Mohon tunggu...
donny mario
donny mario Mohon Tunggu... mahasiswa -

Accounting student at Atma Jaya Catholic University of Indonesia. Self- Interest to write about Financing, Accounting and Tax, and try to mix them with football. Made a writing as a hobby to show my mind. Openly minded to write movie review .

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pelajaran Mengenai Kolaborasi dalam Korporat dari Strategi Tiki - Taka

5 April 2017   16:54 Diperbarui: 6 April 2017   00:30 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bleacher report/ FC Barcelona

Sebagai sebuah olahraga, sepak bola selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Di medio 1980an hingga 1990an, sepakbola identik dengan permainan individual. Seorang pemain yang biasanya seorang penyerang dapat menggiring bola layaknya Captain Tsubasa dalam serial animasi Jepang dan mecetak gol. Di era tersebut kecepatan, skill individual dan teknik menjadi modal utama bagi seorang pemain. Hasil dari era tersebut, kita mengenal nama- nama tenar seperti Franz Beckenbauer dari Jerman, Pele dari Brazil, hingga Maradona dari Argentina. Pada masa itu permainan bola cukup simple, mereka hanya perlu menemukan celah kosong dan kemudian menendang bola ke gawang. Strategi dan formasi bola saat itu masih sangatlah sederhana.


Kemudian lanjut ke pertengahan 2000an yaitu tahun 2000an hingga 2006, sepakbola berkembang kembali. Pemain sepakbola bukan lagi hanya mengandalkan kemamkpuan seperti yang sudah disebutkan diatas. Rata- rata pemain bola memegang bola sekitar 3 hingga 5 detik kemudian melepaskan passing kepada rekan setimnya. Kemudian di tahun 2008 hingga sekarang, rata- rata pemain bola hanya memegang bola 2 detik. Hal ini disebabkan karena jarak antar pemain menjadi lebih dekat, hal ini memaksa pemain bertahan lawan tidak memiliki kesempatan untuk menguasai bola lebih lama. Strategi tersebut saat ini kita kenal sebagai tiki- taka. 

Tiki- taka sebenarnya bukanlah sebuah strategi baru di dalam dunia sepak bola. Strategi ini pertama kali diciptakan oleh legenda Timnas Belanda Johan Cruyff. Saat itu tiki- taka dikenal sebagai total football dalam segi permainan Timnas Belanda bersama Cruyff. Strategi yang mengkolaborasikan umpan pendek dan pergerakan dinamis antar pemain ini kemudian menjadi sangat populer saat diperagakan oleh FC Barcelona asuhan Josep Guardiola. 

Konsep dasar permainan ini sederhana saja. Intinya adalah setiap pemain harus menyerang bersama dan bertahan bersama dalam sebuah kelompok kecil. Maka tak heran 1 pemain dapat dijaga oleh 3 pemain Barcelona atau saat menyerang rata- rata pemain Barcelona membentuk sebuah segitiga kecil. Guardiola memberikan sentuhan Tiki- taka dengan melengkapi timnya dengan pemain bertipe talisman seperti Xavi Hernandez, Mazing run seperti Andres Iniesta, hingga Trickster seperti Lionel Messi. Kehadiran pemain- pemain ini membuat permainan Barcelona sulit ditebak. Tiki- taka membuktikan bahwa kecerdasan dan inovasi dapat dikolaborasikan ke dalam sebuah permainan tim. 

Seperti halnya sepak bola, sebuah perusahaan perlu melakukan sebuah inovasi apabila ingin bertahan dalam ketatnya kompetisi dalam pasar. Perusahan perlu memandang pentingnya menciptakan lingkungan yang dapagt menunjang perubahan. Tahun 1970an sebuah perusahaan otomotif biasanya memiliki siklus produksi mobilnya setiap delapan tahun sekali. Namun dewasa ini setiap tahun biasanya mereka memproduksi varian baru lebih dari sekali setahun. 

Sudah banyak kita melihat tim- tim sepakbola gagal bersaing dalam perebutan juara karena lambatnya dalam melakukan inovasi. Contoh konkretnya adalah tim- tim seperti Arsenal, atau AC Milan. Kegagalan dari kedua tim tersebut  sama- sama gagal dalam berinovasi dan cenderung memakai strategi baik dalam pasar atau permainan yang dinilai sudah kuno. Banyak juga contoh lain bagaimana sebuah perusahaan raksas yang gagal mengaplikasikan perubahan. Salah satunya adalah bagaimana Nokia yang di era 2000an menjadi kiblat ponsel, namun harus tenggelam dengan gempuran android dan Ios yang ditawarkan oleh Samsung dan Iphone. Atau Yahoo yang menjadi penguasa search engine  di era 98an hingga awal 2000an harus dikalahkan oleh Google. Contoh tersebut menggambarkan setiap saat sebuah kompetisi menjadi makin sulit dan dibuthkan perubahan inovasi untuk dapat bertahan. 

Disisi karyawan, saat ini mereka tidak bisa lagi memiliki mindset yang penting kerja. Perkembangan zaman dan terbukanya kompetisi membuat masing- masing karyawan perlu dibekali kemampuan dan skill. Leadership secara individual juga merupakan modal dasar. Dan semua itu perlu diimabngi dengan kreatitivitas yang dapat meningkatkan produktivitas karyawan. 

Bisnis dapat mengadaptasi 5 poin mengkolaborasikan kecerdasan secara berkelompok yang digunakan dalam tiki- taka yang saya kutip dari Harvard Bussiness Review. 

1. Membuat Common Vision. 

Hingga era 1990an, sepak bola masih belum menganggap visi bermain sebagai suatu hal penting menjadi dalam sebiah strategi permainan. Namun saat ini para pelatih dalam sepakbola mengikutsertakan pemain dalam membuat keputusan bersama terkait kebijakan tim. Pelatih juga ingin mengetahui feedback pemain saat akhir musim, serta mengetahui kondisi setiap peman. Tujuan utamanya bukan hanya untuk memenangkan setiap pertandingan, namun lebih membangkitkan semangat dan visi pemain terhadapn tim, mengapresiasi fans, lolos ke Liga Champions, dan membantu pemain untuk masuk ke tim nasional.

Sebagai seorang pemimpin di sebuah perusahaan dengan jumlah karyawan yang banyak, tidak terlalu sulit untuk membantu para karyawan yang dimiliki mengembangkan common vision mereka. Dalam praktiknya kurang dari 10% perusahaan yang menanamkan common vision kepada karyawannya. Rata- rata perusahan hanya menanamkan visi perusahaan dan berharap visi tersebut dapat diaplikasikan dengan baik oleh karyawannya.

2. Merancang peran yang bersifat fleksibel. 

Di era 1970an setiap strategi sepak bola hanya terdiri dari kiper, pemain bertahan, gelandang, dan penyerang. Seiring dengan perkembangan zaman, setiap pemain bola dituntut untuk menguasai banyak role dalam setiap formasi yang dimainkan oleh timnya. Saat ini kita sudah biasa melihat seorang kiper yang memiliki peran hampir sama seperti yang dimiliki oleh seorang pemain bertahan. Dirinya dituntut untuk dapat bertahan dengan menggunakan kakinya serta meng-cut bola saat pemain bertahan berada di garis pertahanan yang tinggi. Selain itu seorang penyerang (forward) memiliki visi bermain untuk membuka ruang serangan, mengatur tempo permainan hingga mencetak gol. Intinya saat ini para pemain memiliki roles untuk saling melengkapi antar pemain.

Hal yang kontras terjadi didalam perusahaan. Saat ini masih banyak kita temukan contoh masing- masing departement bekerja secara independen. Departemen produksi akan menyalahkan departemen marketing apabila tingkat penjualan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Namun dengan berkembangnya kompetisi didalam pasar, setiap departemen diharapkan bekerja secara sinergis. Diperlukan kesadaran manajer untuk menyadari bahwa kompetitor mereka sebenenrya adalah perusahan lain, bukan departemen sesama dalam sesama perusahaan.

3. Memimpin sebagai guru, bukan bos. 

Di era kepelatihan modern, para pelatih lebih menempatkan diri mereka sebagai guru dan mentor kepada pemain mereka. Oleh karena itu kita dapat melihat sebagian contoh pelatih memiliki hubungan erat dengan pemainnya. Pelatih- pelatih top seperti Pep Guardiola, Juergen Klopp, Zidane, Tuchel adalah sebagian pelatih yang dikenal memiliki kedekatan dengan pemain asuhan mereka. Metode kerja secara metodis dan kaku seperti yang diterapkan Louis Van Gaal ataupun Felix Magaath mulai ditinggalkan.


Perusahaan modern memiliki para manager yang bertindak sebagai leader dan mentor bagi karyawannya sehingga jarak antar karyawan dan manager seakan hilang. Seorang manager perlu bertindak layaknya pemimpin ekspedisi dimana ia perlu memiliki kepedulian terhadap karyawannya dan memberikan support sehingga mereka memiliki motivasi untuk meningkatkan produktivitas mereka.


4. Membuat tujuan bersama.

Dulu, setiap pemain diberikan bonus atas setiap gol yang mereka hasilkan. Namun kebanyakan pelatih modern mengubah sistem tersebut, karena dianggap akan membuat pemain terinsentif untuk menendang ke gawang tanpa memperhatikan opportunity cost yang dimiliki timnya. Saat ini kebanyakan pemain akan mendapatkan bonus sesuai dengan kebijakan masing- masing tim. Kebijakan tersebut dibuat atas keputusan bersama dari pemain dan pelatih berdasarkan strategi yang dimiliki. Bonus tersebut akan diberikan kepada tim secara keseluruhan bukan kepada pemain secara individu. Hal ini dianggap adil karena sebagai sebuah tim mereka menang bersama dan kalah bersama.

Hal ini berlawanan dengan yang diterapkan oleh perusahaan. Perusahaan masih menerapkan pemberian insentif atau award kepada individu berdasrkan performa mereka didalam melakukan pekerjaan. Dinilai berlawanan karena setiap karyawan berada dalam sebuah tim kerja. Ini yang membuat setiap karyawan memiliki bonus yang berbeda- beda. Dampaknya adalah manager kesulitan untuk membuat target secara kolektif,. Selain itu mereka akan menentukan target yang rendah, sehingga diharapkan dapat mencapai target dengan mudah. Sehingga performa perusahaan di bawah potensi sebenarnya.

Menjadi tugas manager untuk memotivasi karyawannya dalam mencapai target pekerjaan, baik secaca individual dan kolektif. Dengan begitu diharapkan para karyawan dapat mensupport karyawan lainnya untuk mencapai target. Kedepannya manager dapat membuat milestone dari target sebelumnya untuk membuat keputusan target selanjutnya.

5. Menjadi Full time Leader

Pelatih yang baik adalah mereka yang mencurahkan seluruh waktunya untuk tim yang ia latih. Mereka memberikan waktu untuk menginspirasi pemain, mensupport, memberikan pelajaran, memberikan arahan kepada setiap pemain atas role mereka di lapangan, menyelesaikan masalah dan mencairkan suasana di kamar ganti saat timnya mengalami kekalahan.

Rata- rata manager eksekutif menghabiskan hanya 20% waktu mereka untuk karyawan mereka. Sisanya dihabiskan untuk membalas e-mail klien, bertemu supplier, menyelesaikan masalah konsumen, menghadiri pertemuan ekonomi dsb. Bagi mereka prioritas karyawan mereka tidak begitu penting. Mereka sama seperti para pelatih di era 20 tahun lalu yang hanya menganggap kemenangan adalah prioritas utama.

Banyak eksekutif yang mengakui bahwa tidak banyak waktu yang dapat mereka habiskan untuk memimpin karyawan mereka secara langsung. Alasannya adalah hal tersebut akan berdampak kepada tugas dan tanggung jawab mereka yang lain.

.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun