Pihak Kepolisian yakni Polres Jakarta Utara diberitakan telah menjual masker hasil sitaan., sebagaimana di rilis oleh detik.com. Berita dapat di baca disini Â
Dari beriita tersebut juga disampaikan bahwa keputusan pihak Polsek Jakarta Utara menjual barang bukti tersebut merupakan  upaya diskresi (penyimpangan ketentuan). Namun demikian, hal ini tentu tak bisa semudah itu dalam melakukan kegiatan diluar wewenang dan kewajiban institusi Kepolisian. Mengapa?
Berikut ini analisis singkat saya :
Masker sebagai Barang BuktiÂ
Memang, Polisi sebagai penegak hukum berhak menyita barang-barang terkait dengan tindak pidana. Namun demikian, status barang sitaan tentu juga sekaligus sebagai barang jika diperlukan oleh hakim dalam mengadili sebuah kasus pidana. Jika barang bukti tidak ada, hilang atau rusak , tentu ada pertanggungjawabannya.
Nah, jika barang bukti telah dijual, bagaimana pertanggungjawabannya? Apakah Polisi sudah memiliki payung hukum dalam menjual barang sitaan? Apakah dengan alasan diskresi, lalu Polisi berhak menjual barang sitaan?Â
Kepolisian Bukan Badan Usaha
Institusi Kepolisian dibentuk sebagai aparat penegak hukum dan bukanlah sebagai badan usaha milik negara. Apa kaitannya? Tentu hal ini sangat berkaitan erat dengan proses penetapan harga jual atas produk barang sitaan (masker) tersebut. Bagaimana pihak Kepolisian bisa menentukan harga jual, sedangkan mereka tidak diijinkan bergerak di dalam bidang usaha yang mencari keuntungan (profir oriented)
Selain itu, jika dari hasil penjualan barang sitaan tersebut diperoleh uang, maka bagaimana pertanggung-jawabannya? Apakah disetorkan kepada Kas Negara? Lalu bagaimana dengan aturan pajak? Apakah juga dikenakan pajak PPN atau tidak? Apa dasar hukumnya?
Status Tersangka dan proses hukum acaraÂ
Jika polisi melakukan penyitaan atas barang terkait tindak pidana, dalam hal ini penimbunan masker, sudah barang tertentu ada pihak yang dijadikan tersangka. Lalu bagaimana dengan status para tersangka?Â