"Sepintar-pintarnya Bangkai Ditutupi, Busuknya Akan Tercium Juga"
Kalimat di atas adalah salah satu peribahasa yang masih saya ingat sampai sekarang, sebab seringkali saya seolah melihat wujud dari peribahasa ini dengan mata kepala sendiri. Dari teman SD yang tertangkap basah ketika membolos, sampai pada tingkah oknum politik di negara kita sekarang ini.
Lihat saja Gayus, akhirnya ketahuan juga dia bisa keluar-masuk penjara seenaknya untuk liburan ke Bali. Kalau hanya mengandalkan pendapatan/jabatannya, sangat tidak mungkin dia punya uang & kuasa untuk melakukan hal itu.
Begitupun Kejagung. Dari yang awalnya sering disorot karena kinerjanya lamban, mendadak bisa menangkap Dhana Widyatmika (DW) dengan proses yang sesingkat pelayanan di restoran fastfood. Ya memang kita berharap semua kasus ditangani secepat itu, tapi kenyataannya? Hanya kasus DW yang jadi prioritas, padahal kasusnya sendiri banyak menimbulkan tanda tanya di mata masyarakat.
Pengalihan isu kah?
Bisa jadi, malah itu teori yang masuk akal. Di tengah pro-kontra kenaikan harga BBM, kasus rekening gendut para PNS, ditambah kasus anggaran renovasi gedung DPR; mendadak muncul berita yang sensasinya sama seperti popularitas ajang pencarian bakat instan di stasiun TV. Padahal kita semua tahu, prioritas di balik semua ajang itu hanya uang.
Dan tampaknya uang juga yang jadi prioritas di Kejagung. Lihat contoh kasus Korupsi Indosat: internal Kejaksaan Agung masih tarik ulur dalam status mantan Wakil Direktur Utama PT Indosat Tbk, Kaizad Bomi Heerjee dalam kasus korupsi Indosat yang disebut-sebut merugikan negara sebesar Rp 3,8 triliun.
Dengan adanya tarik ulur status Kaizad Bomi Heerjee, ini jelas mengindikasikan ada dua ketidakwajaran dalam kasus tersebut, yakni tekanan dari luar negeri dan tekanan dalam bentuk materi. Tekanan dari luar negeri dilihat dari posisi Kaizad yang merupakan bagian dari perusahaan besar dari Singapura, Temasek. Sedangkan tekanan dalam bentuk materi ada oknum Kejaksaan Agung yang telah menerima sejumlah materi untuk 'memundurkan' status Kaizad.
Harusnya Direktur Penyidikan tidak akan mungkin salah dalam memberikan pernyataan terkait kasus yang ditangani penyidiknya. Seorang Dirdik pasti tidak sembarangan mengumbar pernyataan. Apalagi yang bisa mencemarkan nama baik seperti pemberian "status tersangka" kepada seseorang.
Tapi ketika pernyataan tersebut "dibantah petinggi" lain kemudian diralat, jelas ada 'power' yang mengintervensi Kejagung. Apakah bentuk dari power itu berupa iming-iming atau ancaman, kita tidak tahu.
Pastinya kinerja Kejagung saat ini jelas menunjukkan kalau mereka terlalu banyak menyimpan kebohongan, kemudian kelabakan sendiri menyembunyikan kebusukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H