Cerita percakapan di atas perahu tidak hanya satu dua, Narada dan Hanila juga sempat berbincang diatas perahu.
Sesaat sebelum perang di raja Alengka, Patih Kerajaan Guwakiskenda ini diberikan wejangan ayahnya Batara terpintar yang menjadi tangan kanan Sang Hyang Jagadnata. Karena wejangan ini sangat penting, diatas perahu kecil pilihan pertemuannya, bukan di kedai kopi yang berisik, yang iringan musiknya mengganggu konsentrasi.
Jelang berangkat, Narada menjerang air. Kemarin rendangan kopi dari Dalangan baru saja dikirim sampai kahyangan Sidiudaludal. Sejak Resi Wyasa menyajikan saat purnama Asadha, ia langsung ketagihan dan tak pernah kurang persediaan. Ia percaya ada mantra khusus yang dirapal sama sang Juru Rendang Rara Ayuri Murakabi. Selesai gerus biji, ia tubruk saja dalam dua cangkir. Satu untuknya, satu untuk Hanila anaknya.
Perahu beringsut perlahan membelah Bengawan Kadiraja. Sampai di Tluron, Narada baru menyampaikan wejangan pada anaknya yang berwujud kapi.
"Nak, Bagaimanapun keadanmu sekarang, terutama dalam kondisi diatas, jangan suka menertawakan orang, sebab bisa jadi apa yang sedang kau tertawakan itu akan kamu dapati. Bila Sang Hyang Murbeng Dumadi menghendaki."
Seperti Bapakmu ini. Lanjutnya sembari menyesap kopi perlahan. Pandangan Narada jauh ke langit yang sedang cerah.
Dahulu Bapak menertawakan Sang Hyang Jagadnata karena punya anak wanara petak, saat ia memangku dengan rasa sayang. Lantas dilemparkannya daun sawo kecik mengenai punggung dan menjelmalah dirimu. Wanara nila yang tak mau lepas dari punggungku.
Kejadian ini ditertawakan semua penghuni Swargaloka dan jadilah semua Batara dianugerahi Wanara satu persatu.
Hanila tercekat. Tangannya gemetar di ganggang cangkir. Ia tidak menyangka kelahirannya berawal dari senda gurau, ejek mengejek, aktivitas merendahkan Sang Hyang Jagadnata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H