liga Champion 1999 mungkin contoh baik dari yang memanfaatkan kesempatan yang datang. Hanya 112 detik namun cukup untuk membuat Oliver Kahn dan Samuel Kuffuor meradang, Mario Bassler memandang kosong ke langit, dan Mehmet Scholl menahan tangis. **** Prolog yangc cukup panjang sebenarnya jika saya hendak mengisahkan perjalanan pesepakbola kontroversial Inggris sepanjang masa, Paul ‘Gazza’ Gascoigne. Mungkin dialah pesepakbola Inggris terindah sepanjang masa walau koleksi silverware-nya tidak sementereng Bobby Charlton, namun jika menarik kesimpulan dari apa yang saya beberkan pada prolog tadi maka Gazza adalah contoh tepat seoranga yang memanfaatkan dan membuang kesempatan begitu saja. Jika kita bicara soal Gazza sekarang, mungkin yang terlintas adalah pemabuk yang doyan bikin onar dan mungkin akan mati dalam kesengsaraan. Namun cerminan mabuk tersebut sebenarnya sudah melekat pada diri Gazza semasa dia masih aktif bermain bola. Tidak ada pemain Inggris yang mampu bermain seindah Gazza pada saat itu, semua terdoktrin oleh gaya sepakbola Inggris yang super kaku yakni kick and rush. Visinya ketika berada di lapangan mungkin setara seperti Xavi atau Cruyff, gocekannya pun tak kalah aduhai dengan Maradona atau Messi, dan sampai saat ini tidak ada pemain Inggris yang bisa menyamainya. Manchester United pun butuh dua orang pemain (Paul Scholles dan Ryan Giggs) untuk menciptakan sosok Gazza dalam pertandingannya. Namun sebengal-bengalnya Gazza, dia pernah memanfaatkan kesempatan yang pernah datang padanya dan membuat namanya dikenang sepanjang masa. Adalah Piala Dunia 1990 di Italia tempat datangnya kesempatan buat si Badut kelahiran 27 Mei 1967 ini. Ketika skuad Inggris diumumkan, media setempat meragukan kehadiran Gazza di timnas Inggris karena ulahnya di klub malam di Newcastle beberapa hari sebelumnya. Namun insting Bobby Robson untuk tetap memasukkannya adalah hal yang tepat dan kemudian disyukuri oleh semua khalayak Inggris. Lini tengah Inggris akan lebih memiliki warna dengan adanya Gazza yang membantu tugas kapten tim sekaligus jendral lini tengah Inggris saat itu, Bryan Robson. Bahkan ketika Bryan Robson harus dipulangkan lebih cepat karena mengalami cedera, Gazza diberi porsi lebih di lini tengah Inggris. Tidaklah heran sewaktu kematian Bobby Robson tahun lalu, Gazza sengaja datang dan kembali menangis layaknya yang ia lakukan 19 tahun yang lalu di Torino sewaktu Inggris dikalahkan oleh Jerman Barat di semifinal PD 1990. Tabiat Gazza mungkin buruk namun tidak ketika dia di lapangan tengah Inggris. Dibawanya Inggris hingga ke semifinal Piala Dunia yang dilangsungkan di luar tanah Britania. Lawan-lawan yang dijungkalkan pun terkesima oleh penampilannya, bahkan Roger Milla mengatakan setelah pertandingan perempatfinal “Badut itu datang kemari tampaknya bukan untuk melucu”. Guy Thys, pelatih timnas Belgia, pun sempat berkata “Badut itu menghukum kami (yang tertawa karena ulahnya) di saat-saat akhir, sungguh sial”. Namun perjalanan gilang-gemilang sang Badut hanya sampai di semifinal saja dan sialnya bukan oleh pertarungan antar 11 orang pemain, namun oleh undian lotre bernama adu penalti. Mungkin pertandingan semifinal ini memang akhir dari kesempatan yang datang buat Gazza, karena dia mengantungi kartu kuning keduanya selama Piala Dunia yang membuatnya tidak bisa bermain di partai berikutnya. Mengetahui tidak bisa bermain di partai berikutnya membuat Gazza tampil trengginas pada partai ini, namun adu penalti tersebut membuyarkan perjuangannya. Gazza pun menangis. Bobby Robson mencoba menenangkan anak emasnya tersebut, namun setiap manusia punya titik terlemahnya masing-masing. Inggris pun seolah menangis bersama Gazza. **** Setinggi-tingginya tupai melompat nantinya ia akan jatuh juga. Begitulah kiranya membahas sesi kesempatan yang tersia-siakan oleh Gazza. Inggris dibawanya ke tempat terhormat pada Piala Dunia dan mungkin menyatukan keyakinan akan persepakbolaan Inggris, namun sisi gelapnya adalah ia tidak melupakan begitu saja kebiasaan buruknya dalam mengkonsumsi alkohol. Tidak hanya di akhir karirnya sebagai pesepakbola saja Gazza akrab dengan minuman beralkohol, ketika masih aktif bermain pun ia masih belum bisa membuang kebiasaannya ini. Kasus di Newcastle menjelang Piala Dunia 1990 atau di Hong Kong menjelang Piala Dunia 1998 adalah sekian dari banyak perilaku menyimpang Gazza akibat minuman haram tersebut. Bahkan kasus di Hong Kong membuatnya terdepak dari skuad Inggris di Piala Dunia 1998. Gazza sempat merubah kebiasaannya ini dengan mengkonsumsi coklat, namun hal ini membuat tubuhnya makin tambun setiap harinya sehingga membuat dirinya kesusahan menembus tim inti klub yang dibelanya. Kasus tubuh yang bertambah tambun ini mungkin mirip kisah Adriano, Ronaldo Luiz Nazario de Lima, dan Ronaldinho saat ini. Sampai saat ini berbagai rehabilitasi yang dilakukan Gazza tidak membuahkan hasil dan sepertinya Gazza sendiri enggan merubah kebiasannya ini. Sesaat setelah Sir Bobby meninggal, Gazza sempat bersumpah untuk meninggalkan kebiasaan tersebut namun ia langgar tiga bulan kemudian. Hidupnya kini pun kian tidak jelas, kekayaanya sebagai pemain bola sudah habis untuk sembilan kali rehabilitasi alkohol yang tak kunjung berhasil. Gazza mempunyai kesempatan untuk melepaskan diri dari jeratan alkohol yang kini sangat menyiksa dirinya saat ini, yakni saat masa-masa jayanya di timnas Inggris tersebut. Namun justru keberhasilan di Italia yang membuatnya semakin menggemari alkohol, konon sepulangnya dari Italia banyak rekan dan kerabatnya mengajaknya berpesta atas keberhasilan Inggris di Piala Dunia tersebut. Kisah Gazza merupakan kisah yang ironis dalam mengmbil kesempatan yang datang, uniknya Gazza mengambil sekaligus melepaskan kesempatan tersebut pada saat yang hampi bersamaan. Mungkin dirinya tidak akan seperti sekarang jika lebih cermat mengolah kesempatan yang datang pada dirinya dulu. (deha)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun