Ki Ageng Wanabaya pun bersicepat. Rapalan ajian tatar bayu memindah tempat ia berdiri sampai ke desa tempat keramat; Sela.
Baru Klinting berselang tunggang gunung di belakang.
Baru Klinting langsung melingkari Condrogeni. Tubuhnya merentang panjang merangkul Mandrageni. Jenjang tubuhnya kurang sedikit.
"Kurang sedikit ayah, kau akan segera mengakui aku anakmu!" Teriaknya gembira.
Wanabaya menyahut sambil menyesap secangkir kopi, Â "Jika melingkari Meru Api saja tak sanggup, jangan panggil aku Ayah!"
Baru Klinting mencoba lagi melingkari gunung keramat itu. Tapi lagi lagi masih kurang sedikit. Padahal napasnya sudah ia tahan. Tak kurang akal, dijulurkannya lidahnya untuk menyentuh ekornya.
Tepat saat lidahnya berpaut dengan ekor, Ki Ageng membabat pengecap Baru Klinting tepat dipangkalnya. Seketika Baru Klinting hilang.
Lidahnya menjelma menjadi mata tombak. Badannya hanyut begitu cepat mengikuti arus air sungai Bedog tembus Sungai Progo. Derasnya arus yang tiba tiba datang begitu kuat menghantarkan sampai ke pantai selatan. Ki Ageng mengejarnya cepat. Ajian sepi angin membuat lima ribu tombak ditempuh dalam waktu singkat. Begitu tergulung ombak, badannya Baru Klinting berubah menjadi gagang kayu panjang.
Ki Ageng menyatukan keduanya. Mata tombak jelmaan dari lidah Sang Naga dan gagang kayu pegangan yang mengecil jadi tiga depa adalah dari badan yang terbawa arus sampai ke segara kidul.
Sejak saat itu, Baru Klinting menjadi pusaka kebesaran Perdikan Mangir. Daerah mahardika di sekitar tempuran sungai Bedog dan Progo yang dikenal kesaktiannya, sampai Raja Mataram pun gamang.
Selesai