Setelah melaksanakan berbagai ibadah di bulan Ramadan, mulai dari berpuasa lahir dan batin, menahan makan, minum, syahwat, hasrat diri dan perbuatan yang tidak baik, meningkatkan intensitas ibadah wajib maupun sunnah sesuai dengan tuntunan syariat selama 30 hari, maka tibalah umat Islam pada hari kemenangan.Â
Kemenangan yang ditafsirkan memperoleh predikat "taqwa", dengan karakteristik mempertahankan dan meningkatkan kualitas kebaikan hidup setiap saatnya (Q.S. Al-Baqarah: 183).Â
Gerbang awal memasuki selebrasi hari kemenangan tersebut, dikenal dengan 'Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 1 Syawal. Selebrasi yang dimaksud bukan hanya sekedar aksi lahir yang dieksploitasi sebebas-bebasnya, karena "merasa" sudah berhasil menunaikan ibadah sebulan penuh, tetapi aksi yang sarat dengan pengamalan nilai-nilai spritual dan kebaikan yang berkesinambungan.Â
Pendidikan sampai ijazah kelulusan yang telah diperoleh pada bulan Ramadan, harus menginspirasi semua perbuatan di bulan berikutnya.Â
Langkah yang paling bijak adalah bukan hanya sekedar mengucapkan dan merangkaikan kata-kata menjadi salam 'Idul Fitri di berbagai kesempatan, tetapi harus mampu memahami makna di balik 'Idul Fitri, biar perjalanan waktu tidak membuat ingatan kita tentangnya menjadi usang. 'Idul Fitri tersusun dari dua kata, "'Id" dan "Fitri", kata tersebut memiliki makna ketika berdiri sendiri maupun ketika dirangkaikan menjadi satu kalimat.
Makna kata "'Id"
Kata 'Id merupakan derivasi dari kata "'aada", "ya'udu" yang berarti kembali. Ada juga yang menyatakan berasal dari kata "al-'adah", yang berarti kebiasaan, sehingga 'Id diartikan sebagai satu perbuatan yang sering diulang-ulang dan telah menjadi kebiasaan setiap tahunnya.
Dalam kesempatan ini, kita akan menganalisis makna di balik kata "kembali". Kembali berarti pulang ke asal setelah sekian lama merantau. Dalam Q.S. Al-Baqarah: 155-156, dijelaskan bahwa setiap kehidupan akan dipulangkan kembali kepada Alloh swt, melalui kematiannya.Â
Kehidupan di dunia hanyalah tempat persinggahan sementara untuk kemudian pulang ke kampung halaman yang sebenarnya di akhirat, suka atau tidak suka maka kita harus pulang, sesuai dengan batas waktu ('ajal) dan ketentuan yang telah ditakdirkan Alloh swt. Kehidupan di dunia bukan menjadi tujuan, tetapi menjadi sarana mencapai kesuksesan kehidupan di akhirat.
Kita melihat orang di perantauan, maka dia akan mempersiapkan bekal yang terbaik untuk pulang kampung ketika hari raya. Dia akan merasakan kebahagiaan luar biasa ketika memiliki kesempatan untuk kembali ke rumah dan bertemu dengan keluarganya.Â
Semua rencana dan persiapan telah disusun dengan matang, mulai dari pakaian baru, uang THR, makanan mewah dan berbagai hal yang bersifat konsumtif.Â