Nabi Ibrahim sadar bahwa dia tidak mungkin menolak takdir yang telah ditetapkan Alloh swt kepadanya, maka yang dia lakukan adalah menerimanya, tidak menyalahkan keadaan dan bersiap menghadapi realitas. Karena menyalahkan keadaan yang telah terjadi hanya membuang energi yang terkadang membuat kita tenggelam dalam kenangan masa lalu dan tidak siap melakukan evaluasi untuk masa depan.Â
Habil dan Nabi Ibrahim sadar bahwa pengorbanan yang mereka lakukan bukanlah hal yang menguntungkan dan menyenangkan buat mereka, tetapi karena ditopang oleh keimanan, berpikir positip dan selalu berprasangka baik, maka mereka tetap optimis dalam menjalankan tanggung jawab kehidupannya.
Situasi pandemi memang semakin memburuk di Indonesia, kasus harian positip Covid-19 menembus angka 50.000 dan angka kematian hampir 1000 dalam hitungan statistik data on table, bisa jadi realitas di lapangan menunjukkan angka yang lebih tinggi lagi.Â
Sampai tulisan ini dirilis, belum ada tanda-tanda data dalam grafik semakin melandai, oleh karena itu dibutuhkan langkah strategis yang harus didukung oleh semua komponen negara. Miris rasanya, ketika negara-negara lain mengumumkan bahwa mereka telah menang melawan Covid-19 dan mendeklarasikan untuk melepaskan masker, sebaliknya negara kita masih dihantui dengan masalah angka kematian yang masih tinggi diperparah lagi dengan pertikaian politik, keterpurukan ekonomi dan keretakan sosial.Â
Tidak lantas, kita menuding dengan sinis bahwa semua ini terjadi karena takdir, tentunya kita harus melakukan instrospeksi diri (muhasabah) berskala nasional, karena yang telah terjadi merupakan serangkaian perbuatan atau ulah tangan kita sendiri yang seolah-olah menantang hukum alam (sunatulloh), karena Alloh Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menegaskan bahwa tidak ada satupun kerusakan di alam semesta ini kecuali manusia telah mengeksploitasi dan mengekspansinya (Q.S. Ar-Rum: 41).
Memang Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menjadikan ujian dan musibah untuk menguji kesabaran dan mengangkat kemuliaan kita dihadapan-Nya (Q.S. Al-Baqarah: 155). Bukan tanpa dasar, Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memilih Habil dan Nabi Ibrahim sebagai teladan dalam berqurban. Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memilih mereka karena mereka sanggup menjadi pemimpin yang adil minimal bagi diri mereka sendiri dan keluarganya.Â
Mereka memiliki keimanan, kapasitas kecerdasan yang mumpuni, riset yang jelas dan open minded untuk menerima kebenaran sehingga mereka lulus dari ujian. Dari sini, kita bisa melihat bahwa keadilan, kecerdasan dan kebijaksanaan seorang pemimpin negara akan berpengaruh signifikan terhadap kemampuan suatu negara untuk keluar dari masalah. Ketika kebijakan negara bisa diterima oleh semua komponen masyarakat maka herd immunity nasional akan terbentuk dengan sendirinya.
Sekarang kita harus bersiap menghadapi realitas, badai sudah berubah menjadi terjangan tsunami, kalau tidak segera tercipta sinergi yang baik di antara pemangku, pembuat dan pelaksana kebijakan negara maka kita semua akan disapu bersih oleh pandemi Covid-19.
 Berhenti saling menyalahkan, karena memang sudah tidak ada lagi manfaatnya. Yang kita butuhkan sekarang adalah taubat nasional untuk "membujuk" Alloh Subhanahu Wa Ta'ala agar mengangkat musibah yang terjadi, sebagaimana Habil dan Nabi Ibrahim selalu berdoa dan mempersembahkan yang terbaik kepada Alloh swt, apapun situasinya.Â
Keyakinan bertransformasi menjadi ketakwaan yang mengakibatkan turunnya rejeki atau jalan keluar dari arah yang tidak terduga-duga (Q.S. At-Talaq: 3). Memperbanyak zikir di rumah atau di mana saja dengan harapan gemuruh suara yang penuh harapan mampu mengetuk dan menggetarkan pintu-pintu langit.Â
Rumah ibadah tetap dibuka menyambut datangnya para jamaah untuk beribadah di tempat yang termasuk zona hijau sambil tetap menerapkan prokes dengan ketat. Apabila harus dilakukan lockdown (karantina wilayah) maka Pemerintah harus siap dan cekatan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pendidikan warga negaranya.Â