Naik turunnya harga barang kebutuhan pokok secara ekstrim tentu akan memicu gejolak ekonomi pasar. Baik itu dari sisi konsumen maupun produsen barang. Kali ini terjadi lagi kasus anjloknya harga daging ayam di beberapa daerah. Tentu saja yang menjadi korban adalah para peternak ayam pedaging (broiler).Â
Bahkan di Yogyakarta, akibat harga jual ayam kepada tengkulak (pedangang pengumpul) yang terlalu rendah, maka para peternak di sana membagi-bagikan ayam secara gratis kepada masyarakat. Alasannya sederhana saja, daripada jual rugi lebih baik diberikan gratis kepada masyarakat, barangkali akan memperoleh pahala, pikir mereka.
Apa yang dilakukan oleh para peternak ayam di Yogyakarta tersebut bisa dimaklumi sebagai bentuk rasa frustasi dan protes atas anjloknya harga jual daging ayam yang membuat uaha mereka mengalami kerugian besar.
Beberapa waktu lalu juga pernah terjadi kasus serupa yang menimpa produk buah naga. Lebih ektrim lagi yang dilakukan oleh para petani buah naga di daerah Banyuwangi Jawa Timur, yang mana mereka dengan sengaja membuang buah naga hasil pertanian mereka ke sungai, karena merasa kecewa dengan harga di pasaran yang sangat murah.
Salah siapa?
Mungkin ini pertanyaan yang sangat mendasar, terkait kasus anjoknya harga barang hasil produksi pertanian atau peternakan. Apakah keasalahan ini bisa dibebaankan kepada para peternak/petani sendiri sebagai bagian dari resiko dalam menjalankan usahanya? Tentu saja tidak serta merta demikian.
Masalah ini bukan kesalahan dari para peternak/petani semata, namun pada substansinya adalah karena pemerintah yang tidak melakukan pemantauan dan pembinaan yang baik kepada para pelaku usaha agribisnis. Begini analisisnya:
Prinsip Ekomomi
Dalam teori ilmu ekonomi dikenal adanya prinsip 'Supply and Demand'. Harga sebuah produk yang dipasarkan tentu akan terkait erat dengan 2 parameter tersebut. Jika permintaan atas sebuah produk (Demand) tinggi, dan jumlah pasokan barang (Supply) rendah, maka dengan sendirinya harga akan naik. Begitu juga sebaliknya, jika jumlah permintaan rendah atau tetap, sedangkan jumlah pasokan tinggi atau meningkat, maka secara otomatis harga akan turun. Hal inilah yang sedang terjadi pada kasus ankloknya harga daging ayam di pasaran.
Jika permintaan daging ayam dari masyarakat cenderung tetap, namun di sisi lain jumlah para pemasok ayam dalam hal ini para peternak ayam cenderung meningkat, maka pada suatu titik tertentu, harga jual ayam pada peternak akan mengalami penurunan secara drastis. Sangat logis bukan?
Pada kasus di Yogyakarta, sesungguhnya harga daging ayam di pasaran yaitu yang dijual di pasar-pasar tradisional maupun pasar modern lainnya relatif stabil, tapi mengapa harga jual daging ayam dari para peternak anjlok?
Sebab para peternak ayam pedaging menjual hasil produksinya tidak langsung ke pasar namun harus melalui pedagang pengumpul (tengkulak). Nah disinlah masalahnya. Para tengkulak juga menggunakan prinsip ekonomi lainnya yaitu 'Membeli barang semurah-murahnya dan menjual dengan harga setinggi-tingginya"
Hal ini dilakukan juga oleh para tengkulak yang mana meskipun harga jual daging ayam di pasar relatip stabil (tetap), namun mereka membeli ayam dari peternak dengan harga semurah-murahnya, agar memperoleh keuntungan besar. Ini adalah suatu hal yang sangat wajar di dalam suatu transaksi dagang.
Mengapa para peternak tak bisa menjual harga tinggi kepada para tengkulak? Sebab jumlah hasil produksi ayam hidup dari para peternak secara umum berlimpah ruah atau dengan istilah lain adalah 'over supply'. Jika jumlah produksi ayam berlebihan (over supply), maka para peternak berlomba-lomba segera menjual hasil produksinya kepada tengkulak dengan harga terendah dibanding peternak pesaing lainnya.
Logikanya sederhana saja. Para tengkulak tentu akan membeli ayam dari para peternak dengan harga terendah. Jika ada peternak yang memaksakan diri menjual dengan harga tinggi tentu saja tak akan laku.Â
Jika hal ini berlangsung secara terus menerus dalam kondisi 'over sopply', maka dengan sendirinya harga jual ayam dari peternak kepada tengkulak semakin turun. Dengan demikian yang mengalami 'untung besar' tentu para tengkulak, karena harga beli yang jauh lebih rendah dari harga jual ayam di pasar. Sebaliknya para peternak yang menjadi korban.
Dengan adanya kasus ini, lalu apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah? Apakah pemerintah boleh diam saja dan tutup mata? Tentu saja tidak. Justru hal ini adalah menjadi tanggungjawab dan wewenang pemerintah khususnya pemerintah daerah masing-masing untuk mengatasinya. Kira-kira dimana letak kesalahan pemerintah dalam hal ini?
Pengelolaan dan pembinaan yang harus dilakukan oleh pemerintah
Sudah jelas bahwa Pemerintah memiliki kewajiban untuk menata ekonomi rakyat termasuk menjaga stabilitas harga khususnya barang kebutuhan pokok masayakat. Instansi yang paling bertanggung jawab adalah Dinas Perdagangan Daerah dan secara nasional adalah merupakan tanggung jawab Kementerian Perdagangan RI.
Pihak Dinas maupun Kementerian Perdagangan harus berkoordinasi dengan instansi lain sesuai dengan sektor terkait. Seperti pada kasus anjloknya harga daging ayam, maka pihak Dinas Perdagangan harus berkoordinasi dengan Dinas Peternakan.
Kasus anjloknya harga komoditi kebutuhan masyarakat adalah cermin lemahnya pengeloaan dan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah. Bagaimana hal ini bisa dijelaskan?
Pemerintah seharusnya memiliki dan mengelola data yang lengkap dan 'up to date' tekait transaksi perdagangan yang terjadi di daerah antara lain:
1.Data Peternak lokal
Data para peternak ini sangatlah penting untuk memantau pertumbuhan hasil produksi. Secara periodik, Dinas perdagangan harus memperbaharui data jumlah peternak dan berapa jumlah hasil produksi peternakan, untuk menghindari kondisi 'over supply'. Pemerintah wajib membina para peternak, khususnya memberikan informasi bisnis yang baik, agar masayarakat tidak keliru dalam memilih jenis usaha atau salah dalam mengembangkan usaha, untuk mengantisipasi terjadinya 'over supply'. Dengan demikian para peternak relatif lebih aman dalam menjalankan usahanya.
2. Data Pelaku Bisnis
Dinas harus memantau darimana saja pasokan barang yang terjadi di pasar-pasar induk (pusat perdagangan). Sebagai contoh pada kasus ini, Dinas harus memiliki data pemasok ayam berasal dari mana saja? Apakah dari peternak lokal atau luar daerah. Jika memang pasokan ayam lebih dominan dari luar daerah, maka pemertintah wajib membatasi atau membuat aturan untuk melindungi keberadaan peternak lokal.
3. Data harga pasar
Naik turunnya harga pasar khususnya untuk barang kebutuhan pokok harus senantiasa dipantau oleh pemerintah. Sekarang zaman teknologi digital. Seharusnya pemerintah membuat aplikasi untuk memantau harga-harga secara online dan real time. Dengan demikian maka pemerintah dapat segera mengantisipasi terjadinya gejolak harga.
 4. Pusat Informasi Perdagangan
Pemerintah harus segera membangun Pusat Informasi Perdagangan di semua sektor, termasuk secara nasional dilakukan oleh pihak Kementerian Perdagangan dalam memantau stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Hal ini dapat direalisaikan dengan menggunakan teknologi internet yang mana data dapat terhimpun secara cepat, sistematis dan memudahkan dalam pemantauan serta pembuatan kebijakan dalam mengantisipasi permaslahan gejolak harga pasar.
5. Pembinaan yang aktif dan komprehensif
Pemerintah harus melakukan pembinaan secara langsung dan aktif terutama kepada para pelaku usaha, untuk melindungi keberadaan usaha rakyat dan menjaga stabilitas harga-harga kebutuhan pokok masyarakat.
Demikian semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H