Membaca adalah kunci membuka jendela ilmu, itulah sebuah ungkapan yang cocok untuk mengajak kita agar gemar membaca buku. Dengan membaca buku artinya secara tidak langsung kita mencoba membebaskan diri dari belenggu berpikir primitif.Â
Bung Hatta pernah berkata "aku rela dipenjara asal bersama buku, karena dengan buku aku bebas". Kemudian ada Tan Malaka, walaupun dengan berbagai gangguan dari pihak kolonial tan malaka tetap rajin membaca berbagai buku hingga berhasil menulis buku yang salah satunya berjudul madilog.Â
Dalam bukunya ia berkata "selama toko buku masih ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali, kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi". Lalu ada Soekarno yang gemar membaca buku karena sering melihat bapaknya membaca buku.
Jika para pendiri kita dulu adalah orang yang sangat kutu buku. Akan tetapi, Kenyataan hari ini adalah berbanding terbalik.Â
Menurut laporan UNESCO tahun 2020 minat baca orang indonesia adalah sebesar 0,001 % Dengan kata lain sebanyak 1000 orang Indonesia hanya 1 orang yang membaca buku.Â
Kondisi tersebut sangat memprihatinkan, bagaimana bisa ditengah kemudahan akses informasi dan sumber buku justru minat baca malah turun. Kondisi ini memperjelas bagaimana mati surinya minat baca indonesia.Â
Kemudian laporan world population riview merilis data negara-negara dengan rata-rata jumlah membaca paling lama dunia dengan menempatkan India diposisi pertama dengan rata-rata 10 jam 42 menit dan posisi kedua adalah negara tetangga yaitu Thailand dengan waktu rata-rata 10 jam 24 menit.Â
Sedangkan dalam laporan tersebut rata-rata baca Indonesia adalah 6 jam jauh dengan negara-negara lainnya. Dari berbagai laporan menegaskan bahwa masih lesunya minat baca masyarakat indonesia. Perlu adanya solusi atas permasalahan tersebut.
MAHASISWA MELAWAN MINIMNYA MINAT BACA
Pada era sekarang dimana internet berkembang secara masif membuat arus informasi sangat cepat untuk didapatkan. Sekarang sudah mulai muncul berbagai model sumber bacaan yang dapat dijadikan referensi.Â
Sebut saja seperti e-library yang didalamnya kita dapat membaca buku elektronik tanpa harus memegang buku fisik. Lalu juga ada beberapa startup aplikasi yang menwarkan baca buku baik itu buku nasional hingga internasional dapat dinikmati hanya dalam satu genggaman.
Perkembangan zaman juga melahirkan berbagai komunitas-komunitas baca buku di berbagai kota besar indonesia. Contoh saja seperti Komunitas Pecandu Buku (KPB) yang ada di kota bandung.Â
Komunitas ini lahir dari para mahasiswa atau anak muda yang gemar hingga gila buku. Komunitas ini mencoba merespon atas rendahnya minat baca masyarakat di indonesia dengan membangun berbagai kegiatan seperti baca buku, workshop hingga bedah buku. Kini komunitas ini sudah menyebar di lebih 3 kota besar.
Dari contoh Komunitas Pecandu Buku (KPB) poin yang dapa diambil adalah mahasiswa harus bisa menjadi agen perubahan. Mahasiswa berperan penting untuk bisa merubah dengan membentuk habit masyarakat yang sebelumnya minim membaca menjadi tertarik untuk membaca. Dengan adanya interner dimana social media menjadi akses utama masyarakat melihat dunia luar.Â
Mahasiswa harus bisa memanfaatkan denagn membuat akun-akun social media untuk mendekatkan dengan mereka demi terwujudnya masyarakat yang gemar membaca buku dan nantinya akan juga berdampak pada minat baca.
MENUMBUHKAN NALAR KRITIS
Hadirnya internet memunculkan era yang dinamakan society 5.0. Era ini adalah sebuah konsep dimana masyarakat dalam berbagai kegiatamnya berbasis teknologi.Â
Dalam era society 5.0 masyarakat dihadapkan dengan pengaksesan dunia maya yang lebih masif. Sekat-sekat pembatas menjadi bias, arus informasi keluar masuk tanpa ada batasan.Â
Sedangkan dalam keadaan tersebut yang diperlukan masyarakat adalah nalar kritis untuk merespon berbagai informasi. Nalar kritis diperlukan sebagai upaya pertama merespon tentang kebenaran sebuah informasi.Â
Untuk menumbuhkan nalar kritis tersebut skill yang harus dikuasai adalah dengan menguatkan literasi digital. Literasi digital dapat diartikan dengan kemampuan memahami dan menggunakan media digital untuk merespon berbagai konteks informasi digital.
Budaya bernalar kritis memang harus ditumbuhkan dalam era society 5.0 terutama dalam jiwa masyarakat. Literasi digital menjadi bekal utama untuk kemudian masyarakat menjadi kritis dalam berpikir.Â
Jika budaya ini kemudian sudah menjadi pakem dalam masyarakat maka tidak mungkin bahwa nantinya masyarkat tidak akan mudah percaya dengan informasi yang datang karena mereka sudah dibekali dengan nalar kritis. Mereka secara otomatis akan berpikir sejenak apakah informasi ini bernilai benar atau salah.
Dari berbagai pemamparan di atas dapat disimpikan bahwasannya dalam upaya mewujudkan minat baca masyarakat indonesia di era sociery 5.0 perlu berbagai dukungan berbagai pihak.Â
Mahasiswa sebagai inisaotor perlu didukung secara penuh karena merekalah nantinya yang akan membimbing masyarakat lainnya menjadi masyarakat yang gemar membaca buku dan juga bernalar kritis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H