Mungkin antum bertanya, kenapa mesti jangan puasa dulu, bukannya sunnah? Kalau antum termasuk orang yang bertanya demikian maka dapat dipastikan bahwa antum belum ngerti benar maksud hadis berikut ini:
Lebih kurang, terjemah hadis adalah, "Jika kalian puasa Ramadan kemudian (dilanjutkan) dengan puasa 6 hari bulan Syawal maka dirimu itu seperti puasa setahun penuh"
Dari jalur rawi, hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beberapa kitab hadis juga menyebutkan kapasitas imam Muslim sebagai perawinya. Tentu kesahihannya tidak bisa disanksikan lagi.
Dari sisi terjemah, hadis ini sangat jelas. Bahkan lebih jelas dari sorot terik mentari di siang bolong. Darinya orang kemudian dapat memetik motivasi besar akan keutamaan puasa 6 hari saja di bulan Syawal. Kenapa mesti nambah 6 hari saja? Apa bisa dikurangi? Atau bilangan 6 hari tersebut ada makna lain?
Dengan tegas saya jawab gak ada pemahaman yang lain karena bilangan 6 pada hadis tersebut masuk ragam lafal yang qathi' al-dalalah (monotafsir). Kalau gak pernah belajar usul, gak kira tahu yang beginiaan. Hihiii.......
Okey lanjut...
Walau terjemah hadis di atas sangat jelas namun hadis tersebut sangat suram kalau dijadikan sebagai pijakan untuk berbicara tehnis puasa yang dimaksud.
Bahkan ada yang lebih fatal lagi, dengan semangatnya ada orang ptotes kepadaku, "Kalau puasa enam hari pahalanya seperti puasa setahun, itu artinya puasa Ramadan selama sebulan full kalah saing donk?" Waduuuh...Kacau-kacau ini orang.
Baiklah kalau begitu!
Untuk lebih jelasnya mengenai tehnis dan maksud hadis tersebut, mari kita rujuk langsung syarah Imam Nawawi terhadap hadis tersebut.
Imam Nawawi memulai uraiannya dengan mengutip perbedaan ulama tentang hukum puasa yang dimaksud.
Dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik didapat sebuah keterangan bahwa beliau berdua mengatakan hukum puasa 6 hari bulan Syawal adalah makruh. Alasannya karena Imam Malik belum pernah melihat satupun ahlul ilmi yang melaksanakannya. Lebih lanjut, keduanya mengatakan, "Sebaiknya dimakruhkan saja biar orang tidak salah faham, nanti dikira wajib..."
Berbeda dari pendahulunya, Mazhab Syafi'i, Ahmad, dan Daud mengatakan bahwa hadis tersebut sangat terang-benderang berbicara kesunnahan puasa 6 hari bulan Syawal. Alasan singkat mereka, apa yang diasumsikan kedua ulama di atas tidak benar adannya. Banyak puasa sunnah lannya yang tidak berubah haluan menjadi wajib seperti puasa asyura, puasa 'Arafah, dan puasa sunnah lainnya.
Kemudian disebutkan bahwa pahalanya bagai puasa setahun karena kalkulasi satu hari puasa dibalas dengan pahala 10 hari puasa. Kalau antum sudah puasa sebulan penuh pada bulan Ramadan, itu artinya antum udah dapat tabungan pahala puasa 300 hari (10 bulan). Kemudian dilanjutkan dengan puasa 6 hari dengan kalkulasi pahala yang sama maka dengan itu antum dapat bonus pahala puasa 60 hari (2 bulan). Jika jumlah hari selama setahun adalah 360 hari, itu artinya full puasa Ramadan ditambah dengan puasa 6 hari Syawal sama dengan puasa setahun.
Dari hadis ini, dapat ditarik sebuah pemahaman lain juga bahwa kita dilarang untuk puasa dahr. Dahr merupakan istilah singkat untuk menyebut puasa yang dilakukan oleh orang setiap hari full selama setahun. Kalau dengan puasa ramadan plus 6 hari bulan syawal udah dapat pahala puasa setahun, untuk apa kemudian kita puasa setahun lewat jalur biasa? Ada yang mengatakan bahwa larangan ini berlaku jikalau dengan puasa dahr dikhawatirkan akan menimbulkan mudharat.
Lantas haruskan puasa Syawal berurutan dan start dari tanggal 2 syawal setelah lebaran?
Lebih lanjut Imam Nawawi menulis bahwa soal tehnis ini, kita diberikan kebebasan untuk memilih, yang terpenting hitungan 6 hari puasa tercapai di bulan Syawal. Bisa berturut-turut atau dibuat terpisah-pisah.
Kata orang Sasak, baun te selak-selak.
Tidak mesti harus mulai dari tanggal 2 bulan Syawal dan berturut-turun. Ini hanya satu dari beberapa opsi lainnya. Opsi ini bisa kurang tepat bilamana selama seminggu awal bulan Syawal merupakan moment rame-ramenya silaturrami. Puasanya bisa dilakukan di minggu terakhir bulan Syawal. Biasanya,minggu-minggu terakhir silaturrahmi sudah sepi.
Kalau sudah urusan silaturrahmi maka tidak bisa lari dari hidangan khas Idul Fitri. Paling tidak ada toples "khong Guan Biscuits" isi Rengginan Ini kalau di daerah maduraan.
Lain lagi kalau di kampungku, setiap lebaran wajib hukumnya ada jajan Lideran. Paling unik dari jajan yang satu ini, satu kali makan langsung habis delapan, serruuu kan? Ada juga yang disebut dengan kue "Cerorot". Mengupasnya butuh keterampilan khusus. Jika tidak, maka kodok-kodok di sawah bisa menertwakan anda,....
Problematis memang, di satu sisi ingin melaksanakan puasa Syawal namun di sisi lainnya banyak hidangan tuan rumah yang harus disantap. Lebih problematis lagi kalau jadi tuan rumah. Tamunya tidak puasa sementara tuan rumah puasa, padahal ada hidangan yang harus dihaturkan kepada tamunya.
Terus antum sebagai tuan rumah mau bilang, "Maaf sedang puasa?" Waduuhhhhh fatal ini pak. Ini mah bukan mau menampakkan semangat beribadah, tapi justru menampakkan dangkalnya wawasan antum belajar Islam yang mahaluas itu. Semoga status ini bisa sedikit menggali kedangkalan antum
Saya kira, cukup sampai disini dulu.
Salam silaturrahmi dan selamat menikmati hidangan khas kampung halaman masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H