Mohon tunggu...
Dongeng Kopi
Dongeng Kopi Mohon Tunggu... Pramusaji - Berbiji baik, tumbuh baik!

Kedai Kopi yang terintegrasi dengan Taman Baca Alimin, serta Rumah Sangrai yang menghasilkan aneka kopi biji dan bubuk. Ruang paling pas untuk buku, kopi dan komunitas. Hadir di Umbulmartani, berada di kaki Merapi, dan Sasana Krida Dongeng Kopi Roastery di Tirtomartani, 700 meter dari Candi Kedulan, 5 Kilometer dari Candi Prambanan. Keduanya ada di Sleman Jogjakarta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Penjelajah Waktu dari Dongeng Kopi Bagian 1

19 April 2024   19:12 Diperbarui: 14 Mei 2024   18:20 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ceritakanlah padaku tentang penjelajah waktu," kata Alina pada juru cerita itu.

Maka Juru cerita itu pun bercerita tentang Rangga: Pada suatu hari yang baik, di malam yang cerah, langit sangat terang lantaran bulan bersinar penuh, bintang nampak bertebaran berkerlipan telanjang bulat dalam pandangan, Rangga mendapat keajaiban.

Hari itu Kamis malam Jumat Kliwon tiga bintang berjajar membentuk rasi waluku, konon kata para pinisepuh ini waktu posisi magis. Rangga yang sedang duduk sendirian mencangkung di warung kopi kaki gunung Blau melamun memandang langit yang luas.

Rangga termenung-menung mengagumi betapa menakjubkan langit malam itu. Begitu saat memandang ke sebelah timur. Sejurus ia mendapati terang benderang perpaduan kilatan cahaya aneka warna memancar memutar dalam gelombang mata pusaran mengecil lantas membesar.

Rangga penasaran. Beranjak dari kursinya, tinggalkan kopinya yang masih separuh. Ia memacu motor mendekati sumber cahaya. Hingga tiba di ujung bukit tempat biasa orang mendirikan tenda menjemput cahaya matari pertama.

Biasanya tempat itu selalu penuh dengan orang kemping. Tapi hari itu sepi sekali.

Ia malah mendapati sesosok manusia berkepala musang memakai mahkota sedang merapal puja mantra membelakangi ular naga besar sekali. Disekitar pusaran warna nampak burung beterbangan dengan sayap terkepak berkilauan warna emas semua.

Persis di dongeng dongeng yang diceritakan ibunya menjelang tidur. Dulu ibunya menyebutnya burung Phoenix.

Dari kabut yang tersibak akibat pancaran cahaya puspawarna nampak candi candi perwara yang mengingatkan kisah candi Murca. Cerita Mbah Jarwo, juru pijat yang mukim di Sagan ia dapat saat satu ketika pinggangnya nyeri berhari-hari.

Kisah candi Murca, candi yang terdiri sejumlah perwara mendampingi candi utama yang besarnya melebihi candi Bumi Sambara, menjadi dongeng Mbah Jarwo agar ia tetap terjaga saat membuang ngilu pinggang.

"Candi Murca itu candi yang ditutup tabirnya agar tidak dirusak manusia. Masih banyak sebenarnya di Jawa ini candi candi yang bagus. Ia jadi penghubung dunia nyata dengan dunia tak kasat mata. Bisa melintasi dimensi ruang dan waktu" terang Mbah Jarwo saat itu sembari mengurut boyoknya.

Rangga melangkah perlahan mendekat untuk mengamati sekitar. Tiga orang lampah dodok dengan jarak sekitar lima depa. Satu orang disamping manusia kepala musang memegang cawan berisi cairan hitam yang mengepul asap tipis berwarna putih. Dihadapannya membentang kitab besar lusuh berwarna kuning gading, lembarannya nampak angka angka berjajar dalam kotak kotak. Semacam tabel oglok.

Yang dipegang orang itu pasti kopi, dalam hati Rangga berbisik. Ia jadi menyesal mengapa tadi kopinya tidak ia habiskan. Kira kira masih 10 ribu nilainya dengusnya dalam hati.

Rangga ikut lampah jongkok di barisan belakang. Orang yang paling belakang begitu dipersilahkan maju oleh kepala musang tiba tiba melompat masuk ke lubang cahaya berpendar itu. Hilang dari pandangan. Terus demikian hingga ia sampai berhadapan dengan musang bermahkota.

Melihat pakaian yang dikenakan berbeda sama orang orang sebelumnya. Musang kepala mahkota bertanya

"Kamu siapa Ki sanak? Mengapa bisa sampai sini?"
"Ampun Tuan Musang, saya hanya mengikuti pendar pancawarna yang mengecil membesar dan berpusat disini. Saya tadi melihat dari warung kopi langganan saya. Apakah saya bisa ikut masuk melompat ke mata pusaran itu Tuan?"

"Siapa kamu sebenarnya? Bagaimana kamu bisa melihat ini begitu saja? Apakah kamu termasuk manusia linuwih?"

" Ampun Tuan Musang bermahkota emas, saya tidak tahu. Saya hanya penasaran saja, bolehkah saya turut masuk ke mata pusaran puspawarna itu Tuan? Sekali lagi Rangga bertanya.

"Kamu akan melompati ruang dan waktu, jika nanti kembali, saya harap kamu simpan sendiri. Sebab kamu akan tahu banyak apa yang akan terjadi di masa lalu maupun masa depan. Kalau kamu utarakan ke semua orang, sangat besar resikonya. Usiamu akan berkurang, dan tatanan dunia akan semrawut" tegas musang kepala mahkota emas tersebut sembari mengguncangkan tangan kanannya dari atas ke bawah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun