Mohon tunggu...
Doni Arief
Doni Arief Mohon Tunggu... Dosen - Faqir Ilmu

Pencari dan penikmat kebenaran paripurna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Urgensi Maqosid Syariah di Masa Pandemi

13 Juni 2020   18:31 Diperbarui: 13 Juni 2020   18:28 1632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alloh swt, menciptakan manusia bukan untuk bermain-main dan tanpa tujuan, tetapi memiliki hikmah kebaikan yang memantaskan peran manusia tersebut sebagai pengemban tanggung jawab kepemimpinan di muka bumi (khalifah).

Supaya manusia memahami peran dan fungsinya, maka Alloh swt, memberikan aturan normatif tentang tata cara pemakaian hidupnya, dalam bentuk hukum (syariat), yang akan mengantarkan kebaikan dan keselamatan baginya.

Landasan teologis tentang hal ini, bermula ketika Alloh swt, menjanjikan ketika Dia menciptakan segala sesuatu pasti memiliki tujuan dan tidak mungkin disia-siakan. Dia akan menjaga, memelihara dan mengatur ciptaan-Nya dengan sebaik-baiknya. Tentunya hal tersebut senada dengan penggunaan nama "Robb" yang melekat dengan nama Alloh swt, sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan ayat Alquran yang pertama kali turun, Q.S. Al-Alaq: 1-5, yang bermakna bahwa Alloh swt, sebagai Tuhan yang telah menciptakan makhluk-Nya (ultimate creator), yang tidak pernah meninggalkan dan menelantarkan, tetapi Dia akan senantiasa mengawasi dan mengevaluasi proses "tumbuh-kembang-kematian" makhluk-Nya.

Hipotesis tentang penciptaan di atas, sekaligus mengejawantahkan kesalahan (fallacy) tentang Tuhan dalam paham sekularis, yang menganggap bahwa Tuhan hanya tau menciptakan, tetapi tidak tau cara untuk memelihara ciptaan-Nya, sehingga Tuhan menjadi entitas yang paling sombong, yang tidak memiliki peran lagi kepada ciptaan-Nya.

Sebagai objek ciptaan, manusia tidak lebih tau tentang dirinya, dibandingkan Alloh swt, yang menciptakan-Nya. Alloh swt, paling tau mana yang baik dan buruk bagi manusia tersebut. Dalam konteks penjagaan kehidupan manusia, maka Alloh swt, menurunkan hukum (syariat) untuk mengatur dan melanggengkan kehidupan manusia selama hidupnya.

Semisal, ketika seseorang membeli perlengkapan elektronika baru, pasti di dalam kardus pembungkusnya, terdapat buku panduan berupa hukum pemakaian yang harus diaplikasikan pemakai, agar alat elektronika tersebut dapat berfungsi dengan baik dan bertahan lama. Yang paling tau tentang pemakaian alat elektronika, bukanlah pemakai, tetapi pabrik yang menciptakannya, sehingga pabrik pasti tau apa yang paling dibutuhkan oleh ciptaannya, sebagaimana Alloh swt, lebih tau apa yang paling dibutuhkan manusia, sebagai hamba ciptaan-Nya. Berdasarkan uraian di atas, semakin terlihat sifat dasar hukum Alloh swt, adalah melindungi kepentingan makhluk-Nya. Dengan demikian, semakin relevan memahami maqosid syariah untuk merasakan kepedulian dan kedekatan Alloh swt, kepada makhluk-Nya.

Memahami Maqosid Syariah

Secara etimologi, maqosid syariah, terdiri dari dua kata, yaitu maqosid dan syariah. Maqosid artinya maksud atau tujuan, sedangkan syariah artinya hukum atau aturan yang ditetapkan Alloh swt, untuk kebaikan (kemashlahatan) makhluk-Nya di dunia dan akhirat. Secara terminologi, maqosid syariah adalah maksud atau tujuan diturunkannya hukum Alloh swt, yang terdapat dalam Alquran dan Hadis, yang memiliki nilai (value) perlindungan kepada manusia sebagai pengemban syariat, dengan tujuan untuk menyelamatkan kehidupannya di dunia dan akhirat.

Imam Asy-Syatibi menyatakan, "sesungguhnya syariat bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat", Lebih lanjut, dia menyatakan tidak ada satupun syariat yang ditetapkan Alloh swt, tidak memiliki manfaat dan tujuan, karena syariat yang ditetapkan tetapi tidak memiliki tujuan, sama saja membebankan sesuatu yang tidak perlu dilaksanakan. Tujuan tersebut harus bermuara pada kebaikan (kemashlahatan) yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Di dalam Q.S Al-Anbiya: 107, dijelaskan tugas utama diutusnya Nabi Muhammad saw, adalah membawa rahmat bagi sekalian alam. Kalimat "rahmat", menunjukkan bahwa syariat yang dibuat Alloh swt (maqasid as-syari') mengandung kemashlahatan kepada makhluk-Nya, ketika mereka berada dalam "mainstream", setia untuk mengaplikasikan syariat secara praktis (maqasid mukallaf). Dapat dianalogikan pemetaan penggunaan syariat, seperti lampu rambu-rambu lalu lintas, yang memiliki beberapa warna dengan fungsinya masing-masing. Fungsi dari beberapa warna lampu rambu-rambu lalu lintas adalah mengatur para pengendara agar selamat dalam berlalu lintas.

Apabila pengendara, melanggar fungsi lampu rambu-rambu lalu lintas, maka dia akan celaka. Warna "merah", artinya dilarang untuk berjalan, dalam konteks syariah, dikenal dengan haram, dilarang melakukannya sehingga wajib ditinggalkan. Warna "kuning", selaras dengan syubhat, di dalamnya terdapat makna kewaspadaan, kehati-hatian dan keragu-raguan. Apabila terasa meragukan, sebaiknya ditinggalkan. Warna "hijau", selaras dengan halal, di dalamnya terdapat makna boleh untuk dilakukan dan terdapat kebaikan atau pahala bagi yang melakukannya.

Menurut Imam Asy-Syatibi, kemashlahatan akan tercapai, apabila 5 unsur maqosid syariah, dapat terlaksana dengan baik, di antaranya menjaga agama (din), jiwa (nafs), kehormatan atau keturunan (nasl), harta (mal) dan akal (aql). Kelima hal tersebut, dipahami dalam dua arah.

Pertama. Alloh swt, sebagai pembuat syariat dengan pemberian garansi keselamatan bagi hamba-Nya yang melaksanakan syariat. Kedua. Pelaksana syariat dalam kapasitas melaksanakan atau meninggalkan syariat, maka akan terjadi "reward and punishment", di akhir perbuatannya. Misalnya, Kecenderungan utama manusia adalah berTuhan, karena hal tersebut fitrah dasar yang dimiliki manusia ketika pertama kali diciptakan, sehingga dia tidak bisa menegasikan potensi tersebut. Syariat akan memfasilitasi manusia untuk memahami eksistensi Tuhan dengan benar.

Lantas, ketika manusia berada "on the track" syariat tentang menjaga agama (din), maka dia akan mendapatkan "reward", berupa ketenangan dan kepuasan spiritual tentang Tuhan di dalam hidupnya, tetapi ketika dia menolaknya, maka dia akan mendapatkan "punishment", berupa kekosongan (hollow) spritual di dunia, tetapi juga akan dijerat bayangan eskatologis yang tertulis secara tekstualis di dalam ayat suci, tentang hukuman yang akan diterimanya di akhirat, ketika dia sudah "lancang" menolak eksistensi Tuhan.

Dalam pelaksanaannya maqosid syariah, harus mempertimbangkan tiga tingkat kualitas kebutuhan manusia, mulai dari kebutuhan paling mendasar atau primer (daruriyat), kebutuhan pelengkap atau sekunder (hajiyat) dan kebutuhan kemewahan atau tersier (tahsiniyat). Maqosid syariat meletakkan pentingnya skala prioritas dalam kebutuhan manusia. Artinya, dibolehkan mengganti beberapa kepentingan dengan cara memilih tingkatannya berdasarkan kualitas kebutuhan dan kedaruratannya.

Islam sebagai kompilasi syariat, tidak pernah membebani umat Islam di luar batas kemampuannya dalam menjalankan syariat. Misal, melaksanakan solat dengan cara berdiri hukumnya adalah wajib, tetapi apabila orang tersebut tidak mampu berdiri dengan alasan sakit, maka Islam memberikan keringanan (rukhsah) kepadanya, sehingga solat dapat dilakukan dengan cara duduk dan berbaring sesuai dengan kemampuannya.

Islam membolehkan untuk memakai pakaian yang indah dan mahal (kebutuhan kemewahan) ketika akan melaksanakan ibadah, tetapi ketika substansi berpakaian telah tercapai, yaitu menutup aurat, maka sebaiknya pakaian yang dipakai jangan berlebih-lebihan, sehingga berpotensi mengundang munculnya kesenjangan sosial.

Ketika terjadi kontradiksi di antara ibadah dan kebutuhan sosial, maka yang dilihat adalah mencari titik keseimbangan (equality point) di antara nilai kebaikan ibadah dan sosial-kemanusiaan. Misal, seseorang akan melaksanakan solat berjamaah di Mesjid. Ketika dalam perjalanan, dia melihat seseorang yang mengalami kecelakaan.

Dalam situasi seperti ini, maka dia harus memilih di antara meneruskan solat berjamaah di Mesjid atau membantu terlebih dahulu korban kecelakaan. Maka yang harus dilakukannya adalah menyelamatkan korban kecelakaan terlebih dahulu, karena menyelamatkan nyawa, termasuk menjaga jiwa (nafs) dalam maqosid syariah. Menyelamatkan nyawa manusia hukumnya wajib, sedangkan melaksanakan solat berjamaah hukumnya sunnah, maka dia harus menyelamatkan terlebih dahulu korban kecelakaan tersebut, baru kemudian tetap melaksanakan solatnya secara sendirian (munfarid).

Urgensi Maqosid Syariah di Masa Pandemi

Dunia sedang mengalami pandemi yang disebabkan covid-19 (corona virus disease), tidak terkecuali di negara Indonesia, dengan jumlah kasus positip yang terus menunjukkan peningkatan grafis disertai angka kematian (death rate) yang cukup tinggi. Mitigasi bencana mulai diaplikasikan secara massif. Setiap aktifitas sosial harus memperhatikan protokol kesehatan secara ketat, untuk menekan laju penyebaran (spread) covid-19.

Sifat utama penyebaran covid-19 adalah melalui sentuhan langsung dengan virus yang melekat pada objek tertentu, kemudian masuk melalui lendir cairan yang terdapat pada mata, hidung dan mulut. Maka, metode untuk menghindarinya simptomatis, di antaranya rutin mencuci tangan dengan cairan yang mengandung disinfektan, menjaga kebersihan tubuh, menjaga jarak (physical distancing), menghindari kerumunan sosial (social distancing), menggunakan masker, meningkatkan imunitas tubuh, dan bagi yang sudah terpapar, harus melakukan karantina diri (self quarantine) agar tidak menularkan penyakitnya kepada yang lain.

Islam sebagai agama lintas jaman yang berperan "rahmatan lil 'alamin", semakin mengonfirmasi kebenaran ajarannya di tengah pandemi yang terjadi sekarang. Ketika dunia secara global, mulai berteriak sekaligus memaksa tentang pentingnya menjaga kebersihan agar terhindar dari covid-19, maka Islam sejak 15 abad yang lalu, sudah memperkenalkan bahwa kebersihan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari iman dan pengamalan ibadah. Misal, sebelum beribadah kepada Alloh swt, umat Islam harus membersihkan dirinya terlebih dahulu melalui wudu'.

Anggota tubuh yang dibersihkan ketika wudu', adalah bagian dari tubuh yang paling banyak berinteraksi dengan lingkungan luar, mulai dari tangan, lubang hidung, wajah, ubun-ubun kepala, rongga mulut, lubang telinga dan kaki. Bahkan, untuk meningkatkan imunitas tubuh, Nabi Muhammad saw, memberikan teladan agar rutin berolah raga, menjaga pola diet yang ideal, mengonsumsi makanan bergizi yang mengandung anti-oksidan, seperti madu dan kurma, dan mengajarkan tentang pentingnya tersenyum, berbagi, berbaik sangka serta bersyukur, yang merupakan pra-syarat untuk memperoleh kebahagiaan jiwa. Bahkan, Nabi Muhammad saw, memotivasi umat Islam, melalui hadisnya, "bersuci itu sebagian dari iman (H.R. Muslim)".

Di dalam Alquran, Alloh swt, memuji dan mencintai orang yang bertobat dan selalu menyucikan dirinya (Q.S Al-Baqarah: 222). Sikap utama Islam ditengah pandemi adalah mencegah (preventif) agar tidak terjadi penularan. Langkah kongkritnya adalah dengan menambah iman dan meningkatkan imun. Kedua hal tersebut, adalah hal paling utama yang harus dilakukan untuk menghadapi pandemi yang berkepanjangan.

Belakangan ini, masalah fiqih aktual yang terjadi di kalangan umat Islam adalah boleh atau tidaknya melaksanakan solat berjamaah di Mesjid, yang di dalamnya terjadi akumulasi massa, sehingga diprediksi akan memudahkan penyebaran covid-19. Untuk menjawabnya, maka dibutuhkan analisis terhadap maqosid syariah, sehingga bisa disusun hierarki kebutuhan sesuai dengan skala prioritasnya.

Tidak dipungkiri, hukum melaksanakan solat adalah wajib, tetapi hukum melaksanakan solat berjamaah adalah sunnah, kecuali hukum solat jum'at bagi seorang laki-laki. Melihat tingginya angka positip covid-19, yang sangat tinggi di Indonesia -sampai tulisan ini dirilis hampir 1000 orang positip setiap harinya-, maka sangat beresiko, apabila tetap dilakukan akumulasi massa di suatu tempat, termasuk solat berjamaah.

Maka, dalam situasi seperti ini, yang harus diprioritaskan paling utama adalah menjaga keselamatan nyawa atau jiwa (nafs), dibandingkan harus memaksakan diri untuk solat berjamaah di Mesjid. Islam tidak pernah menyulitkan, tetapi selalu memudahkan umat Islam dalam beribadah, sehingga Islam selalu memberikan kemudahan (rukhsah) terhadap persoalan yang mengandung unsur kedaruratan. Ketika solat tidak memungkinkan untuk dilaksanakan secara berjamaah di Mesjid, maka hukumnya "boleh" untuk dilaksanakan di rumah. Termasuk solat jum'at yang sifat dasarnya adalah wajib, tetapi bisa dilaksanakan secara munfarid dengan menggantikannya menjadi solat zuhur di tengah pandemi.

Fakta di lapangan, terutama di beberapa daerah di Indonesia, ada yang sudah dikategorikan zona merah dan hitam, dengan angka kematian lebih dari 5 orang yang sudah terjadi di daerah tersebut. Terkait tentang kondisi pandemi ini, Nabi Muhammad saw, menyatakan, "Apabila terjadi wabah di suatu daerah, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar.

Apabila kalian sedang berada di luar, maka janganlah masuk ke dalamnya". Dengan demikian, untuk menjaga kebaikan (kemashlahatan) dan keselamatan bersama, di daerah yang kasus positip dan kematiannya tinggi, maka setiap aktifitas sosial yang beresiko meningkatkan mata rantai penularan sebaiknya ditiadakan dan ditunda sampai pandemi hilang. Dalam konteks ini, menjaga keselamatan nyawa, menjadi prioritas paling tinggi dalam maqosid syariah.

Untuk menekan laju penularan, Islam mengajarkan agar orang-orang yang teridentifikasi positip covid-19, harus jujur terhadap kondisi dirinya dan segera melakukan karantina mandiri. Nabi Muhammad saw, menyatakan, "Janganlah orang yang lagi sakit didekatkan dengan orang yang sehat". Pembacaan konteks terhadap hadis ini adalah apabila orang yang sakit tersebut berpotensi untuk menularkan penyakitnya kepada orang lain. Untuk menjaga kemashlahatan orang-orang di sekitarnya, maka orang yang positip mengidap covid-19 harus melakukan karantina mandiri selama 14 hari, sampai dirinya dinyatakan sembuh.

Ketika "langit" sudah memberikan solusi menghadapi pandemi, maka sudah selayaknya harus terjadi kerja sama yang baik di antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah harus mengayomi dan memberikan jaminan kehidupan kepada rakyat di masa "work from home", sebaliknya rakyat harus memiliki kesadaran dan kedisiplinan yang kuat untuk melaksanakan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sinergi yang baik di antara semua kalangan, InsyaAlloh akan mengantarkan kita sebagai pemenang di tengah badai pandemi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun