Mohon tunggu...
Donni Hadiwaluyo
Donni Hadiwaluyo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Konsultan bidang sumber daya manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Yuk, Nak... Kita Melanggar

5 November 2014   04:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:36 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkendara menggunakan sepeda motor di Jakarta jauh berbeda dengan tempat asal saya di Jogja. Di Jogja relatif lebih longgar, adem-ayem. Santai. Di Jakarta, jangan tanya. Seperti salah satu pagi yang saya alami ini.

Sudah jam 6.30. Biasanya saya berangkat dari rumah sekitar jam 6. Tapi pagi itu saya agak terlambat start-nya dari rumah. Jalan sudah ramai sekali.

Para pengantar anak sekolah sudah beraksi. Ada bapak-bapak berkaos singlet. Ibu-ibu masih berdaster, memboncengkan anak-anaknya. Banyak juga yang sudah rapi. Sekalian berangkat ke kantor, mungkin. Ada yang memboncengkan dua anak. Bahkan ada yang tiga. Caranya, seorang anak diletakkan di depan, dan dua anak lain berseragam SD dan SMP di belakang. Seru.

Di perempatan lampu merah, lebih seru. Motor-motor berlomba maju ke depan, jauh melebihi garis batas. Bahkan memakan hampir separuh hak jalan dari simpangan lainnya. Akibatnya yang dari arah lain jadi terhalang sedikit, tersendat, bahkan macet, dan terkunci di tengah perempatan. Bila itu terjadi, tiba-tiba seluruh kawasan seputar lampu lalu lintas terserang penyakit buta warna masif. Tidak lagi mampu membedakan warna merah dan hijau. Semua warna adalah hijau. Makin macetlah.

Di pagi hari, selalu banyak ayah yang memboncengkan anaknya. Banyak ibu juga, maklum jam sekolah. Tapi ayah dan ibu itu buat saya tampak sedang bersepakat mengajarkan sesuatu pada anaknya, "Yuk, Nak... kita melanggar!"

Mereka memberikan teladan dan contoh cara melanggar lalu lintas secara efektif pada anaknya. Menerobos lampu merah, tidak memakai helm, boncengan lebih dari seharusnya, melawan arus, memaki sesama pejuang jalanan, bahkan ber-acting seolah akan menabrak dengan cara mengerem sedekat mungkin ke kendaraan yang membuat ia sebal.

Semua kejadian ini ada di depan hidung anak yang mereka bonceng. Inilah kotbah pagi para orang tua. Ini sesi pertama dari pelajaran hidup harian yang sedang mereka ajarkan pada anak-anak mereka.

Lepas dari lampu merah, makin seru saja. Sampailah saya ke area sebuah sekolah terkenal. Mobil-mobil memepetkan diri dengan mendadak ke kiri jalan dari kanan jalan. Menghentikan dirinya dengan mendadak. Ada yang berhentinya benar-benar di pinggir, tapi lebih banyak yang berhenti di jalan agak ke tengah. Mereka menurunkan anaknya. Hmmm... lagi-lagi ajakan melanggar yang hebat.

Lanjut lagi, saya mulai melihat hasil dari pembentukan perilaku tadi. Anak-anak SMA, tanpa helm, melawan arus, ngebut, memutar gas sekeras-kerasnya mencari perhatian umum. Seandainya ada orang tuanya di sana saat itu, mungkin mereka akan mengomeli anaknya.

Mungkin bentakan semacam, 'Ayo pakai helm...!', 'Jangan ngebut, bahaya...!' atau 'Awas jangan melawan arus!',  dan sejenisnya akan terlontar. Tanpa sadar bahwa teladan perilaku itu sudah mereka tanamkan waktu kecil. Sudah diteladankan oleh orang tua. Jadi percuma.

Sebenarnya kalau mau disimpulkan, ada lima tips mendidik anak ditinjau dari para ahli psikologi perilaku (behaviorism). Pertama, harus ada rule (peraturan) yang disepakati bersama. Kedua, harus ada reward (hadiah) bila peraturan itu ditaati. Ketiga, perlu ada punishment (hukuman) bila peraturan itu dilanggar. Reward tidak harus berupa uang, punishment tidak harus berupa pukulan. Redefinisi tentang kedua istilah itu sangat diperlukan. Keempat, perlu ada konsistensi dalam pemberian hadiah dan hukuman. Kelima, perlu ada keteladanan dari si pembuat aturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun