Mohon tunggu...
Doni Hermawan
Doni Hermawan Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Waspada Paceklik

2 Oktober 2018   17:03 Diperbarui: 2 Oktober 2018   17:05 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakah di antara kita yang memperhatikan bahwa belakangan ini jarang turun hujan. Itu karena periode Agustus-September bisa dibilang sebagai masa puncak musim kemarau. Dalam periode ini, petani adalah pihak yang paling kuatir, karena panen mereka terancam gagal.

Kekuatiran itu bukan omong kosong. Karena menurut catatan data studi Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) sebanyak 39,6 persen dari 14 kabupaten sentra padi mengalami penurunan produksi di kemarau panjang ini. Bahkan, produksi dapat turun 39,3 persen. (Tribunnews.com) 

Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, turunnya produksi pada musim kemarau terjadi dari tahun ke tahun. Setidaknya, dari pengamatan AB2TI selama delapan tahun terakhir, selalu terjadi penurunan produksi padi tiap kali musim kemarau menerjang.

Apabila kemarau panjang benar terjadi seperti yang diperkirakan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, maka musim tanam padi akan mundur dibandingkan waktu normal. Sebab, biasanya siklus tanam di musim hujan dimulai pada Oktober hingga Desember. Efek berikutnya adalah, stok beras yang ada akan terkuras 2,5 juta ton lagi.

rau itu sendiri tidak bisa diremehkan. Karena menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, beberapa tempat di Indonesia sudah dilanda bencana kekeringan. Khususnya di Jawa dan Nusa Tenggara.

Di daerah-daerah tesebut, pasokan air berkurang, sungai mengering, danau dan waduk menyusut, sumur warga pun kering. Jangankan untuk mengairi sawah petani, untuk kebutuhan makan, mandi, dan cuci pun sulit.

BNPB juga melansir bahwa kekeringan telah melanda 11 provinsi yang terdapat di 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa. Hampir semua daerah yang mengalami kekeringan itu adalah sentra beras dan jagung, seperti Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, NTB, Banten, Lampung, dan beberapa provinsi lainnya.

Kondisi ini harusnya menjadi tamparan keras bagi Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang beberapa waktu lalu mengatakan kemarau tidak akan berdampak signifikan. Akibat kesombongan itu pula, ia dengan bangganya mengekspor jagung ke luar negeri. Ia mengabaikan aspirasi peternak dan produsen pakan ternak yang meminta agar stok jagung dipertahankan di dalam negeri.

Kalau sudah begini, masih berani meremehkan ancaman paceklik, Pak Menteri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun