Mohon tunggu...
Donita Una
Donita Una Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

freelance photography

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lahirnya Korupsi Pajak Bank BCA

26 Agustus 2015   13:11 Diperbarui: 26 Agustus 2015   13:11 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamis 27 Agustus 2015 KPK akan menjalani sidang PK atas putusan praperadilan Hadi Poernomo yang terkait keterlibatan Hadi dalam kasus korupsi pajak Bank BCA. Sidang ini akan menjadi salah satu faktor penentu apakah KPK dapat melanjutkan pengusutan atas kasus korupsi pajak Bank swasta terbesar di Indonesia ini atau tidak.

Jika pengadilan menerima gugatan KPK atas putusan praperadilan Hadi Poernomo, maka KPK kembali berpeluang untuk mengusut tuntas kasus korupsi pajak yang dilakukan Bank BCA, namun jika pengadilan menolak gugatan KPK maka pengusutan kasus korupsi pajak Bank BCA akan kembali mangkrak seperti yang terjadi beberapa bulan ini pasca sidang praperadilan Hadi.

Kasus korupsi pajak Bank BCA ini sejatinya adalah kasus lama. Kasus ini terjadi pada tahun 2003. Kasus ini berawal dari pemeriksaan Dirjen Pajak yang tengah memeriksa laporan keuangan Bank BCA pada tahun 2002. Saat itu Dirjen Pajak menemukan keganjilan pada laporan keuangan Bank BCA.

Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Bank BCA berhasi membukukan laba fiscal sebesar Rp 174 miliar, setelah lembaga yang Hadi pimpin itu melakukan kajian terhadap laporan tersebut, laba fiscal Bank BCA yang sebenarnya seharusnya sebesar Rp 6,7 triliun. Oleh sebab itu laporan keuangan Bank BCA direvisi sesuai dengan temuan Dirjen Pajak.

Laba fiscal Bank BCA yang awalnya Rp 174 miliar berubah menjadi Rp 6,7 triliun. Hal ini disebabkan oleh transaksi kredit yang dilakukan Bank BCA dengan BPPN yang sebesar Rp 5,7 triliun. Atas transaksi dengan BPPN, Bank BCA dikenakan pajak sebesar Rp 375 miliar.

Oleh sebab itu BCA mengajukan keberatan pajak atas transaksi non performance loan (kredit bermasalah) sekitar 17 Juli 2003. Nilai transaksi bermasalah PT Bank BCA ketika itu sekitar Rp 5,7 triliun. Oleh Direktorat Pajak Penghasilan permohonan keberatan membayar pajak dari Bank BCA dikaji selama setahun. Setelah melakukan kajian selama hampir setahun, pada 13 Maret 2004, Direktorat PPh menerbitkan surat yang berisi hasil telaah mereka atas keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA. Surat tersebut berisi kesimpulan PPh bahwa pengajuan keberatan pajak BCA harus ditolak.

Namun, pada 18 Juli 2004, Hadi selaku Dirjen Pajak ketika itu justru memerintahkan Direktur PPh untuk mengubah kesimpulan melalui nota dinas tertanggal 18 Juli 2004. Hadi diduga meminta Direktur PPh untuk mengubah kesimpulannya sehingga keberatan pembayaran pajak yang diajukan PT Bank BCA diterima seluruhnya.

Pada hari itu juga, Hadi diduga langsung mengeluarkan surat keputusan ketetapan wajib pajak nihil yang isinya menerima seluruh keberatan BCA selaku wajib pajak. Dengan demikian, tidak ada lagi waktu bagi Direktorat PPh untuk memberikan tanggapan yang berbeda atas putusan Dirjen Pajak tersebut.

Selain itu, Hadi diduga mengabaikan adanya fakta materi keberatan yang diajukan bank lain yang memiliki permasalahan sama dengan BCA. Pengajuan keberatan pajak yang diajukan bank lain tersebut ditolak. Namun, pengajuan yang diajukan BCA diterima, padahal kedua bank itu memiliki permasalahan yang sama.

KPK menjerat Hadi dengan Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junctoPasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Atas perbuatan Hadi ini, negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp 375 miliar.

Menurut Wakil Ketua Nonaktif KPK, Bambang Widjojanto, nilai kerugian negara ini adalah besaran pajak yang tidak jadi dibayarkan BCA kepada negara. "Yang seharusnya negara menerima Rp 375 miliar tidak jadi diterima dan itu menguntungkan pihak lainnya, tidak selamanya harus menguntungkan si pembuat kebijakan," kata Bambang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun