Mohon tunggu...
Donie Hulalata
Donie Hulalata Mohon Tunggu... Big Data Project Officer -

Seorang pria berkacamata dan bertubuh gempal yang senang berbicara dengan orang lain, baik melalui lisan juga dengan tulisan. Temukan tulisan saya yang lainnya di: Bukan Jurnal Sejarah (http://bukanjurnalsejarah.wordpress.com).

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ketika Bisnis Startup Digital Tetangga Lebih Hijau  

23 Maret 2016   14:32 Diperbarui: 23 Maret 2016   15:01 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pengalaman menggunakan jasa transportasi yang dipesan dengan cara daring, pernah juga aku lakukan. Memang secara kepraktisan, memesan taksi menggunakan aplikasi ini memudahkan. Terlebih lagi, aktivitas manusia saat ini lebih banyak dilakukan dengan gawai mereka.

Data di tahun 2014, jumlah pengguna Internet di Indonesia menunjukkan angka 88,1 juta pengguna. 85% diantaranya menggunakan Internet melalui gawai yang dimilikinya. (Sumber: Pengguna Internet Indonesia Tembus 88,1) .

Melihat tren di tahun tersebut, dapatkah Kompasianers membandingkan peningkatannya di tahun 2015 atau 2016 ini?

Artinya, penggerak bisnis digital, yang mengandalkan Internet, memandang ini adalah “ladang subur” bagi kemajuan dan pertumbuhan bisnisnya. Dengan skema bisnis yang membutuhkan modal tertentu, mereka bisa mengukur keuntungan yang maha dahsyat dalam waktu yang cepat.

Sudut pandang inilah yang bisa jadi digunakan para Chief Executive Officer (CEO) Startup Digital Business dari perusahaan penyedia aplikasi jasa transportasi umum untuk melirik Indonesia dan membangun dinasti taksi berbasis aplikasi. Hal yang menarik adalah karena ini semua cocok dengan tren masyarakat Indonesia kebanyakan yang bersifat konsumtif. Dalam arti, orang Indonesia butuh segalanya serba cepat, instan, murah, dan kekinian.

Maka dari itu, ketika aplikasi untuk memesan layanan transportasi secara daring muncul di tengah kegalauan orang Indonesia –khususnya di Ibu Kota Jakarta-, ini seolah menjadi “buruan” baru yang harus dicoba oleh mereka. Mental latah yang juga dimiliki orang Indonesia ini membuat bisnis digital milik para CEO tadi tumbuh subur.

Namun, meski demikian, respon para konsumen yang menggunakan aplikasi untuk memesan transportasi ini malah positif. Beberapa pertimbangan yang dipilih adalah karena harga yang lebih murah, cepat, instan, dan kekinian. Pola yang sama yang diinginkan semua orang, di Jabodetabek.

Sebenarnya pernyataan di atas lebih kepada pengalaman pribadiku menggunakan aplikasi seperti Grabtaxi, Grabcar, dan Go-Jek. Namun aku pun yakin banyak Kompasianers dan pembaca lain yang mengamininya.

Sikap Pesimistis Pengemudi Taksi Konvensional


Menilik respon pengguna yang positif itu, kemudian banyak orang yang terbuka untuk ambil bagian mencicipi ‘potongan besar’ dari keuntungan bisnis digital di sektor aplikasi jasa transportasi umum. Mereka bergabung dengan brand seperti Uber dan Grab. Bahkan beberapa pengemudi yang sudah menjadi pengemudi taksi di brand taksi tertentu.

Namun, ternyata perilaku ini malah mendapat pandangan sinis dari sekelompok pengemudi taksi yang tidak membuka pikirannya. Pandangan sinis itu muncul karena mereka menutup dirinya dari hal baru yang berkembang dengan cepat, Internet. Mungkin pula bisa disebut, kelompok ini begitu defensif terhadap hal baru yang mengubah kebiasaan mereka sebelumnya. Kelompok ini kemudian akan disebut sebagai Pengemudi Taksi Konvensional.

Namun kemudian, bagaimanakah aplikasi untuk memesan taksi ini berpengaruh terhadap kebiasaan para pengemudi taksi konvensional?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun