Ketika orang-orang berseru-seru di jalanan, di Masjid, di medsos tentang Komunisme yang bahaya laten, kadang tidak bisa dihindari satu perasaan ini, yaitu mereka yang anti komunisme itu sebenarnya menginginkan komunisme masih ada di Indonesia. Itu seperti merindukan kehadiran musuh laten yang permanen, supaya selalu ada sasaran, selalu ada target operasi untuk diperangi. Kalau komunisme benar-benar sudah mati, lantas apalagi yang mau dimusuhi?
Tentu saja, tidak sukar untuk terus menghidupkan kegentaran dan kebencian pada komunisme dan entitas yang mendukungnya di Indonesia: PKI. Toh PKI itu punya tokoh dan keluarga. Kalau tokoh PKI pernah berjaya lantas ditangkap dan dibunuh, bukankah masih ada anak-anaknya yang sekarang juga jadi orang dewasa. Maka, tinggal kenakan lambang-lambang, simbol-simbol, kebiasaan-kebiasaan PKI pada orang di jalanan. Ada gambar palu arit, itulah komunisme. Ada lagu Genjer-Genjer, itulah komunisme. Selama ada lambangnya, ada warna merah, selama ada lagunya, berarti ada yang bisa diperangi, ditangkap, dilawan, dibinasakan.
Sedikit cerdas, lambang itu bisa dilekatkan pada orang atau pihak yang tidak disukai. Orang dari jaman dahulu menyebut tindakan pelekatan ini sebagai FITNAH, tapi siapa peduli? Lebih penting melihat bahwa ada tanda di atas kepala, atau dipunggung, atau di dada -- langsung tangkap! Kalau lambang itu tidak tertempel, maka tidak susah untuk membuat sedikit modifikasi memakai aplikasi editor foto.
Yang dikatakan: ini adalah hal penting! Demi menyelamatkan anak bangsa!
Yang dilakukan: fitnah. Propaganda kebencian.
Yang dimaksud: mari singkirkan lawan politik. Mari enyahkan orang yang mengganggu kepentingan untuk bisa bancakan ambil uang negara. Aktualisasinya, mari turunkan Presiden Jokowi. Tidak penting apakah Presiden Jokowi sebenarnya komunis atau bukan, karena tujuannya adalah menurunkan. Sama sekali tidak ada kaitan dengan komunisme, selain suatu kebiasaan lama mengatakan komunisme adalah bahaya laten yang harus senantiasa diperangi.
Dengan cara demikian, komunisme secara tidak langsung diangkat tinggi-tinggi, seolah merupakan suatu paham yang sakti dan tidak terkalahkan. Seperti penyakit yang tidak ada matinya, tidak ada habisnya. Seolah, komunisme tidak bisa mati.
Kalau kita sungguh-sungguh membenci komunisme, yakin bahwa komunisme adalah SALAH dan ngawur, maka seharusnya punya keyakinan bahwa komunisme telah MATI di suatu saat lalu. Tidak ada paham salah yang bisa bertahan selamanya. Tidak ada kengawuran yang mampu bertahan lama, apalagi selama-lamanya.
Kenyataannya, ajaran komunisme sudah mati. Selesai.
Tahu apa soal komunisme? Ini adalah reaksi dari merajalelanya KAPITALISME yang menguras segala kekayaan langit, bumi, dan lautan demi mereka yang jadi pemilik kapital, alias si orang-orang kaya. Kapitalisme adalah suatu -isme, artinya cara hidup, yang meyakini bahwa Tuhan memihak orang yang punya segala harta. Mereka yang kaya itu, yang mengendalikan kapital, modal, untuk menggerakkan ekonomi -- adalah tangan Tuhan. Merekalah yang memberi sumbangan besar pada gereja, pada organisasi agama. Waktu itu, adanya agama Katolik, di mana para imamnya turut membungkuk di depan orang kaya dan kaum bangsawan.
Karena orang menjadi begitu taat pada gereja dan orang kaya, kebanyakan kaum rendah dan marjinal malah berusaha menjadi amat saleh dalam segala hal, hingga mereka tidak lagi memikirkan apa yang benar atau salah tentang beragama. Orang kecil melihat bahwa mengikuti agama dan punya posisi imam adalah cara untuk memajukan kehidupan. Mereka berusaha keras untuk saleh, sementara para kapitalis dan gereja terus membuat aturan yang ketat dalam cara berbicara, dalam pakaian yang dikenakan, serta segala kode etik. Karena dibuat oleh orang kaya, maka kode etik itu memenuhi dan melayani kebutuhan para pemilik modal. Orang kecil dengan taat dan setia berpakaian, bekerja, membanting tulang, demi kekayaan si pemilik kapital yang dibungkus dengan kata-kata "mentaati perintah Tuhan".
Tak heran, para tokoh komunis dimulai dari Karl Marx mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat. Orang yang beragama tidak lagi dapat berpikir lurus dan kritis, mereka sudah dicuci otak untuk berusaha menjadi saleh dan sempurna. Hanya begitulah caranya mereka bisa bangkit dari kemiskinan, yaitu dengan patuh dan setia mengikuti peraturan. Agama jadi candu! Tidak lagi bisa dipikirkan, tidak boleh dikritik!
Komunisme timbul sebagai reaksi atas segala penindasan ini. Tidak boleh lagi aset, kemampuan produksi berikut hasil-hasilnya jadi milik segelintir orang kaya dan imam gereja. Mereka seperti gelombang belalang, menghabisi segalanya. Ada Lenin, Stalin di Uni Sovyet. Ada Mao Tse Tung di Tiongkok, menjalankan revolusi China.
Gelombang komunisme segera menjadi kekuatan yang berebut pengaruh di dunia, dan berperang dingin dengan kapitalisme yang dikomandoi oleh Amerika Serikat. Indonesia di jaman Bung Karno mulai condong pada blok Timur, karena di Indonesia ada Pancasila. Di sini tidak ada masalah dengan ajaran agama yang menjadi candu, tidak ada orang kaya yang menguasai semua sumber harta. Yang kurang di Indonesia adalah kecerdasan dan kemampuan produksi; tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Terlalu lama bangsa ini dijajah sehingga kehilangan kecerdasannya. Bung Karno tidak suka dengan kapitalisme yang mengikuti imperialisme dunia Barat ke Timur.
Tapi, komunisme sendiri juga mempunyai kejahatannya, manipulasi, korupsi besar-besaran. Banyak propaganda komunis yang didasarkan pada dusta, bohong. Komunisme adalah cara hidup yang dimulai dari kebencian, maka membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan yang berangkat dari benci. Karena membenci individu yang kaya, komunisme membenci semua individu, dan mengharuskan segala sesuatu dibagi bersama. Karena membenci agama maka tidak ada lagi etika, selain mencapai tujuan komunal.
Komunisme mati karena memang salah, karena terlalu banyak dusta, terlalu banyak kekejamannya. Ideologi itu tidak lagi dapat hidup di dunia yang lebih terbuka, di mana manipulasi lebih jelas diketahui. Jelas terlihat.
Di Indonesia, kematian komunis dilakukan dengan cepat dan keras, lewat pembunuhan karakter, dan pembunuhan banyak orang. Yang tertarik dengan paham komunis dianggap pembawa penyakit yang amat sangat berbahaya. Apakah pandangan manusia bisa seragam? Tidak. Bukan suatu penyakit yang menular dan membahayakan nyawa dengan cara yang sama. Tiap orang memahami secara berbeda, juga bereaksi secara berbeda. Tapi, siapapun yang dahulu "tersentuh" dengan PKI, dianggap sama semua bahayanya. Benar-benar sama rata sama rasa, manusia yang harus dibinasakan karena terafiliasi dengan PKI.
Komunisme mati dengan tenang di Uni Sovyet yang berakhir, terpecah jadi sejumlah negara lebih kecil. Di China, komunisme berubah total menjadi sesuatu yang lebih khas China, yang terus menjadi mesin ekonomi dunia. Di Indonesia....?
Setelah sekian banyak orang mati, masih berpikir bahwa komunisme ada mengancam? Astaga.
Rasanya, justru yang terlihat adalah orang-orang yang tidak berpikir dengan benar, karena mereka kecanduan agama. Silakan direnungkan, apakah yang sebenarnya harus kita waspadai?
Donny A. Wiguna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H