Ternyata, aplikasi Uber atau Grab bagi pengemudi taksi adalah seperti permainan “berburu penumpang”. Dengan fitur tombol “ambil order” atau semacamnya, para pengemudi ini harus menekan tombol itu lebih cepat dari pengemudi taksi yang lain yang juga mendapat notifikasi pemesanan serupa. Berlomba mendapatkan penumpang seperti hal itu, sepertinya adalah kegiatan baru dan aktivitas yang seru saat pengemudi taksi menunggu penumpang.
Dengan cara tersebut pula, peluang pengemudi taksi untuk mendapatkan penumpang yang memesan melalui aplikasi lebih besar. Ingat kan jumlah pengguna internet di Indonesia yang menggunakan gawainya untuk beraktivitas? Lagi-lagi, ini efek dari wabah Internet yang semakin besar: mengubah perilaku.
Belum lagi, bonus yang ditawarkan perusahaan Startup Digital ini bagi mitra pengemudi taksi yang mendapatkan penumpang mencapai target harian. Dengan target tertentu, pengemudi taksi yang mendapatkan penumpang dari aplikasi, akan mendapatkan bonus yang bisa diambil pada interval waktu tertentu. Besarnya berapa? Pasti menjajikan. Dan ini rupanya yang dirasakan seorang pengemudi taksi yang sudah menggunakan aplikasi.
Dalam sebuah wawancara televisi pada hari Rabu (23/03) siang, di acara berita sebuah stasiun teve swasta, Ardi, seorang pengemudi taksi yang sudah menggunakan aplikasi pemesanan taksi secara daring menyampaikan kisahnya.
“Saya sudah pakai aplikasi Online (daring) ini mas, sejak pakai ini saya bisa dapat pemasukan 50% lebih besar dari sebelumnya gak pakai aplikasi. Lumayan lah mas, belum lagi kalau kita bisa mencapai target penumpangnya, kan saya bisa dapat bonus,” katanya.
Dari pernyataan tersebut, sebenarnya peluang untuk meningkatkan kesejahteraan bagi para pengemudi taksi cukup terang. Tapi kelompok konvensional ini masih saja belum bisa membuka dirinya. Dan ini lah yang disampaikan Ardi terkait teman-temannya sesama pengemudi taksi yang belum tergabung pada aplikasi tersebut.
Menurut dia, para pengemudi yang masih konvensional ini merasa aplikasi pemesanan taksi secara daring itu masih “abu-abu”. Dikarenakan masih barunya perusahaan penyedia aplikasi tersebut juga menjadi alasan para pengemudi taksi konvensional tersebut.
“Kalau kata teman-teman yang belum memakai aplikasi, karena perusahaann si pembuat aplikasi umurnya umurnya masih kurang dari 2 tahun. Mereka belum tahu dan merasa belum jelas soal perijinan. Makanya ada yang tertarik ada yang engga untuk bergabung dengan aplikasi itu,” tambah Ardi.
Berbeda dengan Ardi, Ketua Paguyuban Pengemudi Angkatan Darat, Cecep Handoko menyatakan pandangannya terkait keberadaan aplikasi pemesanan taksi secara daring ini. Menurutnya, dengan pola perilaku pemesanan secara daring tersebut, para pengemudi yang konvensional mendapat lebih sedikit penumpang. Hal ini berdampak pada pemasukan dan setoran si pengemudi. Akibatnya yang lebih besar, adalah keberlangsungan hidup keluarga para pengemudi.
“Di Jabodetabek, ada 170 ribu pengemudi taksi yang kehilangan mata pencahariannya akibat dari adanya aplikasi taksi online ini”, ujar Cecep.
Pernyataan Cecep tersebut, yang aku sebutkan tadi soal sikap tidak membuka dirinya para pengemudi taksi konvensional terhadap kemajuan teknologi di Indonesia. Bahkan, kelompok konvensional ini, bisa jadi belum mengetahui soal jumlah pengguna Internet di Indonesia dan tren penggunaan gawai sebagai sarana beraktivitas di Internet.