Mohon tunggu...
Donna Dwinita Adelia
Donna Dwinita Adelia Mohon Tunggu... Wiraswasta - Love to hide behind words

Ibu dua anak yang suka buang sampah lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Piring-piring Cantik nan Sakti

26 Mei 2020   09:02 Diperbarui: 26 Mei 2020   09:29 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya hari ini tiba juga. Hari kemenangan umat islam setelah berjuang satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Setelah berpuasa dan berpantang, saatnya hari ini kami bersuka cita menyambut hari raya Idulfitri. Tanpa sadar aku menghela napas. Bukannya aku tak suka. Tetapi momen ini selalu mengingatkanku  pada mereka. Piring-piring cantik nenek yang selalu menyapaku setiap hari lebaran tiba seperti hari ini.

Kulirik layar gawaiku sekedar untuk mengecek waktu. Dengan sedikit gusar aku bangkit dari tempat tidur karena kantuk masih menggelayutiku. Aku berjalan gontai ke kamar mandi dengan langkah terseok-seok. Awalnya aku berniat mengambil air wudhu untuk menunaikan ibadah sholat shubuh terlebih dahulu. Tetapi kemudian aku berubah pikiran. Kurasakan badanku gerah akan keringat. Sejatinya aku benci hidup di Jakarta. Udara kota ini sepertinya tak pernah bersahabat denganku. Tak pernah sekalipun membuatku merasa nyaman. Pengap dan panasnya ibukota selalu berkomplot dengan kelenjar keringatku. Mereka berdua selalu kompak menyiksaku seperti saat ini. Akhirnya kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu demi mengusir kantuk dan menyegarkan tubuhku.

Seusai melaksanakan sholat shubuh aku berdiri di ambang jendela kamarku. Dari sini aku bisa melihat pemandangan kota Jakarta dari ketinggian. Kulihat sedikit semburat jingga mulai muncul di ufuk timur. Pertanda sang surya akan menampakkan sosoknya. Aku beranjak menuju lemari pakaianku. Kubuka pintunya lalu kupandangi isinya. Segera kupilah-pilah koleksi baju yang kumiliki. Kucoba padu padankan satu sama lain mencari kombinasi yang serasi. 

Lebaran kali ini aku tak punya baju baru. Tapi menurutku itu bukan masalah besar. Bagiku yang penting bukan bajunya, melainkan siapa pemakainya. Kalau memang dasar pemakainya sudah ganteng maka pakai apapun akan tetap ganteng, seperti aku. Eh, mengapa kau tersenyum ? Kau bilang aku sombong ? Kau tak percaya kalau aku berparas tampan dan menawan ? Sini, temui aku kalau berani ! Sungguh aku tak bermaksud tinggi hati. Aku hanya berusaha selalu bersyukur dengan apa yang kumiliki.

Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya kuraih baju koko berwarna coklat muda dengan sarung yang senada. Tak lupa kuambil peci warna hitam untuk melengkapi penampilan. Kupandangi pantulan diriku di cermin kamarku. Sontak aku mengutuk dalam hati. Aku lupa belum bercukur hari ini ! Segera kuberanjak ke kamar mandi. Kuambil tabung berisi krim untuk bercukur dan kubuka tutupnya. Kukeluarkan krim secukupnya dan kuoleskan di dagu sesuai area yang ingin kubersihkan. Dengan hati-hati kugoreskan pisau cukurku. Aku berusaha bergerak secepat mungkin tanpa melukai diri sendiri. 

Setelah bersih segera kubasuh wajahku dan kupercikkan sedikit cairan after shave untuk menambah kesegaran. Tetiba aku teringat akan salah satu sunnah yang sebaiknya dilakukan sebelum melaksanakan sholat ied, yaitu sunnah untuk memakai wangi-wangian. Kuambil botol parfum favoritku. Kusemprotkan isinya ke bagian belakang telinga dan di kedua siku bagian dalam. Aku pernah membaca  bahwa dua titik tubuh tersebut merupakan tempat yang tepat untuk mengaplikasikan parfum dan membuat wanginya akan bertahan lebih lama.

Kulirik jam dinding di kamarku. Aku harus sedikit bergegas untuk pergi ke rumah nenekku. Lebaran tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Adanya pandemi covid19 membuat pemerintah memberikan himbauan untuk melakukan sholat ied di rumah masing-masing. Untungnya rumah nenekku tak jauh dari apartemenku. Beliau tinggal berdua saja dengan ibuku. Aku sudah berjanji untuk ke rumah nenekku dan menjadi imam untuk sholat ied nanti.

Sekali lagi aku mematut diri di depan cermin. Di hadapanku tampak sesosok lelaki tampan membalas tersenyum padaku. Lalu kubertanya padanya,"Kau sudah tampan begitu mengapa sampai sekarang masih jomblo juga ?". Aku tersenyum masam. Tentu saja dia tak bisa menjawab pertanyaanku karena tadi kubertanya pada bayangan diriku sendiri. Aku meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja nakas di samping tempat tidurku. Setelah mengunci pintu apartemen, segera aku menuju lift terdekat. Kutekan tombol untuk turun ke basement tempat mobilku terparkir.

Sembari menunggu pintu lift terbuka, tiba-tiba kutangkap gerakan dari arah pintu unit apartemen di sebelah kananku. Dari ekor mataku aku bisa menangkap bayangan seorang wanita keluar melewati pintunya dan berjalan mendekatiku. Mungkin dia hendak menggunakan lift juga seperti aku. Kuberanikan diri untuk menengok ke arahnya untuk melihat wajahnya lebih jelas. Bagaimanapun kami tetangga dan aku berniat menyapanya. 

Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan. Bukan kalimat sapaan yang keluar dari mulutku, yang ada justru aku terdiam dan mendadak kehilangan kata-kata. Aku terpesona dengan bidadari yang ada di hadapan mataku. Berdiri tak jauh di sampingku seorang wanita yang sangat cantik berbusana muslim dan berjilbab berwarna putih. Tubuhnya langsing dan tinggi semampai, kira-kira setinggi bahuku. Sorot matanya tampak tenang dan meneduhkan. Sontak aku memalingkan kepala dan berlagak sibuk dengan gawaiku. Dalam hati kumenyemangati diri sendiri, “Kuatkan hatimu! Sapalah dia ! Cobalah berkenalan dengannya ! Mungkin ini satu-satunya kesempatan bagimu untuk membuka jalan selanjutnya !”.

Aku mencoba berdeham untuk membersihkan tenggorokanku sembari mempersiapkan kalimat untuk menyapanya. Namun beberapa saat kemudian hatiku mencelos ketika mendengar seruan seorang anak laki-laki yang baru saja keluar dari pintu apartemen yang sama. "Mamaaa! Mamaaa! Tunggu dong! Papa masih ambil air wudhu lagi”, anak kecil itu merajuk dan langsung melingkarkan kedua lengannya di pinggang wanita yang tadi kukira bidadari yang jatuh dari langit. Aku menelan ludahku sendiri. Ternyata lebaran kali ini tidak berpihak padaku.

Sekitar 30 menit kemudian aku menghentikan mobil di depan rumah nenekku. Jam di mobilku menunjukkan pukul 06.05 WIB. Kuketuk pintu dan kukumandangkan salam ketika memasuki rumah yang spontan dijawab oleh ibuku. Beliau tampak sibuk menata meja yang biasa digunakan untuk santap bersama. Melihatku memasuki ruangan, beliau berseru padaku,"Tolong siapkan piring-piringnya seperti biasa. Setelah itu kita mulai sholat iednya di musholla".

Aku beranjak menuju sebuah lemari yang terletak di sudut ruangan tersebut. Kupandangi isinya yang tampak dari pintunya yang berkaca bening. Nenekku sungguh sangat luar biasa. Beliau lahir sebelum Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya. Koleksi pecah belahnya bagiku memang tiada duanya. Selera beliau klasik dan elegan. 

Hal ini sangat terpancar dari penampilan dan pilihan akan semua barang yang dimilikinya, termasuk piring-piring cantik ini. Tampak di hadapanku beberapa tumpuk piring keramik berhias bunga warna biru khas negara Belanda. Motif ini terkenal dengan istilah “Delft Blue”. Motif ini sangat terkenal dan tetap menjadi incaran para kolektor hinga saat ini. Entah sejak kapan nenek ikut serta menggemarinya, yang jelas beliau sangat menyukainya.

Aku membuka pintu lemari, berniat mempersiapkan piring yang diminta ibu. Dengan hati-hati kukeluarkan dua tumpukan piring cantik tadi dan kususun di atas meja. Sedikit jengkel aku berbisik pada mereka,”Tolong hari ini kalian tak usah unjuk kesaktian lagi ya! Aku lelah menghadapinya!”.

Sumber : www.instagram.com/pt.luckyindahkeramik1
Sumber : www.instagram.com/pt.luckyindahkeramik1

Tiba-tiba timbul sebuah ide di kepalaku. Aku berjongkok untuk membuka pintu bagian bawah lemari. Aku tahu di dalamya tersimpan piring-piring yang tidak disukai oleh nenekku karena motifnya yang menurut beliau norak. Aku tersenyum melihat tumpukan piring bergambar ayam jago yang ada disitu. 

Piring serupa sering kutemui digunakan oleh penjual nasi goreng langgananku. Mungkin itu pula sebabnya nenekku membencinya. Segera kuambil beberapa piring bergambar ayam jago itu. Kubisikkan mantra rahasiaku pada mereka sebelum kuselipkan di antara piring-piring cantik yang sudah tersusun rapi di atas meja. Aku berharap kehadiran para ayam jago itu bisa menangkal kesaktian piring-piring cantik yang seringkali merepotkanku.

Selesai mengatur semua piring di atas meja, aku segera menuju ruang mushola. Di sana ibu dan nenek sudah mengenakan mukena siap untuk melaksanakan sholat. Sholat ied pun kami jalankan dengan aku sebagai imamnya. Biasanya tak lama lagi para paman dan bibi serta saudara-saudara sepupuku akan mulai berdatangan kemari seperti lebaran-lebaran sebelumnya. Sebagian besar keluargaku memang hidup di Jakarta, sehingga dalam masa pandemi ini kami tetap dapat berkumpul bersama.

Jam antik nenek sedang berdentang Sembilan kali ketika para kerabatku mulai berdatangan. Mereka datang dengan membawa berbagai kue dan masakan untuk dinikmati bersama-sama. Dalam sekejap meja makan nenek penuh dengan berbagai hidangan. Hidangan ketupat lengkap dengan berbagai lauk-pauknya tak pernah alpa sebagai penciri khas momen lebaran. 

Masih ditambah menu ala eropa kesukaan nenek, seperti beef lasagna dan macaroni schotel. Kue-kue basah pun berjajar, ada lumpia, pastel, lemper, onde-onde, cara bikang serta banyak kue yang aku tak tahu namanya. Tak ketinggalan di atas meja di ruang tamu juga sudah penuh dengan berbagai jenis kue kering dan cemilan ringan lainnya. Tanpa sadar aku menelan ludah. Program diet yang kujalankan mati-matian dalam setahun terakhir sepertinya akan kacau balau hanya dengan satu hari ini saja.

Setelah rampung dengan prosesi sungkeman, mulailah acara yang selalu ditunggu. Apalagi kalau bukan bertukar cerita seru sembari menikmati hidangan yang sudah tersaji di depan mata. Kulihat dari kejauhan, piring-piring cantik itu mulai beraksi. Satu demi satu paman, bibi dan saudara-saudara sepupuku bergantian mengambil piring dan mengisinya sekehendak hati. Di mataku, piring-piring cantik itu tampak sedang bersuka cita. Mereka tampak sangat menikmati berbagai hidangan yang dituangkan padanya.

Sejenak kemudian perutku mulai mengirim sinyal minta diisi. Aku segera bergabung dengan para sepupu yang masih sibuk mengisi piring-piringnya. Aku mengambil satu piring yang masih bersih. Sebagai pembuka, aku memilih menu ketupat komplit dengan lauknya. Setelah puas dengan isi piringku, aku pun beralih mencari tempat duduk yang nyaman untuk menikmatinya. Sekilas kulihat beberapa pamanku sudah selesai menikmati hidangannya. Aku rasakan detak jantungku berdebar sedikit lebih cepat. Inilah waktunya. Beberapa saat lagi adalah momen yang menentukan apakah piring-piring cantik itu akan menunjukkan kesaktiannya kembali atau tidak.

Seorang tanteku tampak sudah selesai bersantap dan sedang berjalan menuju dapur. Ketika melewati pamanku yang notabene adalah suaminya, beliau sekaligus mengambil piring paman yang juga sudah rampung menikmati hidangannya. Sesampainya di dapur, tanteku segera mencuci bersih piring-piringnya dan meletakkannya di rak piring yang tersedia. Aku pun bernapas lega. Sepertinya kekhawatiranku kali ini tidak beralasan. T

etapi rupanya aku terlalu cepat bersenang hati. Tak berapa lama kemudian kulihat pamanku yang lain berjalan ke arah dapur diikuti dengan anak-anaknya. Mataku seketika menatap nanar ketika pamanku dengan tenangnya meletakkan piring kotornya begitu saja di dalam bak cuci tanpa merasa perlu untuk mencucinya. Tindakan serupa dilakukan pula oleh para kerabat dan saudara yang lain. Dalam sekejap aku bisa melihat tumpukan menggunung piring-piring kotor di dapur.

Seketika itu juga kumerasa kehilangan tenaga. Aku merasa kalah dengan kesaktian piring-piring cantik itu. Aku bahkan bisa mendengar mereka seakan tertawa mengejekku dari bak cucian di dapur. Sekali lagi, piring-piring cantik itu kembali beraksi menunjukkan kesaktiannya. Kesaktian yang mudah sekali muncul dengan bantuan karakter manusia seperti pamanku. 

Karakter manusia yang cenderung tidak peduli untuk sekedar membereskan hal remeh yang seharusnya menjadi tanggung jawab masing-masing. Satu saja piring kotor tergeletak di bak cuci akan dengan mudah mengundang teman-temannya yang lain untuk bergabung bersamanya. Satu tindakan dari pamanku akan mengundang tindakan serupa yang akan dilakukan oleh lainnya.

Lebih hebatnya lagi, kesaktian yang ditunjukkan oleh piring-piring itu juga dapat menular pada yang perkakas yang lain. Seperti sekarang yang terjadi di depan mataku. Seorang sepupuku baru saja mengambil sebuah mug yang masih bersih setelah sebelumnya dia juga sudah mengambil gelas yang digunakannya untuk minum dan entah sekarang tergeletak di mana. Hal yang sama juga terjadi pada air mineral kemasan yang disediakan nenekku. Seringkali aku mendapati gelas-gelas air mineral yang baru berkurang sedikit isinya tergeletak begitu saja dan para kerabatku lebih memilih untuk mengambil air kemasan yang baru daripada menghabiskan miliknya yang masih banyak tersisa airnya.

Seluruh yang hadir di sini adalah kerabat dekatku. Semua tahu dan mengerti bahwa nenek hanya hidup berdua dengan ibuku tanpa adanya Asisten Rumah Tangga. Hal ini juga berarti beliau berdua membereskan semua pekerjaan domestik secara mandiri tanpa bantuan orang lain. 

Entah apa yang terbersit di benaknya ketika mereka secara bersama dan kompak memantik kesaktian piring-piring cantik itu. Tak berhenti sampai situ kemudian menularkannya pada para gelas dan perkakas lainnya. Apakah mereka memang berniat menambah beban pekerjaan untuk nenek dan ibu ? Atau mungkin ada alasan lain di baliknya ? Sayangnya aku juga tak pernah ambil pusing untuk mengejar lebih lanjut. Walaupun kemudian seringkali aku tak mampu menahan diri untuk ngomel sendiri sekedar untuk melampiaskan kejengkelanku.

Hari mulai beranjak siang. Kesaktian piring-piring cantik itu makin menjadi-jadi tanpa ada seorang pun yang berniat menghentikannya. Dengan gontai aku membawa piring bekas makanku menuju bak cuci yang tampak lelah dengan isinya yang sangat sarat. Perlahan kutumpukkan piringku untuk bergabung dengan lainnya. Kulihat satu piring ayam jago tampak begitu tersiksa. Ayamnya tak tampak jago lagi, justru lengket sana sini teraniaya oleh kuah opor dan sambal. Di sisi kanannya, ayam jago lainnya tampak kusut dan merana tertimpa kuah telur petis yang sangat lengket dan bau. Mantra yang kurapalkan pada mereka tadi pagi ternyata percuma saja.

Sementara itu canda dan tawa terus bergulir diiringi menipisnya jumlah kudapan. Tak terasa waktu berlalu ketika kemudian jam dinding nenek kembali berdentang. Kali ini tiga kali dentangan yang kudengar menunjukkan pukul 3 sore. Tiba saatnya satu persatu kerabatku undur diri. Setengah jam kemudian semua sudah berpamitan dan kembali meninggalkanku seorang diri.

Dengan berat hati kututup pintu rumah nenekku. Kukuatkan hati untuk melihat kondisi yang tertinggal. Aku menghela napas panjang. Hariku baru akan dimulai sekarang. Sayup-sayup dari arah dapur telingaku mulai menangkap suara ribut yang familiar. Suara yang selalu kudengar ketika setiap momen keluarga berakhir seperti ini. Siapa lagi kalau bukan piring-piring cantik nan bawel itu ? Mereka sudah sibuk ribut sendiri. Beberapa di antaranya kompak berteriak memanggilku dengan suara manja dan sexy,”Maaaasssss !!! Cepat kemariii !! Kami minta dicuciii !! Lalu kembalikan kami ke dalam lemariiii !!!”.

----- SELESAI-----

PS : ditulis berdasarkan curhat seorang sahabat yang selalu menjadi tenaga infal cuci piring setiap lebaran tiba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun