Mohon tunggu...
Doni Apriliandi
Doni Apriliandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Saya memiliki ketertarikan dibidang jurnalis. Adapun beberapa karya saya yang sudah saya tulis yaitu cerpen Moderasi Beragama, Jurnal Ilmu Falak, dll

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demi Melanggengkan Kekuasaan, Aturan Ditabrak

26 Agustus 2024   12:30 Diperbarui: 7 Oktober 2024   23:08 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada kata kehormatan lagi untuk Mahkamah Konstitusi (MK). Dibentuk untuk menjamin penyelenggaraan negara yang demokratis, menjamin kepastian hukum secara konstitusi dan menjadi lembaga penguji konstitusionalitas proses legislasi oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu produk reformasi 1998 itu kini makin lemah dari tujuan awal pendiriannya.  

Kemunduran Mahkamah Konstitusi (MK) bisa kita lihat pada keputusan pencalonan Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden yang berpasangan dengan H. Prabowo Subianto saat Pemilihan Umum (Pemilu) pada Februari 2024 lalu. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) ubah persyaratan pencalonan Capres dan Cawapres. Mahkamah Konstitusi membaca putusan uji materi terkait batas usia Capres dan Cawapres perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang digelar pada Senin, 16 Oktober 2023. "Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. 

"Membolehkan seseorang di bawah umur 40 tahun untuk dicalonkan Capres atau Cawapres sepanjang yang bersangkutan pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah", kata ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat. 

Sesuai dengan tujuan pembentukan awalnya. Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi lembaga independen. Lembaga ini berfungsi menguji apakah suatu produk legislatif sesuai dengan konstitusional dan tidak memikat dengan apapun. Justru ini malah sebaliknya, Mahkamah Konstitusi memihak kepada tuannya yang berkuasa. 

Kepada siapakah Mahkamah Konstitusi tunduk?

Pemerintah dan DPR baru-baru ini kembali membuat gerah kalangan masyarakat melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Para aktivis, akademisi dan berbagai kalangan mahasiswa serta masyarakat menolak keras RUU Pilkada karena mengakali dengan menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024 dan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.  

Hal ini memicu kritikan dari berbagai aktivis, akademis, dan kalangan mahasiswa. Banyak yang menilai bahwa langkah ini tidak hanya mengabaikan putusan hukum tertinggi di negara. Tetapi juga upaya untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara yang merugikan demokrasi.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan keputusan bersifat final dan mengikat bagi semua lembaga tinggi negara. Namun, DPR dan Pemerintah masih mencoba mengakalinya. Salah satunya melalui pengesahan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Skenario pembangkangan konstitusi melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu) dan perubahan peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) juga patut diwaspadai.

Adakah sedemikian ini merupakan permainan dari kelompok Koalisi Indonesia Maju (KIS)?, untuk memastikan bahwa Pilkada di berbagai daerah melawan kotak kosong. Pada Kamis, 22 Agustus 2024 ribuan seluruh elemen masyarakat turun aksi di depan gedung DPR RI untuk menolak revisi RUU Pilkada. Mereka menuntut supaya DPR dan Pemerintah tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan yang bisa merugikan demokarasi. 

Baru kali ini revisi UU Pilkada secepat kilat, dikebut dalam satu hari. Para anggota dewan yang semestinya mengawal dan menjamin keberlangsungan reformasi justru berkhianat dengan menolak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan.

Peringatan darurat bermunculan di media sosial yang melihat semakin kacau demokrasi negara ini. Ada udang di balik batu, ungkapan ini cocok untuk menggambarkan situasi terkini. Sepertinya ada kepentingan tertentu dalam merevisi UU Pilkada tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun