Rainhard tampak memegang semacam kartu dengan tampilan menyerupai paspor Indonesia dalam ukuran yang lebih kecil. Sisi depan menyerupai cover paspor Indonesia, sementara sisi belakang berhias stempel berbagai negara. Karena tak mampu membendung rasa ingin tahuku, segera kurespon story tersebut untuk mencari info lebih lanjut.
 "Anggap saja ini paspor mini untuk jalan-jalan antar kecamatan", begitu ujarnya padaku.
Singkat cerita "paspor mini" itu adalah kartu e-money dengan tampilan menyerupai paspor. E-money Passport merupakan salah satu produk besutan avioreno yang dapat digunakan sebagai media pembayaran cashless seperti pembayaran tol dan sarana transportasi umum (MRT, bus, kereta KRL).Â
Avioreno sendiri merupakan sebuah usaha kreatif yang lahir dari dua sahabat yang gemar bertualang di waktu senggangnya. Mereka adalah Reno (@rssno) dan Rainhard (@rainhards).
Avioreno tercetus dari pengalaman yang sering dialami Reno dan Rainhard ketika melakukan perjalanan. Mereka seringkali kesulitan menemukan koper miliknya di antara koper dan barang lain yang berjajar di conveyor belt sesaat setelah mendarat dari sebuah penerbangan. Sebuah situasi yang tak jarang dialami pula oleh pelaku perjalanan lainnya.
Di situlah avioreno dengan jeli menangkap celah untuk menjadi bagian dari para pencinta wisata. Dengan desain yang elegan dan kekinian, avioreno pada awalnya muncul sebagai luggage tag yang bisa dipersonalisasi sesuai dengan keinginan.Â
Reno dan Rainhard menyadari pentingnya sebuah media identifikasi yang dapat disematkan di koper/tas maupun barang lain yang dibawa ketika melakukan perjalanan sehingga dapat mempermudah pemiliknya untuk mengenali. Dan yang terpenting, adanya luggage tag dapat meminimalisir kejadian koper tertukar seperti yang pernah kualami.
Aku tadinya begitu percaya diri dengan koper milikku yang berwarna pink menyala. Warnanya yang menyolok membuatku yakin bahwa aku tak akan kesulitan menemukannya di tengah kumpulan koper yang lain.Â
Suatu hari, setelah mendarat dari sebuah penerbangan dari kota Bandung ke Surabaya, aku bergegas menuju conveyor belt tempat pengambilan bagasi dan meraih koper berwarna pink serupa milikku. Kemudian aku melanjutkan perjalanan ke kota tempat tinggalku di Malang yang berjarak sekitar 2 jam dari Surabaya.Â
Setelah sampai di rumah ternyata koperku tak dapat dibuka. Berbagai nomor kombinasi pun sudah kucoba tapi si koper tetap bandel dan tak mau bekerja sama. Akhirnya kusadari ternyata koper itu bukan milikku. Iya, koperku tertukar dengan koper lain yang serupa. Mungkin saat itu Tuhan ingin menghukumku karena sudah terlalu sombong.