Fatwa adalah opini hukum atau keputusan keagamaan yang diberikan oleh seorang ahli hukum Islam (mufti) atau ulama yang kompeten untuk menjawab persoalan yang dihadapi oleh individu atau masyarakat, terutama mengenai hal-hal yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis. Fatwa bertujuan memberikan panduan kepada umat Islam dalam menjalani kehidupan sesuai dengan syariat.
Pertanyaan tentang keharaman atau larangan meminta fatwa kepada AI (Artificial Inteligence) muncul karena beberapa alasan terkait dengan sifat teknologi AI, kemampuan interpretasi hukum, dan kepercayaan dalam tradisi keagamaan. Berikut adalah penjelasan beberapa alasannya:
1. AI Bukan Otoritas Agama
- Dalam Islam, fatwa adalah opini hukum yang diberikan oleh seorang ahli agama (mufti) yang memiliki keilmuan mendalam dalam Al-Qur'an, Hadis, fikih, dan prinsip-prinsip hukum Islam lainnya.
- AI tidak memiliki otoritas spiritual atau kapasitas untuk memahami konteks manusiawi, niat, atau nuansa yang sering kali diperlukan dalam memberikan fatwa.
2. Kurangnya Akuntabilitas
- Seorang mufti bertanggung jawab atas fatwa yang mereka keluarkan, baik di dunia maupun di akhirat. AI, sebagai sistem buatan manusia, tidak memiliki tanggung jawab moral atau akuntabilitas spiritual atas jawaban yang diberikannya.
3. Kemampuan Terbatas dalam Memahami Konteks
- Fatwa sering kali bergantung pada pemahaman konteks spesifik seseorang atau masyarakat. AI mungkin tidak dapat sepenuhnya memahami nuansa budaya, sosial, atau situasional dari pertanyaan tertentu, yang dapat menghasilkan jawaban yang tidak relevan atau salah.
4. Kemungkinan Kesalahan atau Distorsi
- AI belajar dari data yang diberikan kepadanya, yang bisa saja memiliki bias, kesalahan, atau interpretasi yang keliru. Hal ini berpotensi menyebabkan penyampaian informasi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sahih.
5. Keharusan Berguru kepada Ahli (Ulama atau Mufti)
- Dalam tradisi Islam, umat dianjurkan untuk mencari bimbingan dari ulama atau cendekiawan yang terpercaya. Meminta fatwa kepada AI dapat dianggap melanggar prinsip ini, karena AI bukanlah manusia yang memiliki hubungan spiritual dengan Allah atau pemahaman agama yang mendalam.
6. Risiko Menyesatkan
- AI memberikan jawaban berdasarkan data, bukan berdasarkan hikmah atau ijtihad yang mendalam. Ini dapat menyesatkan jika pengguna menganggap jawaban AI sebagai otoritatif atau mutlak tanpa konsultasi dengan ulama.
Sebenarnya, AI atau kecerdasan buatan bisa digunakan sebagai alat bantu untuk memberikan informasi dasar tentang Islam atau menjelaskan konsep-konsep umum, tetapi tidak untuk memberi fatwa yang bersifat hukum.Â
Fatwa adalah ranah ulama yang memerlukan hikmah, akhlak, dan tanggung jawab yang tidak bisa digantikan oleh mesin. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk tetap merujuk kepada ahli agama dalam mencari petunjuk dan nasihat hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H