Mohon tunggu...
Donni Taufiq
Donni Taufiq Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Nasi Padang

Seorang suami, ayah, petani pasal, pengamat politik dan sepakbola + nyambi jd ASN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maksimalkan Potensi Ketenaganukliran BATAN Harus Menjadi Badan Usaha Milik Negara (Bagian ke-1)

3 Juni 2020   21:55 Diperbarui: 3 Juni 2020   21:56 2818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut pembagian dalam Peraturan Perundang-undangan (meskipun dari sisi saintifik kurang tepat), pengusahaan ketenaganukliran di Indonesia dibagi ke dalam 2 kluster besar, yaitu bidang Instalasi dan Bahan Nuklir (IBN) dan bidang Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif (FRZR). 

Selama 6 tahun saya berkecimpung di dunia ketenaganukliran (saya seorang sarjana hukum, dan sebelum 2014 sama sekali tidak tahu kalau Indonesia ada pemanfaatan tenaga nuklir), saya melihat khusus di bidang IBN, belum berkembang secara signifikan, dimana izin pemanfaatan di bidang IBN ini masih sangat minim sekali; 31 izin untuk IBN berbanding 13.180 izin di bidang FRZR (ya anda sedang tidak salah baca ada 13.180 pemanfaatan tenaga nuklir bidang FRZR di Indonesia, dimana teknologi nuklir sudah dimanfaatkan secara masif di bidang industri dan kesehatan) - data Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) per Mei 2020.

Pemanfaatan tenaga nuklir di bidang IBN bisa dikatakan semuanya dijalankan hanya oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), yang merupakan Badan Pelaksana menurut UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (UU Ketenaganukliran). Ada 3 rektor nuklir riset yang dioperasikan oleh BATAN, bahkan Reaktor Nuklir Serba Guna GA Siwabessy di bilangan Serpong (bersebelahan dengan lokasi perumahan kota mandiri terbesar di Indonesia) adalah reaktor nuklir riset terbesar di belahan bumi bagian selatan, dan sudah beroperasi secara selamat dan aman sejak 1987 (fyi dulu insinyur-insinyur nuklir dari negaranya oppa Lee Min Ho dan grup musik K-Pop Blackpink belajar di sini dari insinyur-insinyur BATAN). 

BATAN sendiri adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang berdiri sejak 5 Desember 1958. Menurut pendapat saya, bentuk BATAN sebagai LPNK ini adalah salah satu faktor mengapa BATAN tidak dapat mendorong ketenaganukliran semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat, boro-boro Go PLTN (yang menurut banyak pihak perlu penelitian dan pengkajian lebih mendalam, emangnya 61 tahun lebih meneliti kurang dalam ya? Asli, diri ini gagal faham). 

Sejak pertama kali membaca UU Ketenaganukliran, saya sudah berpendapat bahwa untuk dapat memaksimalkan potensi ketenaganukliran, BATAN harus ditransformasi menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan untuk pendapat ini waktu itu saya diomelin salah seorang mantan pimpinan instansi saya (yaiyalah anak baru seumur jagung tau apa sih? Hehehe). 

Setidaknya ada 2 perspektif alasan yang mendasari saya berpendapat demikian, yakni alasan dari perspektif hukum dan alasan dari perspektif ekonomi. Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengutarakan pendapat saya, mengapa BATAN harus menjadi BUMN dari perspektif hukum terlebih dahulu. 

Dalam kesempatan berikutnya, saya akan mencoba menguraikan alasan dari perspektif ekonomi, meskipun alasan dari perspektif ekonomi juga berkaitan dengan hukum dan juga sebaliknya (kalau dulu saya masih kuliah ini namanya Analisis Ekonomi dari Hukum disingkat ANEH). 

Mengapa sih saya mengomentari BATAN dan bukan sang regulator BAPETEN? Apa karena saya bekerja di BAPETEN? Sebenarnya ada juga kritik dan komentar saya terhadap BAPETEN, tapi sebagaimana dunia sepakbola, lebih seru mengomentari pemainnya seperti Messi, CR7, Ibrahimovic, atau bahkan rivalitas pelatih sekelas Mourinho, Guardiola, dan Klopp, daripada mengomentari FIFA atau federasi sepakbola masing-masing negara. Saya janji, kritik dan komentar terhadap BAPETEN pasti akan saya tulis di lain kesempatan. 

Pasal 9 UU Ketenaganukliran

Pasal 9 UU Ketenaganukliran berbunyi sebagai berikut:

(1) Penyelidikan umum, eksplorasi, dan eksploitasi bahan galian nuklir hanya dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. 

(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, koperasi, badan swasta, dan/atau badan lain.

Ketentuan dalam Pasal ini berpotensi sekali merendahkan martabat negara. Bentuk kerjasama dalam pengusahaan bahan galian nuklir sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU Ketenaganukliran pasti dituangkan dalam bentuk kontrak kerjasama, karena tidak ada bentuk hukum lain untuk menjalankan hubungan kerjasama. 

Dengan adanya kontrak kerjasama  maka akan melekat asas-asas keperdataan yang bersifat umum yang berlaku dalam hukum kontrak, yakni asas keseimbangan dan asas proporsionalitas. 

Asas keseimbangan berarti dalam melakukan pengikatan kontrak kedua belah pihak bersifat etikal sehingga pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Sedangkan asas proporsionalitas berarti dalam melakukan pengikatan kontrak ada hak dan kewajiban yang setimpal.

Kemungkinan adanya kontrak kerjasama ini berarti posisi negara sejajar dengan pihak yang bekerjasama dengan BATAN (Government to Business). Pada umumnya setiap kontrak korporasi apalagi yang berskala global dan besar selalu menunjuk arbitrase internasional untuk memeriksa dan mengadili jika terjadi sengketa, sehingga akibat hukumnya apabila negara kalah berarti kekalahan seluruh rakyat Indonesia, disitulah inti merendahkan martabat negara.

Sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang similar dengan ketentuan ini, yaitu Putusan MK No. 36/PUU-x/2012 dalam permohonan pengujian Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). 

Putusan ini cocok sekali menjadi referensi dimana MK dalam putusannya secara tegas mengartikan frase ”dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber kekayaan ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan alam.

Penguasaan negara dimaknai, rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Jika BP Migas melakukan kontrak karya dengan korporasi artinya negara sejajar dengan korporasi tersebut. Di satu sisi, negara juga melaksankan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan (lebih tinggi dari korporasi).

Fungsi BATAN dalam Pasal 9 UU Ketenaganukliran ini identik dengan fungsi BP Migas yang sekarang menjadi SKK Migas. Dalam RUU Migas dan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) SKK Migas juga akan diubah menjadi BUMN khusus yang akan melaksanakan kegiatan usaha migas, termasuk berkontrak dengan korporasi (Business to Business). Jika SKK Migas akan diubah menjadi BUMN, mengapa BATAN dengan fungsi yang identik dalam pengusahaan bahan galian nuklir tidak?

Pasal 23 UU Ketenaganukliran 

Pasal 23 UU Ketenaganukliran berbunyi sebagai berikut:

(1) Pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. 

(2) Dalam melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pelaksana dapat bekerja sama dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.

Pasal 23 UU Ketenaganukliran ini menarik untuk dianalisis kesesuaiannya dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi:

Perekonomian diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pasal 23 UU ketenaganukliran ini mengesankan negara hanya menjadi "tukang bersih-bersih" saja dari kegiatan ketenaganukliran. Bertentangan sekali dengan asas wawasan lingkungan yang dikenal umum.

Wawasan lingkungan dijewantahkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) melalui 14 asas yaitu: (i) tanggung jawab negara; (ii) kelestarian dan keberlanjutan; (iii) keserasian dan keseimbangan; (iv) keterpaduan; (v) manfaat; (vi) kehati-hatian (precautionary principle); (vii) keadilan; (viii) ekoregion; (ix) keanekaragaman hayati; (x) pencemar membayar; (xi) partisipatif; (xii) kearifan lokal; (xiii) tata kelola pemerintahan yang baik; dan (xiv) otonomi daerah.

Lebih lanjut asas dari wawasan lingkungan yang perlu dibahas kesesuaiannya dengan pengaturan Pasal 23 UU Ketenaganukliran adalah asas tanggung jawab negara dan asas pencemar membayar (polluter pays principle)

Asas tanggung jawab Negara berarti: (i) negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan; (ii) negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; dan (iii) negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Asas pencemar membayar berarti setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.

Perlu diingat, ke-14 asas wawasan lingkungan dalam UU Lingkungan Hidup berdiri sejajar dan saling melengkapi. Artinya tanggung jawab negara tidak dapat menegasikan kewajiban pengusaha, dalam hal ini yang menghasilkan limbah radioaktif, untuk wajib mengelola limbah radioaktif yang dihasilkannya.

Seharusnya dalam pengelolaan limbah radioaktif, UU Ketenaganukliran membebankan pengelolaannya kepada pengusaha penghasil limbah radioaktif. Segala biaya hendaknya ditanggung si penghasil. Adapun tanggung jawab negara untuk menjamin lingkungan hidup dijalankan melalui instrumen perizinan. 

Putusan MK No. 18/PUU-XII/2014 dalam permohonan pengujian UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup menerangkan bahwa instrumen perizinan dalam perspektif hukum administrasi negara adalah upaya preventif untuk mencegah risiko terhadap kesehatan manusia dan tercemarnya lingkungan hidup akibat Limbah B3 yang dihasilkan.

Melalui instrumen perizinan inilah tanggung jawab negara dalam pengelolaan limbah B3 diwujudkan.  Hal yang sama juga seyogyanya dijalankan dalam pengelolaan limbah radioaktif. 

Jika BATAN berbentuk BUMN, maka hal ini menjadi tidak bertentangan dengan putusan MK di atas. Karena, dalam hal ini pengusaha penghasil limbah radioaktif melakukan hubungan kontrak dengan BATAN (kembali business to business). Jadi, negara tidak menjadi hanya sebatas "tukang bersih-bersih" saja. 

Tunggu dulu, bukankah sekarang Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN juga sudah memungut Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada pengusaha yang melimbahkan limbah radioaktifnya ke fasilitas PTLR BATAN? Memang benar, tapi perlu diingat  landasan filosofis dari PNBP adalah bagaimana barang milik negara (fasilitas PTLR) ini dapat dioptimalkan penggunaannya untuk kemakmuran rakyat. 

Dalam rangka kita menggunakan barang milik negara seoptimal dan seproduktif mungkin. BATAN menurut Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 adalah LPNK penelitian dan pengembangan (litbang), jadi fasilitas yang dimiliki juga skala litbang bukan skala industri. Dan fasilitas ini tidak selaiknya dikomersialkan. Ingat kasus zat radioaktif di Perumahan BATAN Indah, yang tersangkanya (pegawai BATAN) mengiklankan jasa pelimbahan?

Untuk poin pengoptimalan barang milik negara ini akan saya uraikan dalam tulisan berikutnya mengenai alasan dari perspektif ekonomi. Ada banyak potensi fasilitas BATAN dan penemuan-penemuan hasil peneliti BATAN yang akan lebih optimal jika BATAN menjadi BUMN, tentunya capaian terbesar adalah mewujudkan PLTN (saya jadi teringat tulisan sangat menarik dari seorang peneliti senior BATAN yg berjudul Curhat Seorang Ilmuwan Nuklir - dapat diakses pada laman pewarta-indonesia.com).

Belum lagi potensi-potensi BATAN lainnya yang kewenangannya bersumber dari UU Ketenaganukliran, bagaimanapun hanya 2 Pasal tentunya belum menjadi dasar kuat merubah bentuk BATAN menjadi BUMN (ini seperti spoiler dari tulisan Bagian Ke-2, sebagaimana saya uraikan di awal ekonomi dan hukum pasti saling berkaitan satu sama lainnya). 

Sejarah Lembaga Pemerintah Menjadi BUMN

Dalam sejarah Indonesia, pernah adakah contoh lembaga pemerintah diubah menjadi BUMN? Jawabnya ada, yaitu BULOG. BULOG dulu sebelum reformasi adalah lembaga pemerintah yang bertugas mengamankan penyediaan dan stabilisasi pangan. Memang banyak pendapat bahwa BULOG berubah menjadi BUMN karena tekanan IMF. 

Tapi, jika dianalisis lebih mendalam memang BULOG lebih cocok menjadi sebuah badan usaha. BULOG membeli beras dari petani (atau impor), kemudian menjualnya ke masyarakat. Ini kan adalah bentuk transaksi bisnis. Masa negara (dalam bentuk lembaga pemerintah) berbisnis sih dengan rakyatnya.

Dalam tulisan berikutnya, saya akan menjelaskan dari perspektif ekonomi mengapa BATAN harus berubah menjadi BUMN, dengan bersinggungan juga dengan perspektif hukum (ingat sekali lagi kebijakan ekonomi pasti selalu ada faktor ANEH - Analisis Ekonomi dari Hukum). Akan coba saya uraikan bagaimana dengan nasib PT. Industri Nuklir Indonesia (Persero), BUMN yang bergerak di bidang ketenaganukliran, jika BATAN menjadi BUMN. 

Seruput kopi dulu...

* Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan bukan sikap instansi tempat penulis bekerja.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun