Mohon tunggu...
Doni Arief
Doni Arief Mohon Tunggu... Dosen - Faqir Ilmu

Pencari dan penikmat kebenaran paripurna

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengenal Fitrah Manusia

2 Juni 2020   15:14 Diperbarui: 13 Juni 2020   18:31 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia diciptakan Alloh swt., mengemban tugas sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi, karena tugasnya tersebut kedudukan manusia dimuliakan dan ditinggikan Alloh swt, dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain.

Di balik keistimewaan yang dimiliki manusia, Alloh swt., juga menitipkan potensi diri yang harus dipilih manusia secara cerdas sesuai dengan fitrahnya. Dua potensi yang diinstall ke dalam diri manusia, adalah potensi kebaikan sekaligus potensi keburukan.

Apabila, manusia memilih potensi kebaikan dalam dirinya, maka dia akan lebih mulia dibandingkan malaikat, sebaliknya, apabila manusia memilih potensi keburukan dalam dirinya, maka dia akan lebih hina dibandingkan seekor binatang sekalipun. Agar dapat melihat manusia secara holistik dengan kecenderungan potensi dasar di dalam dirinya, maka dalam kesempatan ini, kita akan memetakan secara sederhana, "fitrah manusia".

Penggunaan kata "manusia" dalam Alquran

Di dalam Alquran, kata manusia ditemukan dalam beberapa penggunaan sesuai dengan makna yang ingin disampaikan, di antaranya: Insan, Basyar dan Bani Adam. Pertama. Insan diartikan manusia sebagai wujud yang tampak dan dibentuk dalam kejadian yang indah dan harmonis, lawan dari kata Insan adalah jin, artinya kebalikan dari kata tampak, yaitu tak tampak.

Memang manusia, diciptakan Alloh swt., sebagai makhluk yang kasat dan kasar, sehingga dapat dilihat secara jelas. Selain itu, manusia juga diciptakan dalam bentuk fisik yang terbaik dibandingkan makhluk yang lainnya. Dengan demikian, Insan adalah manusia yang telah diciptakan Alloh swt., dengan keutamaan fisik (lahiriah) dan psikis (batiniah) yang dimilikinya.

Kedua. Basyar diartikan manusia dengan potensi atau fungsi fisik dan biologis yang dimilikinya. Ketiga. Bani Adam diartikan manusia berasal dari satu keturunan yang sama yaitu Nabi Adam as.

Makna kata "fitrah"

Di dalam Q.S. Ar-Rum: 30, kata fitrah diartikan sebagai potensi dasar (primordial) yang dimiliki manusia ketika diciptakan dan diambil persaksiannya di alam "rahim". Fitrah yang dimaksud adalah potensi dan kecenderungan untuk menerima eksistensi Alloh swt., sembari mengesakan-Nya (tauhid) dan tidak ada peluang bagi manusia untuk menolak eksistensi-Nya, karena potensi dasar tersebut meliputi sisi yang profan dan sakral, sekaligus imanen dan transenden di dalam dirinya.

Selain itu, kata fitrah dapat diartikan suci. Pada awal penciptaan, manusia diciptakan dalam kondisi suci terbebas dari kotoran dosa, yang membuat manusia menjadi kotor adalah pilihan dalam pergumulan sosial yang dilakukannya, karena manusia sangat dipengaruhi oleh teman pergaulan dan lingkungannya.

Manusia lebih mudah untuk melakukan perbuatan baik sesuai dengan fitrah kebaikan yang diinstall di dalam dirinya, dibandingkan melakukan perbuatan buruk. Sebagaimana yang disinggung dalam Q.S. Al-Baqarah: 286 dalam kata "maa kasabat" yang diartikan perbuatan baik, dan kata "maktasabat" yang diartikan perbuatan buruk. 

Di dalam perbuatan baik tersebut, terdapat makna lebih mudah untuk melakukan kebaikan, dibandingkan perbuatan buruk, yang di dalam maknanya terdapat kesusahan atau kesulitan untuk melakukannya.

Berdasarkan pengertian di atas, berarti manusia memiliki potensi kebaikan yang paripurna di dalam dirinya. Bahkan, dalam beberapa terminologi filsafat dan mistisisme, manusia memiliki peluang mencapai kesempurnaan dirinya, dengan cara memahami hakikat di balik syariat dan mengendalikan kecenderungan fisik melalui kontempelasi mendekatkan diri kepada Alloh swt.

Kedekatan di antara Alloh swt, dengan manusia dapat dirasakan secara rasio dan intuisi. Manusia diciptakan Alloh swt, melalui beberapa proses, kematian, kehidupan, kematian dan kehidupan. Manusia datangnya dari Alloh swt, akan dikembalikan lagi kepada-Nya.

Rasio pasti menerima bahwa tidak ada manusia yang abadi, karena setelah manusia itu mati, maka fisiknya akan hancur di makan tanah, tetapi secara intuisi, manusia tidak pernah mati setelah kematian fisiknya, tetapi dia akan mengalami proses perpindahan roh yang tidak pernah mati mulai dari alam kubur sampai alam akhirat. Dapat disimpulkan bahwa manusia tidak pernah akan mati setelah dia diciptakan Alloh swt.

Sebagaimana pepatah di kalangan para sufi, cara terbaik untuk mencari hakikat kebenaran hidup adalah "mencari" Alloh swt, di dalam potensi dirinya, sehingga "barangsiapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenali Tuhan-Nya". Yang menjadi pertanyaan adalah, kalau manusia diciptakan dengan potensi kebaikan di dalam dirinya, tetapi mengapa masih ada manusia yang berbuat keburukan.

Telah disinggung di atas, yang membuat manusia menjadi jahat adalah pilihan yang dilakukannya di dalam hidup, sebagai akibat dari pergaulan di lingkungan sosialnya. Tidak ada seorangpun anak yang lahir ke muka bumi ini, menjadi Nasrani atau Yahudi, kecuali pengaruh awalnya datang dari kedua orang tuanya.

Manusia yang melakukan penyembahan kepada berhala (paganisme) atau sama sekali menolak eksistensi Tuhan (a-theis) itu tidak membuktikan bahwa fitrah mengesakan (tauhid) Tuhan tidak ada di dalam dirinya. Kesadaran tentang eksistensi Tuhan tetap ada di dalam dirinya, tetapi dimanifestasikan dengan syariat yang salah. Bahkan, orang yang menolak eksistensi Tuhan, menyatakan Tuhan tidak ada dan Tuhan sudah mati, tanpa disadarinya, dia tetap ber-Tuhan, tetapi yang dipertuhankannya adalah dirinya sendiri.

Belajar dari kisah yang dialami oleh Fir'aun, sosok manusia yang menganggap dirinya sebagai Tuhan, ketika dia terperangkap di antara dua kutub gelombang laut merah yang menjulang tinggi dalam perasaan mencekam dan sangat takut mati. Akhirnya, dia mengakui bahwa Alloh swt., adalah Tuhan yang sesungguhnya (Q.S. Yunus: 90).

Membangkitkan fitrah dengan cara menyucikan diri

Dalam terminologi tasawuf, menyucikan diri sering disebut dengan tazkiyah an-nafs. Untuk sampai pada tahap pemurnian diri, agar selalu berdekatan kepada Alloh swt, ada beberapa langkah yang harus dilalui oleh para Salik, mulai dari meluruskan syariat, menjalani ibadah dengan tekun melalui tarikat, memahami makna yang sesungguhnya di balik syariat melalui hakikat, dan mendapatkan khazanah atau wawasan langsung dari Alloh swt., melalui ma'rifat.

Menurut Imam Al-Ghazali ada beberapa tahapan (maqamat) kedudukan dan perasaan hati (ahwal) yang dilalui para Salik untuk menyucikan dirinya, yaitu: taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakkal, mahabah, ma'rifat dan rida. Beliau juga mengingatkan, seorang Salik harus mampu memetakan fitrahnya dan mengendalikan berbagai "instrumen" kemanusiaan di dalam dirinya.

Dia menganalogikan, bahwa tubuh manusia terdiri dari akal, hati, hawa, syahwat dan nafsu. Semuanya dalam satu kerajaan, agar manusia selamat, maka dia harus menjadikan hatinya sebagai raja yang bijaksana yang mampu mengatur prajurit-prajuritnya.

Hati harus dijadikan sebagai mercusuar yang memberikan cahaya dan arah dalam kehidupan, karena di dalam hati terdapat fitrah yang tidak pernah berbohong dan selalu menyuarakan kebaikan serta kebenaran. Di dalamnya selalu terdengar suara Tuhan, sebagai suara kebaikan yang abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun