Bila seorang politikus bicara didepan media, apa yang dibicarakannya itu tentu barang yang indah-indah saja, yang menyejukkan semua pihak dan seolah mereka adalah pemilik moral yang baik. Atau bisa juga mereka mati-matian membela suatu pihak, tanpa peduli bahwa publik telah merasa benci atas semua pernyataannya. Para politikus juga tak peduli dengan pihak manapun, termasuk rakyat yang secara ideal seharusnya mereka perjuangkan. Mereka hanya membela kepentingan golongannya, termasuk kepentingannya sendiri.
Kembali pada kasus Setya Novanto, sebagai seorang politikus, Novanto tentu sangat piawai dalam bernegosiasi. Dalam meja negosiasi, sudah sangat biasa menyebut-nyebut atau mencatut-catut nama atau institusi lain. Tujuannya hanya satu, yaitu meyakinkan lawan negosiasinya. Keberhasilan seorang negosiator diukur dari hasil yang didapatkan sesuai yang diinginkan dengan caranya sendiri. Oleh sebab itu, etika diabaikan. Bahkan kadangkala masalah hukum disederhanakan atau bahkan dilecehkan.
Sekali lagi, saya bukan berarti ingin membutakan diri pada norma dan moral yang ada, tapi disini saya menulis tentang apa yang saya ketahui dan saya alami sendiri. Begini ceritanya.
Pada suatu ketika, saya pernah mengundang dan mengadakan pertemuan dengan seorang anggota DPRD di kota X, pada sebuah restoran mewah disana. Bahkan sayapun juga menghadirkan pula pejabat dan pada SKPD terkait. Coba anda bayangkan, meski saya ini bukan siapa-siapa, tapi pada satu saat sayapun bisa saja mendatangkan pejabat legislatif dan eksekutif yang bertemu dalam satu meja dan membicarakan sebuah bisnis. Apakah saya sedang membuat suatu konspirasi? Saya katakana Ya!
Saya tidak mau berbohong pada diri sendiri, sebab memang kenyataannya kami semua ketika itu sedang merancang sebuah konspirasi tapi dalam urusan bisnis pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya hanya beberapa puluh Miliar saja. Nilai yang teramat kecil bila dibandingkan dengan proyek PTFI, tapi lumayan juga untuk proyek di daerah.
Apakah anda ingin tahu, apa yang dikatakan oleh anggota dewan daerah itu kepada kami? Tak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Setya Novanto. Dia juga menyebut-nyebut nama walikota dan pejabat daerah lainnya, yang katanya teman dekat, sering bermain golf, makan bersama dll. Juga kemudian setelah pertemuan itu dia akan langsung bertemu di rumah pak wali tersebut. Diapun juga ingin berperan dalam pembagian jatah, dan berjanji akan mengatur semuanya dengan teman-temannya dalam satu komisi, agar proyek bisa kami menangkan.
Itulah yang terjadi di lapangan. Bila anda adalah sama-sama pemain bola dengan saya, tentu saya tak perlu lagi mengajari anda cara menendang bola agar masuk ke gawang bukan? Sayapun tak perlu bercerita lagi bagaimana caranya menjatuhkan lawan bila sedang menggiring bola. Sebab sekali lagi saya katakana bahwa kita adalah sama-sama pemain.
Tapi persoalannya adalah, di negeri ini tidak semuanya pemain bola. Jadi wajarlah bila ada yang tak mengerti apa yang sedang kami lakukan. Mereka hanya bisa menghujat para pemain, karena dianggap bodoh, tak punya etika dan tak layak jadi pemain bola.
Tapi bagi yang bisa memahami, mereka hanya tersenyum saja kala melihat berbagai tingkah para pemain bola. Bila terjadi ada temannya yang pemain bola dihujat oleh para penonton, mereka hanya bilang,”Dia lagi sial aja..”.
Salam
@DoniBastian